Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Sabtu, 05 Januari 2019

SERI 4 KONTINGEN KEDELAPAN - NATASHA KUZNETSOVA

SERI 4
NATASHA KUZNETSOVA.
Th 1961,  di kampus kami, datang untuk memimpin suatu kelas exstra curicular,  Seni lukis dan seni patung. Seorang Pengajar,  seniman Profesional dari Moscow, lulusan Akademi Senirupa Moscow.  
Kampus Universitas Persahabatan Bangsa Bangsa, dengan julukan Universitas Lumumba, menerima mahasiswa dari Negara Negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Jadi mahasiswanya semua orang asing, termasuk dari Indonesia. Berkat Bung Karno, mahasiswa Indonesia merupakan bagian terbanyak.
Singkatnya cerita, selama th 1961 hingga 1965, memimpin kelas Senirupa namanya Mai Syarov, menjadi sahabat dekat saya. Hampir setiap hari setelah jam kuliah selesai, bila saya tidak ke perpustakaan atau meliat film. Pasti saya kunjungi kelas Senirupa. Bahkan sangat sering saya kunjungi Studio Pematung Mai Syarov ini, di ruang bawah satu apartmen lama, tempatnya saya lupa namanya. Pokoknya petama saya naik Metro, keluar stasiun metro ganti trem 3 halte terus menikung ke jalan sempit diantara apartmet tua Kota Moscow dengan arsitektur bangunan jang sudah tua, lantas disitulah satu ruang tidak besar di lantai dasar satu apartemen tingkat enam, tanpa lift, studio Mai Syarov, ukuran ruangan 4x6 meter, penuh dengan model tanah liat yang dibungkus plastic dan cetakan gibs berbagai karyanya, di pojok ada sofa dan kursi tua, ditengah ruangan ada platform kecil untuk seorang model berpose. Tidak jarang Mai mengundang saya untuk membuat patung dari tanah liat, dari wanita model yang telanjang, dengan bayaran 3 rubel setiap jam  ( sangat mahal) patungan dengan para seniman yang lain. Waktu pertama kali saya hadir,  semua teman teman saya seniman, asyik berkarya dari sudutnya masing masing, meskipun saya mungkin agak pucat dan deg degan, saya tidak ngomong, khawatir nadanya kelihatan tegang, tapi alhamdulillah saya berkonsentrasi pada proporsi model, dan kelenturan tanah liat,  pikiran dan mata, saya jauhkan dari hal hal yang menuju ke sensualitas.
Memang sejak dari Yogya Th. 1957 -1959, sebagai mahasiswa saya sudah membiasakan sikap ini, karena saya kost dirumah paman saya yang juga menerima kost  putri putri sanak family dari fihak istri paman saya. Mereka cantik cantik, dan centil, dan sering memamerkan pemandangan yang sensual, entah disengaja atau tidak, sedang saya sialnya mahasiswa tidak kunjung naik tingkat, hari depan suram, demi menutupi rasa minder, saya cuek terwadap gadis gadis.  Makanya saya terlatih untuk tidak menghubungkan apa yang didepan mata saya walau sekilas  dengan ruang pikiran yang menjurus ke sensualitas. Jadi waktu menghadapi model telanjang, saya memang sudah terlatih, tidak grogi dan salah tingkah, kayaknya  seniman asli pematung dari Indonesia. Itu yang teman saya Mai Syarov heran dalam hati, dan lebih respek kepada saya. pernah saya diperkenalkan dengan teman sekampus istrinya, kenalan gadis tomboy baru ini namanya  Natasya Kuznetsova. Mahasiswi semester lima fakultas Geologi Universitas yang sama denga Walya, istri Mai.  Juga selama bersahabat dengan mereka bertiga tidak pernah sampai pada percakapan perkara sex, atau sensualitas, kecuali dalam memuji dalam batas kewajaran. Bergaul dengan mereka seperti pengembara di padang pasir menemukan oasis yang airnya segar. Lain sekali dengan pamuda pemudi Moscow waktu itu, pembicaraan pasti seputar apa yang didambakan mereka, dengan snobisme yang menjijikakan, keinginan keinginan akan benda pakai, malah sudah mengganti karunai Allah musim semi benda benda itu mengganti libidonya.
Yang ini dengan Natasya Kuznetsova cs, tidak. Kita bicara tantang hari depan manusia, (Mai pendukung pematung Russia th 1963 yang beraliran Impresionis namanya Neisvetnii, dengan patung Kosmonautnya senaman ini bersilang pendapar dengan Berdana Menteri Khrusjov,  dikoran Pravda) kami bicara  mengenai persaan dan rasa sbagai manusia, mengenai karya seni,  saling memberi perhatian,  hal hal yang sifatnya saling menyayang, bukan soal benda benda pakai.

Sampai pada suatu saat Natasya Kuznetsova menemui saya, di kantin kampus saya, di Donskoii Projes, dia bilang dia dapat panggilan ikut ujian  training bakal calon pekerja yang sangat rahasia untuk ruang angkasa. ( wau ). Jadi kemungkinan besar tidak akan bertemu lagi dengan saya dalam waktu yang lama sekali,  berangkat minggu depannya.  Mendengar itu perasaan saya ndak karuan, mau omong apa, saya ajak dia duduk diluar kantin, saya  memberi selamat dengan tulus saya pegang kedua telapak tangannya sambil duduk berhadapan di kursi taman, ini tidak umum karena masih dingin musim semi baru mulai. Lantas saya tatap matanya dalam dalam. Sambil berkata saya tidak pernah memberimu mawar merah ( kebetulan disana tidak umum), sepertinya akan peluk kamu, saya akan masukkna kamu ke dadaku, aku senang sekali. Tasya selamat, baik sekali kamu pamit saya. Tasya,  tidak akan ada yang senang dengan sekedar kopi Vietnam lagi, ( saya tahu dia  biasa sampai malam belajar di perpustakaan),  sewaktu saya bawakan kopi bubuk dari Vietnam yang saya beli di Depatemen store Internasional buat para diplomat dekat kedutaan Indonesia nampaknya dia senang sekali, sebab barang semacam ini ternyata tidak dijual diluar Dept Store Internasional ini. Jadi selanjutnya saya selalu mempunyai simpanan stock kopi Vetnam kemasan 250 gram sampai  ada kesempatan menyampaikannya Saya selalu titip mas Tarso, sampai sepuluh dos, Mas Tarso teman sekamar saya yang sering ke Kedutaan.  Baru  kemudian Tasya dengan malu malu Bilang saya, sebagian dia berikan pada professor tua Kristalografi favoritnya yang baik kepadanya, karena dia tahu gurunya ini penah ke Vietnam dan pengggemar minum kopi. Saya jawab selama kamu senang,  nicewo.
Dari mana lagi ya, saya akan dapat kopi bila saya lolos diseleksi yang berat berat nanti. Natasya  bilang, sambil memandang saya  tersenym  kentara sedih. Sebagai lirik nyanyian poluler uang getol dispeaker kamar kost saya : Me staboi dwa berega u adnoi reki – kita adalah dua pingir satu sungai yang selalu dekat, tapi ngak pernah ketemu selamana.
Natasya satu diantara ratusan pemuda pemudi Rusia yang pernah ngobrol dengan saya, yang cerdas dan bercita cita mengenai  hari depan manusia, sedang yang lainnya hanya pecinta canda, apa yang nampak saja, baju, kacamata rayban, arloji radio cassette transistor dari Jeman Barat, untuk dipamerkan. Lantas saya kok ngelamun, sebab   diam diam saya selalu merasa tenteram dari bau badannya, yang lamat lamat tercium bila dia dengan yang lain duduk bersama. Dia lantas menyambung percakapan kami berdua sambil menatap saya lurus lurus. Dia minta saya menemaninya ke apartmen Mai, ambil “palto” (mantel) mu  sekarang dipintu depan. Karena gugup, saya keluarkan dari saku dalam jaket saya, sepotong kain platok (kerudung) kecil sebesar sapu tangan priya berwarna coklat kain tutup rambut musim panas, lantas saya sedot  aromanya, secara reflex, dia kenali itu sambil bilang  ini platoknya yang rupanya saya bawa, sejak lama. E dia sambar dengan cepat,   ini yang lama saya cari,  ayo kedepan, tangan saya ditariknya.  Kami naik metro, ganti tram masing masing terdiam dengan pikirannya sendiri sendiri dan kemudian turun dari tram jalan kaki, sampai di apartmen Mai di tingkat tiga, lewat tangga dan koridor lebar yang remang remang, tercium bau masakan sup syii ( sup kubis yang dijadikan sayur asin)  Ternyata Tasya telah membawa kuncinya.
 Sekarang ini setelah lebih Lima puluh tahun, saya baru sadar, mungkin pesawat program angkasa  itu  adalah  pengalihan nama, tapi trowongan hunian baru  terutama untuk kota hydrophonic mandiri, yang menjadi impian orang Rusia, harus diwujudkan dengan awak yang sangat terseleksi,  baik kecakapan disegala bidang, maupun attitudenya di lingkungan yang mandiri terisolasi ratusan meter dibawah tanah, dengan segala fasilitasnya yang mereka akan dilibatkan membuatnya. Merencanakan,  membangun dengan  cermat didukung oleh energy dan bahan dasar arsitekture yang ultra moderen, segala taknology mutakhir kegiataan teknologi arsitektur dan biology  yang nyaris tak terbatas jenisnya, benar benar sebagai pesawat ruang angkasa yang harus mandiri dalam waktu yang lama sekali.
Dalam waktu yang nyaris seumur hidup, demi kerahasiaannya.
Sekarang umur saya sudah nyaris 80 tahun, Ini cerita fiksi, merubah segala aksioma politik, namanya ya  cerita fiksi. 

Dalam kurun waktu yang sangat sulit, karena tahun 1965 terjadi pemeberantasan G30S PKI, rintangan besar dan lulusan Rusia disalah terimakan dimana mana. Maka saya baru th 1973 kawin, dengan sarjana pertanian dari GAMA, Allah mengirim dia praktek untuk skripsinya ke kebun kopi dimana saya bekerja. Perpisahan kedua th 2012 dengan istri saya berusia 67 tahun meniggal dirumah, karena CA payudara, tepat tiga tahun setelah dioperasi , kedua matanya kena glaucoma menjadi buta.
Terus terang saya besyukur karena dia sudah bebas dari penderitaan buta, semoga di alam sana mendapat mata baru yang lebih awas lebih tajam, dan semoga cukup berbesar hati untuk memaafkan saya menutupi cerita ini. Sekarang cucu saya sudah lima, yang tertua di STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pleayaran) di Marunda Jakarta, adiknya perempuan masih di SMK  Pariwisata, yang terkecil dari tiga bersadara, dari putri bungsu saya  masih TK.  Saya tidak pernah menceritakan  ini sebelumnya.

Sangat menyakitkan perpisahan pertama itu, andaikata sungguhan. Teriring do’a saya kepada mereka berdua. *)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More