Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Kamis, 31 Maret 2016

APA KURANG BUKTI ?? BAHWA KITA MASIH DI AWAL FEODLAISME

                        APA KURANG BUKTI ?

Saya terkesima, menyaksikan wawancara “Mata Nadjwa” di acara Metro TV, tg 30/03/016 jam 8. 00 petang. Begitu gamblangnya apa yang tersirat dalam kemelut DPD kita. Kita menyaksikan kucing kucing cakar cakaran perebutan anggaran lebih dari satu trilliun rupiah setahun antara kelompok anggauta  DPD !!!., antara lain untuk gaji dan pengeluaran anggota DPD yang fantastis lebih kurang 70 juta rupiah per bulan per anggauta. 

Anggauta “ House of Lords” kita ini, yang mewakili tuan tanah bayangan, feodal puak dan kampung mengumbar nafsu amarah dan lawamah rebutan duit  rakyat, yang mereka ganyang secara legal.  Bedanya yang disana penuh dengan “noblesse obligue” tapi yang disini  serendah preman pasar. Tragis, tapi itulah kenyataan. Jadi selama ini, yang ada ADALAH DEMONSTRASI NYATA, bahwa mayoritas masyarakat kita ini sebenarnya masih dalam tahap pertumbuhan feodal awal – FEODAL PUAK DAN KAMPUNG - BULUM SAMPAI KE FEODAL IMPERIUM YANG JAYA DAN ANGGUN.

Sepele saja, di Timur wilaya kita , kepala kampung disebut RAJA, dibarat setiap lelaki anggauta puak yang memiliki sawah setelah kawin diberi gelar SUTAN (mungkin maksudnya Sultan)  BAGINDO dan nama belakang yang sangat bombastis. Di muara sungai besar  besar pulau itu dan pulau besar yang lain feodal setempat adalah Preman muara/ kuala sungai dengan menarik pajak untuk kroni dan dirinya, dari perahu pembawa barang dagangan keluar masuk sungai. Gelarnya DATUK BENDAHARA, SYAH KUALA. Jelas masih derajad preman pasar. Bayangkan berapa ribu ton karet per tahun dibawa ke Europa dan Amerika, Nippon dan Jerman sebelum Perang Dunia ke II untuk persiapan perang mekanis, dan beberapa tahun sesudahnya untuk rehabilitasi industri di Europa yang sudah hancur luluh, merekalah si feodal kampung ini menarik pajak pak Ogah dasana, menjadi pupuk, feodal puak dan kampung semakin subur. Mngambil alih kekuasaan Penjajah, dengan laras senjata, demi kampung dan puaknya, kroninya.

Tujuannya adalah kekayaan harta dan harta (baca buku "Catatan di Sumatra" terbitan Balai pustaka th 1952 karangan wartawan kawakan Parada Harahap ) tidak peduli dari mana.  Pulau yang ditengah, memang sudah ada  Sejarah Kerajaan yang dibangun dari structure hak kepemilikan sawah pertanian dan perdagangan rempah rempah cukup luas jangkuan dan volumenya, sudah dikerdilkan oleh penjajahan bangsa lain, dengan motif agama dan monopoli dagang.


Apa yang kita alami sekarang, dengan partai partai yang tidak berideologi adalah murni praktek kepemimpinan feodalisme, yang sudah terbukti pada pelaku dan attidude anggota DPR dan DPD nya, Gupernurnya, Bupatinya, Muspida dan Muspika yang terpilih karena menjual feodalisme rendahan kepada rakyat yang masih dalam kungkungan pola perfikir yang feodalistik puak dan kampung, berjoget dan berkelahi tawuran, sesudah yang mati sama jumlahnya lalu pesta perdamaian bakar batu, dan sejenisnya. Berhaji berkali kali untuk gengsi.  Bukan pengabdian pada subject yang ideal, umpama Kebangsaan dan Kehormataan bernegara, hidup zuhud tanda beriman. Jadi sebenarnya Pancasila yang diwariskan oleh Founding fathers Negeri ini sepertinya  tiara mahkota patokan bermasyarakat moderen yang realistik dan plural, diberikan kepada  manusia setengah liar masih setengah telanjang, semula bersenjata otomatis lagi, yang belum mengerti gunanya warisan itu. Meskipun P4 ini sudah dihafal dibawah todongan senjata, tapi tanpa keteladanan, akhirnya melainkan hanya untuk barang mainan retorika politik feodal saja.  Yaa  itulah yang tersirat dari peristiwa geger di DPR minta dibuatkan Perpustakaan yang  terlengkap di Asia Taneggara, padahal mereka, si feodal yang nangkring disana, tidak suka membaca, selain mengumbar hawa nafsu seperti feodal kampung lainnya,  yang penting anggarannya untuk ditilep,  dan DPD kita itu minta giliran dengan  “adil” gaji Pempinannya. jadi gantiannya  dalam jangka waktu yang singkat saja, jadi semua anngauta bisa merasakan tanpa usulan anggaran yang aneh aneh  untuk bancakan, ya suka sukalah wong sudah jadi singgasanya. 

Duh sedihnya si tua bangka ini, pensiun duda PNS colongan IV A cuma  kurang dua juta rupiah per bulan, janda atau duda dipotong 35 %, masih dipotong BPJS, bandingkaan dengan gaji anggauta DPD kita yang sampai 70 juta perbulan ? Gimana mbak Nadjwa ? 

Lha kerjanya apa, ngurusi konstituennya saja tidak ( ditayangkan di program TV yang sama: "Mata Nadjwa"- seorang ibu sudah berumur dari Sumatra Barat,  mohon ditinjau kasusnya sebab dirampas haknya- dua minggu menunggu pulang balik ke gedung DPD agar ditemui  wakilnya di DPD tapi ditolak karena DPD lagi sibuk), apalagi Bupatinya yang narkobawan. Mangkanya si Amran Batalipu bisa menjual HGU di Kabupaten Sulawesi Tengah 74 ribu hektare hanya disuap dengan 4 miliar rupiah oleh Hartati Murdaya Poo tanpa persoalan, dia juga beli lahan airport Kemayoran dengan diut kredit bank  dengan agunan tanah itu,  mustahil anggauta DPD dari Jakarta Raya tidak mengerti tingkah polah Gupernur Gupernur yang lalu.  Bupati Bangkalan bisa jadi pemilik sumur gas bhumi dan malang melintang memakai anggaran untuk kepentingan kroni dan pribadinya, dia darah biru dari kalangan NU, Kadin daerah Jawa Timur yang sudah lebih dari dua tahun menghamburkan dan melarikan dana hibah untuk Kadin Jatim puluhan mliar rupiah, dia Puang dan berdarah "Tolangi" dia pentolan Pemuda Panca Sila,  satu corps comando dengan yang terhormat Joris Raweai, dari Partai Golkar dolongan B, (Bakri) keduanya semula berpenampilan dan wajah sangar, tanpa ada arahan dan pertanggungan jawab,  ya dibiarkan saja.  Dan masih ratusan kasus Daerah, lolos tanpa ada anggauta DPD yang nencicit. Lha mewakili siapa ?

Dah terima setoran kaliii..............dasar*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More