Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Kamis, 13 Agustus 2015

WAHAI POLITISI, WAHAI TOKOH KARBITAN, WAHAI POLISI ALAM SUDAH MARAH, PENGHIJAUAN BUKAN BARANG MAINAN MENCARI POPULARITAS DENGAN REBOISASI


WAHAI POLITISI KARBITAN,WAHAI PENJABAT YANG MENCARI POPLARITAS MURAH, WAHAI PENGUSAHA YAANG NMENANAM SIMPATI SADARLAH,PENGHIJAAN BUKAN BARANG MAINAN.
 Artikel ini sudah di blog ini  tiga tahun yang lalu, pembacanya hanya belasan orang, ya benar memang penulisnya bukan sosok yang mengorbit  hanya warga biasa, hidup biasa mediocre senderung sededera, Salahkah bila pikiran menembus kemana mana ? Masa kini adalah waktunya orang biasa bersuarhana, menjerit, ngetwit, ngeblog,  meski tidak langsung mwnggugah masyarakat seketika, tapi  inilah salah satu upaya warga biasa, alhmadulillah.. Pesannya jelas: Jangan main main dengan issue  PENGHIJAUAN.
Kini situasi sudah mendesak, el Nino sudah berkunjung, bahkan yang ditanam dan dipiara oleh petani saja pada kerng, apalagi tumbuhan hutan yang  diprogramkan untuk menghijaukan wilayah gundul  yang kritis. Tengok itu hasil karya anda. Sekarang bukan waktnya main main lagi, jutaan hektare lahan gundul berisi semak, waktu kemarau kering, dibakar,  lahan gambut yang sudah dirampas semak semak yang tumbuh cepat, sejanjutnya selama musim hujan, tumbuhanmsuiman yang tumbauh ceoat ini  merampas hidup tumbuhan kayu keras yang lambat tumbuh, bahkan yang ini,  alhamdulillah bertahan selama tiga tahun secara alami karena mebuat kanolinya diaraas semak semak, , ikut mati dibakar atau kekeringan.  Pelototi hasil karya anda yang popularitasnya didapat dari issue ini. Pak Jokowi orang Kehutanan, kalian main main lagi pasti masuk bui.

Sejak Bhumi Nusantara terasa gundul, maka lahirlah istilah penghijauan.
Di Pulau Jawa, waktu aku umur 10  tahun,( jadi tahun1948)  setiap rumah tangga memakai kayu bakar sebagai bahan bakar masak di dapur, atau bagi rumah tangga kaya, mereka memakai arang kayu. Sejak tahun lima puluhan mulai dipakai kompor minyak tanah dengan konstruksi pembakaran sumbu yang diperpanjang dengan semacam ruang pembakaran taambahan sejengkal lebih, sehingga pembakaran uap minyak tanah menjadi lebih sempurna. Konstruksi ini sederhana, tapi model kompor ini tidak pernah ada sebelum tahun 1950  atau sekitar tahun itu. Maka rumah tanggalah yang menjadi sasaran kritik terhadap penggundulan hutan, selama Perang Pasifik dan perang Kemerdekaan kira-kira 10 tahun, dari 1940 sampai 1950.
Di luar pulau Jawa, yakni  pulau Sumatra, dan  pulau  Kalimantan masih sama sekali belum terjamah, karena kebutuhan kayu bakar dan arang ( khusus untuk menyetrika baju, membakar  sate dll) masih tidak berarti sama sekali dibandingkan dengan luas hutan rimba. Di pulau-pulau itu mulai terasa pembabatan  hutan, semenjak glondong berdiameter raksasa sampai satu meter laku keras untuk di di export tahun 1955 ke atas,  terutama untuk membuat veneer pencetak beton, sebab Dunia lagi booming, ekonomi berkembang pesat, kota- kota Negara Industri diperbaharui dengan beton terutama untuk bangunan pencakar langit jalan dan jembatan, viaduct saluran air dsb .  Semua ini untuk memenuhi kebutuhan gedung- gedung perkantoran, hunian condominium, jalan-jalan dan jembatan maupun viaducts, saluaran-saluran dll. Sampai sekarang masih meningkat scara progressive.
Hingga sekarang kita punya hutan primer sudah tinggal sangat langka, sedang hutan rimba di pulau Sumatera dan Kalimantan sekarang jadi tinggal 40 % dibabat dengan segala dalih. Malah lahan gambutnya pada dibakar, oleh uang. Karna tanah ulayat saja yang sudah dibakar, hargasnya bisa naik berlipat lipat, akalnya gimana supaya dapat untung ?_
Biarkan tanah ulayat disengketakan, disamarkan dengan tanah HGU kelapa sawi, memang letaknya mepat,
 Pejabat yang berwajib jadi bingung sendiri, lantas setelah dibakar dan bertengkar lahan itu milik siapa, baru harganya sebagai tanah ulayat naik, atau sebagai peeluasan  NGU kelapa sawit, tapa diketaui sapapun, kecuali yang memanen, di prluasan tanam,
Dapat harga tinggi untuk Penjabat yang lain, rakyat yang mebakar, uang dari boss, lahan bisa disulap HGU karena batas batasa HGU tidak berdasarkan dat deodesi diamnbik dari trrianggulai patokan, ratusan kilometer dipuncak gunung, seperti dipuncak Bawakaraeng di Sulawesi misalnya. Trianggulasi patokan ini dapan menentukan koordenasi satu titik batas ratusan kilomertar dati puncak Bawkaraeang. langsung bisa ditanam kelapa sawit,, dibuatkan patok patas baru,, begitulah tanah HGU, rugi yang terdampak asap berbulan bulan berapa ?

Penjabat, yang membakar rakyat yang diberi uang., sama sama enak, ndak dihitung kerugian ekonomi wilayahnya berapa, rugi Negara berapa.

Saya amati benar yang terjadi  di pulau Sulawesi,  pulau yang sangat khusus karena sebagian besar  sangat tipis, bingga cuma 50 km  menurut garis potong lurus,dari pantai ke pantai melewati puncak tetinggi di tempat tanah genting itu hanya sekitar 200 m  diatas muka laut yang terendah yang tertinggi ribuan meter , tapi meliuk-liuk panjang seperti pulau itu sendiri.
Akan ternyata bahwa pulau ini, terutama di tanah gentingnya,  problem hutannya sama dengan pulau pulau kecil di NTT, sangat sulit dihutankan kembali, musim kering lebih lama dari tumbuhnya perakaran tanaman keras, menghunjam kedalam mencari air.
Bila tidal mendapatkan air di ceruk bawah tanah diatas batuab pejal, bibit tumbuhan hutan ini mati  Untul selamanya lahan perbukita tanah genting, atau pulau kecil unu gundul.
Setengah abad terakhir dari abad 20, Dunia jadi ramai karena issue penghijauan kembali, gundul sudah sangat akut, bahkan ada indikasi terjadi pemanasan global, karena efek rumah kaca, terjadi ketidak-seimbangan antara CO2 yang dihasilkan dari pembakaran semak, dan hutan sebagai penyumbang CO2, dan jauh lebih penting hutan rimba merupakan sau satunya   pengguna terbesar CO2, mengurangi kadar CO2 dari udara kita, oleh proses assimilasi CO2., Sedangkan CO2 sebenarnya dihasilkan besar besaran oleh Industri, oleh pabrik-pabrik di negara Industri,hanya  hutan yang bisa sangat mengurangi efek rumah kaca ini.
Issue mengenai penghutanan kembali di Indonesia menjadi ajang apa saja yang sangat ramai, umpama:
-Untuk bumbu ngomong supaya terdengar lebih berbobot:
-Iklan iklan di TV agar nampak sangat anggun, peduli lingkungan  hutan desa, meskipun sudah hidup di kondomnium ditayangkan dua kali sehari padahal nyatanya ya cuma iklan, beberapa anak menanam pohon dari bibit, dua tiga bulan musim kering tiba, tumbuhan itu mati kekeringan..
-Menggunakan issue penghijauan untuk mencari popularitas saat kampanye: Padahal ngomong doang, atau cuma simbolik saja memberi bibit kayu rimba bahkan bibit apa saja dan di shoot TV dari bermacam sudut, trus ditayang berkali -kali diberita minggu ini, mesti saja dengan bayaran.
Menggunakan issue penghijauan untuk mencari dana buat keperluan lain:
Lembaga Swadaya Masyarakat, Dinas-Dinas yang ada dana supaya kelihatan terpakai, Yayasan -Yayasan supaya kelihatan keren:
Membagikan bibit buah-buahan dan tamanan pelindung di perempatan jalan ramai di shoot TV entah lanjutannya untuk apa.
Menggunakan issue penghijauan untuk performance upacara:
Bapak Penjabat apa saja desertai dengan puluhan pengikutnya berseragam training set, disertai dengan puluhan bahkan ratusan Pramuka, bener-bener menanam bibit pepohonan di lahan terbuka (entah bisa hidup berapa lama bibit pohon itu ?), setelah itu entah jadi apa?. Wong hanya upacara.
Melihat itu semua orang (saya terutama) jadi eneg deh.
Kok bisa bisanya, hari gini issue penghijauan yang sudah jadi taruhan perubahan iklim, kok masih dibuat mainan. Please, deh, jangan jadikan penghijauan sebagai acara seremonial belaka.

Memang, bila dicermati, lahan-lahan yang terbuka, malah waktu kemarau nampak gundul karena semak semaknya  tetumbuhan musiman mati, itu memang ada sebabnya.
Mestinya jauh jauh hari, mbok mereka yang mengerti  soal tanam menanam itu memberi pengertian, artinya Lillahi Ta’Alla, ndak perlu dibayar, wong buka dokter manusia..
Menanam kembali lahan terbuka, itu bukan kerja sehari dua hari, harus ada pemeliharaan selama paling sedikit sampai tumbuhan yang ditanam itu bisa mandiri, persis seperti memelihara bayinya apa saja, syukurlah kepada Sang Pencipta, bahwa bayinya tumbuhan yang bisa sebesar pepohonan yang diameternya bisa semeter tanpa di bantu manusia itu, syaratnya kan hanya melihat hanya selama tiga musim kemarau saja. Hanya mengamati bibit tumbuhan apa saja yang baru ditanam pada kemarau pertama, pada pemarau ke-dua, dan pada kemarau ke-tiga.
Artinya apakah tumbuhan yang kita tanam di lahan terbuka itu masih mendapatkan air apa tidak ? Soalnya kemarau pertama bibit itu akarnya masih pendek, tidak bisa mencapai lapisan tanah yang masih basah, kan kesempatan untuk membuat akar hanya maximum lima bulan ? Itupun bila bibit ditanam pada permulaan musim hujan ? Itupun bila bibitnya benar, ditanam dengan benar dan disiram sesudah ditanam.
Bibit tumbuhan yang benar : Kan kita nanam di lahan tebuka gundul waktu kemarau itu, yang mati,  kan tumbuhan semusim atau semak semak  walau dia tumbuhan tahunan, tidak mampu mencari air. Lha kita menanam disitu, mestinya kita cari tumbuhan yang akarnya tumbuh kebawah dengan cepat memanjang, selama maximum 5 bulan sudah mencapai kedalaman yang aman di musim kemarau.
Apa ada tumbuhan macam itu ? `Pasti ada, Tanya sama Ahhlinya. Menanam tanaman yang akarnya cepat panjang menghunjam kebawah, memerlukan perlakuan khusus, wong bakatnya berakar panjang, jadi bibitnya ya akarnya panjang, jangan nanam yang akarnya pendek kerena putus.
Bila sudah di kantong plastik, bakat akarnya panyang, kan kantongnya harus extra panjang ?
Lahan, tanah yang kita  risih kok gundul dimusim kemarau itu ada apa ?
Lha bila dimusim hujan juga gundul  ya maaf, itu mungkin batu besar.
Tanah dengan dasar batu kapur, tanah miring, tanah berpasir dalam, itu memang rawan jadi lahan “kritis” artinya jadi sasaran kritik, sebab aku tidak tau kenapa dinamakan lahan ”kritis”.
Di lahan itu air hujan cepat hilang, atau lebih cepat mengalir di permukaan  yang miring (run off), atau cepat menyerap kebawah tanpa ada  lapisan penahan di zona akar yang normal, biasanya diatas batu dasar lapisan batu kapur yang mirip saringan, pori-porinya banyak dimana-mana, air hujan meresap jauh ke bawah zona perakaran, begitu pula tanah berpasir.
Bila bibit sudah dipilih dari yang berakar panjang,  lantas tanahnya macam apa ?
Ngototnya yang mau menanam pepohonan bagaimana?
Terhadap run off yang berat, kita ada akal membuat sabuk gunung (terrasering), atau  bila biaya mepet ya individual terassering.
Terhadap tanah yang tumbuh di atas bukit kapur yang porus,  kita lihat saja tunbuhan apa yang mampu bertahan di situasi itu, ya dia jadi pilihan kita untuk penghijauan.
Bila ngotot, ya pilih tunbuhan yang tahah kering, kita bantu sebisanya pada tiga musim kemarau yang pertama dengan menyiram sebisanya, mungkin pada kemarau ketiga akarnya sudan cukup menghunjam ke lapisan yang masih mengandung air.
Sudah itu di lereng, tanah dimana air hujan melorot kebawah zona akar, masih ada bagian lereng, yang di bawahnya ada batu besar atau ceruk batuan yang lebih massif, sehingga diatasnya tanah masih ada air terperangkap, disitu semak-semak tumbuh secara alami, bila tumbuhan yang kita maksud akan ditanam sebaiknya memilih tempat yang walau musin kemarau, masih ada segerombol tumbuhan yang masih hijau.
Penduduk Pulau kecil di NTT pada musim kemarau yang panjang, terpaksa minum air yang menetes dari akar Pisang Saba (Musa  accuminata ) yang dipotong, dalam  semalam,akan tertampung air segelas, dicukupkan buat sehari untuk diminum.
 Pisang yang sama, di sekitar Klakah, Jawa Timur  di tengah-tengah wilayah berbukit rendah antara Selat Madura/Probolinggo dan Laut Selatan Lumajang, disitu tanah berbukit rendah, ada di bayangan hujan gunung- gunung  tinggi di barat maupun di timur, tanah lereng bukit dan hujannya  kurang, tapi wilayah itu merupakan tempat buah-buahan dijual sepanjang jalan, baik musim penghujan maupun musin kemarau, Lho kok aneh, nanamnya dimana dan bagaimana ?.
Ternyata penduduk daerah itu ada yang mampu menanam pohon buah-buahan di lereng-lereng yang jauh dari sumber air,  yang mampu mereka tanam adalah; Nangka, Apukat, Pisang Saba dan Pisang jenis murahan yang lain, Kelapa, Kenitu (sebangsa Sawo warna kulitnya hijau (Chrysophylum cainito), kadang Mangga  Kita bisa jadi merasa heran, kok bisa melewat tiga musim kemarau?  apakah pohon buah-buahan di atas bukit sana pernah dibantu disiram manusia ya ?
Pembaca, boro-boro nyiram pohon Nangka bayi di atas bukit, mandi saja harus pergi lima enam kilometer.
Caranya yang saya amati begini; di lereng tempat yang terpilih, mereka penduduk yang arif sesuai dengan kearifan lokal, mulai dengan menanam Pisang Saba, setelah tumbuh serumpun, perlu dua tiga tahun, kemudian di bawah persis serumpun Pisang Saba itu mereka tanami bibit Nangka setinggi dua jengkal, tentu saja di permulaan musim hujan, selama musim hujan no problem, air turun dari langit, biar run off seperti apa.
Musim kemarau mulai ada problem, rerumputan sudah kering, kemudian semak-semak, namun rumpun Pisang tetap bertahan. Lha, si bibit Nangka yang ditanam dibawah rumpun Pisang tadi itu mendapatkan air dari tetesan air akar pohon Pisang yang sengaja dipotong dengan sabit, diulang-ulang sampai kemarau ganti musim hujan yang kedua bagi si bibit yang selamat melewati kemarau pertama.
Kemudian kemarau kedua, akar dan pohon Nangka sudah bertambah panjang, masih perlu naungan daun Pisang yang agak merana di musim kemarau, namun memadai.
Diulang pemotongan akar Pisang dengan menyisipkan arit di tempat perakaran Pisang dekat pohon Nangka yang ditanam, akhir kemarau kedua dilewati dengan selamat.
 Kemarau yang ketiga bibit Nangka telah besar lebih dari setengah meter, dengan akar yang cukup dalam, sehingga rumpun Pisang agak menggaggu pertumbuhan didongkel. Akhirnya seluruh rumpun Pisang didongkel pada tahun ke empat. Kemudian barulah  kita heran-heran kok ada pohon Nangka muda di lereng tinggi diatas bukit ? (Bila ada Penjabat Eselon yang melihat pohon Nangka tadi, namun tak tahu kisah nanamnya, Eselon itu kemungkinan langsung berteriak jumawa: “Lihat yang diatas bukit saja bisa ditanam Nangka, kenapa ndak minta dana untuk penghijauan besar besaran, kan gampang !” gitu ujarinya keras-keras.)
Padahal asal para pembaca tahu,  bibit buah-buahan macam-macam asal agak tahan kering dapat ditanam dengan cara yang sama. Karena belum pernah ada orang menyiram setinggi di atas lereng-lereng bukit.(*)
Semoga berguna. Wahai eselon belajarlah. Ya memang sudah, bualn Agustus 2015, ketahuan bawha Nyonya Basar Nina Nurliana Pramono, nilep uang yang dikuasakan kepadanya dari Pertamina Foundation tidak tanggung tanggung 259 miliard rupiah dicanangkan unutk menanam 100 yuta pohon. Ja jadi hutan jambu mete di NTT, tapi sudah keduluan diaku oleh pendahulunya sasama sebrity yang llebih licin. Si licin ini terpeleset perkara gadu listrik yang mangkrak dan 14 mobil listrik yang juga mangkrak, dia masih sangat kuat dibidang media, bisa bebas menurut Prapadilan, lebih lihaqi dari H 

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More