Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Senin, 11 Januari 2016

PRAHARA PERGANTIAN ZAMAN

PRAHARA PERGANTIAN ZAMAN
Tidak ada yang abadi di bumi kita ini, kecualia perubahan itu sendiri.
Perubahan pada susunan masyarakat selalu terjadi diakibatkan oleh pertentangan antara yang bertahan, melawan   penyebab perubahan itu, khusunya dalan produktivitas masyarakat, secara keseluruhan.
Pada zaman modern ini masih berkecamuk pertentantan ini antara pendukung susunan  masyarakat yang  produktivitasnya lebih rendah melawan caplokan oleh masyarakat dengan produktivitas yang lebih tinggi.
Pencaplokan ini dijalankan dengan merintangi exploitasi kekayaan alam yang dimiliki oleh masyarakat yang produkvitasnya rendah, untuk digunakan oleh masyarakat yang produktvitasnya lebih tinggi dengan segala cara, sambil tetap membuat si rendah tetap pada posisinya dan menjadi miskin.
Tentu saja terjadi perlawanan dari si berkembang.
Perlawanan ini tentu saja menggunakan alat untuk mengatrol produktivitasnya dengan apa yang mereka punya. Tantu saja  dengan uang karena mereka miskin, mereka berhutang pada si kaya. Itupun mengandung jebakan dan kelicikan demi menjadikan si miskin tetap miskin.
Tinggal satu satunya cara, yaitu dengan apa yang si miskin punya, yaitu tenaga tangan manusianya.
Satu cara saja untuk mempertinggi peoduktivitas masyarakat miskin ini adalah merangsang tenaga kerja fisik mereka, dengan mengobarkan semangat dan memperpanjang waktu kerja, tidak ada jalan lain. Untuk ini perlu rekayasa yang menyangkut jiwa, demi menambah semangat dan pemperpanjang daya tahan bekerja di sawah, pabrik atau kantor.
Apa di masyarakat Negara yang produktvitasnya lebih tinggi tidak demikian ? Pasti demikian tapi ditambah unsur yang harus ada yaitu kualitas otak masyarakat itu sendiri. Insentive material dan persaingan sebagi imbangan..
Nah, soal kualitas otak ini juga sangat banyak mengandung jebakan, terutama bagi si pembuat policy pendidikan dan pengajaran. Sebab di masyarakat yang sudah tinggi produktivitasnya ya menyadari hal ini. Pergumulan terjadadi di perangkat keras dan perangkat lunak pendidikan generasi muda. Antara main “games” dan ketelatenan menghafal dari murid dan ketulusan guru mengajar ilmu dan moral/mental.
Mengenai semangat kerja, masyarakat yang hanya mengandalkan faktor  andalan ini, telah menekan sampai batas maximum dalam bidang ini dengan agitasi dan propaganda, akhirnya keceriaan kolektip dengan kawan sekerja di lahan pertanian, pabrik dan kantor dengan satu tujuan memompa semangat,  untuk kerja lebih cepat dan tepat dan memberikan waktu hidupnya lebih lama kepada pekerjaan.
Umpama “outing” pada waktu libur hari Sabtu dan Minggu oleh kolektip antara  para pekerja saja, sebab yang perlu adalah membicarakan urusan kolektivitas pekerjaan supaya harmonis, jadi  keluarga tidak ikut,yang perlu dihari libur untuk keluarga, diselengarakan kesenangan dan kebebasan bagi pribadi  pekerja dengan kolektipnya. Perusahaan tidak perlu bayar lembur, kan outing/ bersenang senang ? Tapi waktu buat keluarga inti  gimana?
Kan fungsi bapak/ibu masih dalam rangka alami mepertahankan kelangsungan hidup species Homo sapient ? Apa masyarakat sudah peduli dan bisa menggantikan peran bapak ibu kandung dalam waktu libur resmi yang dirampas secara halus dam menyenangkan ? Apa harus minta tolong pada srigala serigala unutk menemani generasi penerus ini ?.
Untuk mengimbangi produktivitas masyarakat yang msih rendah terhadap pengeluaran Masyarakat yang tergabung dalam Negara, panghasilan yang meningkat dari pemerasan tenaga otot dan mental dibelanjakan hanya  untuk persediaan pangan supaya harga stabil, dimana pangan sudah ditangan tengkulak international dikuasai oleh masyarakat kaya, maka digalakkan penciutan poduksi anak, sehingga pertumbuhan penduduk kurang dari 2% per tahun, sebab pertumbuhan penduduk berarti tambah mulut yang perlu diisi meningkat jadi lebih dari  2% setahun.  Spaya pertumbuhan tidak cuma menguras pertumbuhan produktivitas yang sudah dengan susah payah dirintis. Ini tarjadi di negeri China yang sesudah Perang Dunia kedua jadi Negara sosialis, sebelum itu, sangat rendah produkivitasnya, dengan pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Setelah menjadi Negara Susialis dalam beberapa decade produktivitas jadi sangat meningkat dengan kekuatan fisik tenaga kerja sebagian besar warganya. Pertumbuhan penduduk dikurangi hingga Negara hanya mengizinkan anak satu setiap keluarga inti.. China menjadi masyarakat dengan penjelengara Negara yang sangat pakar memperpanjang waktu kerja para pekerjanya, dan meningkatkan semangat kerja dengan murah.  Sayangnya penciutan keluarga inti tidak diimbangi dengan mentalitas “anakmu juga anakku”. Tetanggaku adalah saudaraku. Nanusia Negara Sosialis belum bisa menganggap seluruh bayi manusia itu ya anaknya sendiri secara tulus, sayang. Tarbukti pada generasi ketiga dari anak tunggal ini sudah tidak punya saudara sepupu, istilah paman dan bibi yang sebenarnya telah hapus dari kamus China. Tapi seorang ibu muda tentu saja pekerja,  menjadi single parent, jatuh sakit tidak berdaya. Tetangga, kawan sekerja dan Negara,  entah dimana. Menurut berita TV, si Ibu malang ini hanya dilayani oleh anak tunggalnya yang umurnya baru lima tahun. Sungguh tragis. Meskipun di kita keluarga bukan inti masih ada, tapi orang tua terlantar terpaksa harus dipelihara oleh anak anaknya yang masih sangat muda, kejadian yang biasa, tapi kita kan ndak penah jadi Negara sosialis ? Kita ini dalam masyarakat miskin duniawi, tapi uchrowi juga miskin. Karena sulit untuk mengetrapkan “bismillahirakhmanirahim” karena tidak mengerti, sehingga ada tetangga yang terlantar, dan kelurganya ya miskin, terpaksa dipelihara oleh anak anaknya yang masih kecil.
Problimnya  mana lebih dulu,  "care" terhadap sesama sesudah kaya,  atau miskin tapi juga "care" terhadap sesama ? Maunya, sudah lebih dari kecukupan dan peduli terhadap sesama. Iya to ? *)


0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More