SERI 4
NATASHA KUZNETSOVA.
Th 1961, di kampus
kami, datang untuk memimpin suatu kelas exstra curicular, Seni lukis dan seni patung. Seorang Pengajar,
seniman Profesional dari Moscow, lulusan
Akademi Senirupa Moscow.
Kampus Universitas Persahabatan Bangsa Bangsa, dengan
julukan Universitas Lumumba, menerima mahasiswa dari Negara Negara Asia, Afrika
dan Amerika Latin. Jadi mahasiswanya semua orang asing, termasuk dari
Indonesia. Berkat Bung Karno, mahasiswa Indonesia merupakan bagian terbanyak.
Singkatnya cerita, selama th 1961 hingga 1965, memimpin
kelas Senirupa namanya Mai Syarov, menjadi sahabat dekat saya. Hampir setiap
hari setelah jam kuliah selesai, bila saya tidak ke perpustakaan atau meliat
film. Pasti saya kunjungi kelas Senirupa. Bahkan sangat sering saya kunjungi
Studio Pematung Mai Syarov ini, di ruang bawah satu apartmen lama, tempatnya
saya lupa namanya. Pokoknya petama saya naik Metro, keluar stasiun metro ganti
trem 3 halte terus menikung ke jalan sempit diantara apartmet tua Kota Moscow dengan
arsitektur bangunan jang sudah tua, lantas disitulah satu ruang tidak besar di
lantai dasar satu apartemen tingkat enam, tanpa lift, studio Mai Syarov, ukuran
ruangan 4x6 meter, penuh dengan model tanah liat yang dibungkus plastic dan
cetakan gibs berbagai karyanya, di pojok ada sofa dan kursi tua, ditengah
ruangan ada platform kecil untuk seorang model berpose. Tidak jarang Mai
mengundang saya untuk membuat patung dari tanah liat, dari wanita model yang
telanjang, dengan bayaran 3 rubel setiap jam
( sangat mahal) patungan dengan para seniman yang lain. Waktu pertama
kali saya hadir, semua teman teman saya
seniman, asyik berkarya dari sudutnya masing masing, meskipun saya mungkin agak
pucat dan deg degan, saya tidak ngomong, khawatir nadanya kelihatan tegang,
tapi alhamdulillah saya berkonsentrasi pada proporsi model, dan kelenturan
tanah liat, pikiran dan mata, saya jauhkan
dari hal hal yang menuju ke sensualitas.
Memang sejak dari Yogya Th. 1957 -1959, sebagai mahasiswa
saya sudah membiasakan sikap ini, karena saya kost dirumah paman saya yang juga
menerima kost putri putri sanak family
dari fihak istri paman saya. Mereka cantik cantik, dan centil, dan sering
memamerkan pemandangan yang sensual, entah disengaja atau tidak, sedang saya
sialnya mahasiswa tidak kunjung naik tingkat, hari depan suram, demi menutupi rasa
minder, saya cuek terwadap gadis gadis. Makanya saya terlatih untuk tidak
menghubungkan apa yang didepan mata saya walau sekilas dengan ruang pikiran yang menjurus ke sensualitas.
Jadi waktu menghadapi model telanjang, saya memang sudah terlatih, tidak grogi
dan salah tingkah, kayaknya seniman asli
pematung dari Indonesia. Itu yang teman saya Mai Syarov heran dalam hati, dan lebih
respek kepada saya. pernah saya diperkenalkan dengan teman sekampus istrinya, kenalan
gadis tomboy baru ini namanya Natasya
Kuznetsova. Mahasiswi semester lima fakultas Geologi Universitas yang sama
denga Walya, istri Mai. Juga selama
bersahabat dengan mereka bertiga tidak pernah sampai pada percakapan perkara
sex, atau sensualitas, kecuali dalam memuji dalam batas kewajaran. Bergaul
dengan mereka seperti pengembara di padang pasir menemukan oasis yang airnya
segar. Lain sekali dengan pamuda pemudi Moscow waktu itu, pembicaraan pasti
seputar apa yang didambakan mereka, dengan snobisme yang menjijikakan, keinginan
keinginan akan benda pakai, malah sudah mengganti karunai Allah musim semi benda
benda itu mengganti libidonya.
Yang ini dengan Natasya Kuznetsova cs, tidak. Kita bicara
tantang hari depan manusia, (Mai pendukung pematung Russia th 1963 yang
beraliran Impresionis namanya Neisvetnii, dengan patung Kosmonautnya senaman ini
bersilang pendapar dengan Berdana Menteri Khrusjov, dikoran Pravda) kami bicara mengenai persaan dan rasa sbagai manusia, mengenai
karya seni, saling memberi perhatian, hal hal yang sifatnya saling menyayang, bukan
soal benda benda pakai.
Sampai pada suatu saat Natasya Kuznetsova menemui saya,
di kantin kampus saya, di Donskoii Projes, dia bilang dia dapat panggilan ikut ujian training bakal calon pekerja yang sangat
rahasia untuk ruang angkasa. ( wau ). Jadi kemungkinan besar tidak akan bertemu
lagi dengan saya dalam waktu yang lama sekali,
berangkat minggu depannya. Mendengar itu perasaan saya ndak karuan, mau
omong apa, saya ajak dia duduk diluar kantin, saya memberi selamat dengan tulus saya pegang kedua
telapak tangannya sambil duduk berhadapan di kursi taman, ini tidak umum karena
masih dingin musim semi baru mulai. Lantas saya tatap matanya dalam dalam.
Sambil berkata saya tidak pernah memberimu mawar merah ( kebetulan disana tidak umum), sepertinya akan peluk
kamu, saya akan masukkna kamu ke dadaku, aku senang sekali. Tasya selamat, baik
sekali kamu pamit saya. Tasya, tidak
akan ada yang senang dengan sekedar kopi Vietnam lagi, ( saya tahu dia biasa sampai malam belajar di perpustakaan), sewaktu saya bawakan kopi bubuk dari Vietnam yang
saya beli di Depatemen store Internasional buat para diplomat dekat kedutaan
Indonesia nampaknya dia senang sekali, sebab barang semacam ini ternyata tidak
dijual diluar Dept Store Internasional ini. Jadi selanjutnya saya selalu mempunyai
simpanan stock kopi Vetnam kemasan 250 gram sampai ada kesempatan menyampaikannya Saya selalu titip
mas Tarso, sampai sepuluh dos, Mas Tarso teman sekamar saya yang sering ke
Kedutaan. Baru kemudian Tasya dengan malu malu Bilang saya,
sebagian dia berikan pada professor tua Kristalografi favoritnya yang baik
kepadanya, karena dia tahu gurunya ini penah ke Vietnam dan pengggemar minum
kopi. Saya jawab selama kamu senang, nicewo.
Dari mana lagi ya, saya akan dapat kopi bila saya lolos
diseleksi yang berat berat nanti. Natasya bilang, sambil memandang saya tersenym
kentara sedih. Sebagai lirik nyanyian poluler uang getol dispeaker kamar
kost saya : Me staboi dwa berega u adnoi reki – kita adalah dua pingir satu
sungai yang selalu dekat, tapi ngak pernah ketemu selamana.
Natasya satu diantara ratusan pemuda pemudi Rusia yang
pernah ngobrol dengan saya, yang cerdas dan bercita cita mengenai hari depan manusia, sedang yang lainnya hanya
pecinta canda, apa yang nampak saja, baju, kacamata rayban, arloji radio
cassette transistor dari Jeman Barat, untuk dipamerkan. Lantas saya kok
ngelamun, sebab diam diam saya selalu merasa
tenteram dari bau badannya, yang lamat lamat tercium bila dia dengan yang lain
duduk bersama. Dia lantas menyambung percakapan kami berdua sambil menatap saya
lurus lurus. Dia minta saya menemaninya ke apartmen Mai, ambil “palto” (mantel)
mu sekarang dipintu depan. Karena gugup,
saya keluarkan dari saku dalam jaket saya, sepotong kain platok (kerudung) kecil
sebesar sapu tangan priya berwarna coklat kain tutup rambut musim panas, lantas
saya sedot aromanya, secara reflex, dia
kenali itu sambil bilang ini platoknya
yang rupanya saya bawa, sejak lama. E dia sambar dengan cepat, ini
yang lama saya cari, ayo kedepan, tangan
saya ditariknya. Kami naik metro, ganti
tram masing masing terdiam dengan pikirannya sendiri sendiri dan kemudian turun
dari tram jalan kaki, sampai di apartmen Mai di tingkat tiga, lewat tangga dan
koridor lebar yang remang remang, tercium bau masakan sup syii ( sup kubis yang
dijadikan sayur asin) Ternyata Tasya
telah membawa kuncinya.
Sekarang ini
setelah lebih Lima puluh tahun, saya baru sadar, mungkin pesawat program
angkasa itu adalah pengalihan nama, tapi trowongan hunian
baru terutama untuk kota hydrophonic mandiri,
yang menjadi impian orang Rusia, harus diwujudkan dengan awak yang sangat
terseleksi, baik kecakapan disegala
bidang, maupun attitudenya di lingkungan yang mandiri terisolasi ratusan meter
dibawah tanah, dengan segala fasilitasnya yang mereka akan dilibatkan membuatnya. Merencanakan,
membangun dengan cermat didukung oleh energy dan bahan dasar
arsitekture yang ultra moderen, segala taknology mutakhir kegiataan teknologi
arsitektur dan biology yang nyaris tak
terbatas jenisnya, benar benar sebagai pesawat ruang angkasa yang harus mandiri
dalam waktu yang lama sekali.
Dalam waktu yang nyaris seumur hidup, demi kerahasiaannya.
Sekarang umur saya sudah nyaris 80 tahun, Ini cerita
fiksi, merubah segala aksioma politik, namanya ya cerita fiksi.
Dalam kurun waktu yang sangat sulit, karena tahun 1965
terjadi pemeberantasan G30S PKI, rintangan besar dan lulusan Rusia disalah
terimakan dimana mana. Maka saya baru th 1973 kawin, dengan sarjana pertanian
dari GAMA, Allah mengirim dia praktek untuk skripsinya ke kebun kopi dimana
saya bekerja. Perpisahan kedua th 2012 dengan istri saya berusia 67 tahun meniggal
dirumah, karena CA payudara, tepat tiga tahun setelah dioperasi , kedua matanya
kena glaucoma menjadi buta.
Terus terang saya besyukur karena dia sudah bebas dari
penderitaan buta, semoga di alam sana mendapat mata baru yang lebih awas lebih
tajam, dan semoga cukup berbesar hati untuk memaafkan saya menutupi cerita ini.
Sekarang cucu saya sudah lima, yang tertua di STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pleayaran) di Marunda Jakarta, adiknya perempuan masih di SMK Pariwisata, yang
terkecil dari tiga bersadara, dari putri bungsu saya masih
TK. Saya tidak pernah menceritakan ini sebelumnya.
Sangat menyakitkan perpisahan pertama itu, andaikata
sungguhan. Teriring do’a saya kepada mereka berdua. *)
0 comments:
Posting Komentar