Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Jumat, 01 Januari 2016

SERI 16-18 MATAHARI TERBIT WILWATIKTAPURA


16 WILWATIKTAPURA BERTAHAN SELAMA LIMA TAHUN SEBAGAI KOTA MERDEKA

Sungguh merepotkan tetangga Kabupaten dan Kabupaten yang lain menyaksikan betapa mewah dan nyaman rencana kota Wilwatiktapura, tanpa dilindungi oleh satu kekuatan besar di kawasan bekas kekuasaan Kadiri ini. Sebenarnya Kerajaan Kadiri lumpuh karena Ibu Kotanya terutama Kedathon Kadiri dihancurkan oleh jung jung perang dari armada dan pasukan Mongol. Habis Ibu Kota Kadiri, kedhatonnya dijarah olen pasukan Mongol, ganti jung jung peyerang itu diserang panah gajah oleh rakyat pinggiran sungai Brantas hingga kocar kacir, akibat akalnya putri Gayatri, yang semula buat pertahanan Kadiri demi kepercayaan Sang Mahaprabhu Jayakatwang, ternyata sebagai pisau bermata dua, bisa menyerang berangkatnya bisa menyerang pulangnya satu armada yang berani melayari sungai  Brantas. Kali ini serangan dengan panah gajah pada saat pulangnya armada jung perang,  Laksamananya bunuh diri dan raja yang ditawan dipenggal lehernya sebelum sang laksamana bunuh diri. Raden Wijaya memang tidak mempunyai pasukan apapun. Sedang Bhumi Wilwatiktapura memang ada di kawasan Kadiri, dimana Keturunan Kartanegara dan Raden Wijaya membeayai pembangunan kota dengan semua kenyamanan jaman itu. Enam bulan sesudah rencana kota itu dIlaksanakan untuk dibangun, sudah selesai seperlimanya, antara lain jalan jalan dan gorong gorong air pematusan seluruh kota, Jalan ke Pura Pemujaan para Pitri, jalan yang dilapisi pasir tebal, dan untuk pejalan kaki dilapisi lantai dari gerabah bersegi enam sejengkal lebih tinggi dari jalan, dengan perempatan menuju ke Wantilan Agung yang baru Nampak pondasi dan umpak umpaknya, Rumah dalam siti hinggil yang sudah jadi bagian dapur dan perangkat rumah belakang. Sejalur dengan sungai buatan yang sudah di tembok dengan dadu kubus batu kapur besar besar tapi belum diisi air.
 Gudang gudang sudah dipakai disebelah wantilan Agung, dan sudah berfungsi.  Diwaktu itu sosok yang paling menonjol adalah Bupati Tuban, Yang dipertuan Bupati Ranggalawe, yang membesar besarkan pertolongannya pada Raden Wijaya waktu dikejar kejar pasukan berkuda Mahaprabhu Jayakatwang. Memberikan nasihat supaya minta perlindungan kepada Aria Wiraraja. Dan Aria Wiraraja sendiri, yang oleh Raden Wijaya sudah dikirimi sejumlah bagian dari harta rampasan balatentara Mongol, sebagai balas budhi perlindungungannya kepada dia bersaudara,  rekayasanya untuk mempertemukannya  dengan Mahaprabhu Jayakatwang, itupun sudah diterima dengan bersyukur. Sebagi tanda hubungan  baiknya dengan Raden Wijaya dia menawarkan pulau Gili Raja untuk basis latihan latihan perwira, tamtama dan pajurit dari Wilwatiktapura, secara rahasia. Tempat yang sangat terpencil, tidak mudah diketahui orang.
Kali ini Ranggalawe, Bupati Tuban, menununtut bagian harta rampasan dari  pasukan Mongol, atau menjadikannya sebagai wali dari Kota yang baru dibangun bila kota ini jadi Kota merdeka, karana Ranggalawe juga termasuk dalam wangsa Girindra dan dekat dengan sang Kartanegara  saudara sepupunya. Ini dikemukakan sebagai dalih karena Kota baru ini harus dilindungi oleh pasukannya dari caplokan fihak lain, mengerti bahwa Wilwatiktapura tidak punya pelindung tentara yang kuat. Atau minta diangkat sebagai Mahamantri Hino di Wiwatiktapura bila menjadi kerajaan yang menggantikan ibu kota kerajaan Kadiri.
Tentara Tuban  dibawa ke Desa Dadu  atau Kudadu memang besar jumlahnya, dengan persenjataan lengkap. Raden Wijaya menemuinya di Kudadu pada hari ketiga sesudah permintaan paksa ini dikemukakan oleh fihak Tuban, sebenarnya hanya menunggu sampainya Gajah Mada di Tuban. Hari ketiga, ada  kabar berita dari merpati pos bahwa pasukan kecilnya sudah sampai di Tuban, dan Tumenggung penjaga Praja di Tuban sudah bekirim berita bahwa Gajah Mada sudah meduduki kota di Tuban, menuntut penyerahan Kota untuk untuk dilindungi dari penjarahan dan dibakar, Sang Tumenggung tidak bisa berbuat banyak, karena saat itu Gajah Mada sudah diperkuat dengan lebih dari seribu  orang dari  sekitar Penyaradan kayu jati dari Mada, bersenjatakan tombak panjang berkait sebagai tambahan dari pasukan berkudanya yang kecil jumlanya. Sang Tumenggung Penjaga Kota tidak berani gegabah melawan, sebab Tuban memang kosong. Berita ini tiba dibawa gandek, berkuda siang malam.  Adipati Ranggalawe sangat terkejut, dia mengaku kalah, minta Tuban Jangan dirampok, sebagai gantinya Adipati Ranggalawe mundur segera dengan pasukannya yang besar.
Tidak hanya itu, pasukan Kadiri dari Brangkal telah datang ke tempat penyeberangan sungai dimana raden Wijaya berperahu menyeberang sungai Brantas dari Utara sungai, sedang dari seberang selatan sungai terdengar sorak sorai sangat ramai ribuan mulut pasukan Kadiri beserta panah gajah ditembakkan kearah buritan perahu penyeberangan Raden Wijaya. Bala tentara Kadiri ini pada berdiri ditepi sungai Brantas dengan senjata pasukan Mongol, tombak berkait. Para balatentara Tuban merasa sangat lega dan bersyukur karena tidak diperintahkan menyeberang meskipun perahu perahu rampasan dari kiri kanan sungai sudah dipersiapkan, karena bila nekat menyeberang tentu terjadi korban yang sangat banyak mati konyol karena terbakar oleh panah gajah yang berapi dari nafta, sedang pasukan Kadiri dari Brangkal ternyata telah menunggu secara sembunyi. Bupati Ranggalawe menghentakkan kakinya ke tanah dengan geram, meniggalkan pinggiran sungai Brantas sebelah utara.
Gerombolan penyarat dari Mada sangat senang karena perjalanan mereka tidak sia sia, mereka mendapatkan ujung tombak  pasukan  Mongol dari besi tuang, dan uang dari Mpu Mada, cukup buat sangu pulang, atau memborong tuak dari Tuban yang terkenal itu.
Pemuda Gajah Mada ternyata bukan saja lurah Bayangkari yang handal, tapi juga pemimpin pasukan yang bisa diandalkan, telah membuat malu Bupati Tuban Ranggalawe. Enam bulan lebih keadaan Wlwatiktapura telah menjadi perhatian seluruh bhumi yang ditandai Mpu Sindok, akan jadi Negara besar.
Menjelang pitra yadnya, semua libur, pekerjaan dihentinan tiga hari tiga malam. Malam menjelang libur panjang ini Gajah Mada, Raden Wijaya isteri dan ipar iparnya pada kumpul di wantilan kecil, lebih mirip gazebo dari wantilan. Meski mereka putra putri Raja, Pangeran dan Brahmana, tapi umur mereka masih muda, dan matang ditempa keadaan. Mareka duduk dengan santai sebab kecuali istri Raden Wijaya semua berpakaian komprang cara pandega dari Madura. Membicarakan kejadian yang baru saja terjadi dengan Tuban,  mereka cekikikan menggunjingkan Bupati dari Tuban, Rakryan Ranggalawe yang marah besar karena siasatnya kandas menghetak hentakkan kakinya.  Untung saja ada kali Brantas yang menghentikan pasukannya.
Raden Wijaya membuka suatu pembicaraan, bagaimana secara murah dapat mempertahankan Wilwatiktapura dari orang orang semacam Ranggalawe, yang tidak diragukan dapat mengerahkan pasukan besar dengan iming iming mengenai pembagian harta rampasan nanti. Yang Dipertuan Rangalawe dapat mengumpulkan begitu banyak serdadu darat, sebagian besar mereka adalah nelayan miskin, karena sekarang lagi musim angin yang ganas, rakyatnya gampang dikumpulkan dan diajak berperang, memang lagi laip, selanjutnya mereka adalah nelayan. Tuban hidupnya dari tanaman kacang tanah yang selalu dicari oleh para pedagang dari China, baik kacang lepas kulit maupun minyak kacang dan bungkilnya. Kacang tanah ditanam di tegalan dataran diantara dua barisan gunung kapur Kendeng, tepian utara Bengawan Solo, memanjan dari barat ke timur sekarang para petani kacang lagi sibuk memelihara tanaman kacangnya, Tuban juga dari Kayu Jati yang tumbuhnya dekat pantai, mudah disarat ke laut. Jadi seperti di Kabupaten lain mereka tidak membayari tentaranya sepanjang tahun, mereka abdi untuk mengerjakan tanah yang  diberi pengairan oleh Yang Dipertuan Bupati, setiap kali selesai pekerjaan sawah bagi kaum pria, mereka diwajibkan ikut perang oleh Rajanya. Gajipun sering tidak diberikan, apalagi bila perangnya kalah, akan tetapi pangan mesti disediakan.
Raden Wijaya membuka persoalan kepada Lurah Bhayangkari dan putra putri Kartanegara  itu. Adu kecerdasan memang dalam banyak hal putri Gayatri sering berpendapat lebih  unggul. Kali ini dia hanya menggumam pada dirinya sendiri, sementara ada uang, mengapa penyarat glondong jati sepanjang pantai itu tidak diberi beban pekerjaan supaya enggan diajak perang oleh Bupati yang dipertuan Ranggalawe ?  Sementara umpama membuat perahu, dengan meminjam tangan para pandega dari Madura ? Memang untuk satu perahu dibutuhkan banyak orang untuk bekerja, misalnya memilih dan menebang kayu dari hutan, kemudian menyeretnya ke galangan perahu dipinggir pantai, mengolahnya untuk jadi papan lambung, gading perahu, lunas perahu, lantas membuat dempul pendeknya untuk satu perahu dengan ukuran lima ribu kati bisa membuat banyak orang terlibat untuk menerima upah. Empat puluh perahu cukup banyak untuk seluruh masyaraka nelayan ada kesibukan selama musim angin barat yang ganas.
        Putri Tribhuaneswari angkat bicara, bahwa Wilwatiktapura sebaiknya jadi kota merdeka, sipapapun boleh ikut membangun dan diberi hak untuk menyewa lahan yang mereka bangun, jumlah sewanya akan ditentukan oleh sidang para pemilik  lahan sewaan, untuk gudang dan tambatan perahu, mereka berhak ikut menentukan bersama harga sewanya. Uang sewa bisa untuk membayar pesukan Bhayangkari yang menjaga kota sekaligus mempetahankan kota dari serangan. Beaya untuk telik sandi dan pekerjaannya dipegang oleh pemilik kota Merdeka ini Raden Wijaya. Sehingga kelanjutan pembangunan kota, anggarannya bisa dialihkan ke pembuatan perahu perahu untuk pengamanan lalulinatas laut Jawa dan Maluku. Untuk bangunan Pasar dan gudang ada pajak yang harus dibayar kepada memilik kota. Pembuatan bangunan lain dan gudang gudang mutu bangunaannya harus dirundingkan dengan putri Gayatri. Setelah keputusan ini ditanda tangani oleh Raden Wijaya, di umumkan keseluruh perwakilan Kabupaten Kabupaten dan dikirim keleseluruh Perdikan atau sima yang kaya, sebulan berikutnya Kabupaten Wiarasabha mengambil pekerjaan membangun Pasar, djalan dan hunian disekitarnya, Perdikan Mada pilih ngerjakan jalan dan pergudangan dan jalan yang menuju kesana, jalan jalan ke permukiman, dengan harapan bisa menjual kayu jati olahan untuk bangunan dan perabotan. Kabupaten Kling membuat jalan pendek ke candi pemujaan bhatara Wishnu dengan bangun candinya untuk menempatkan Brahmana waisanawa sebagai Kepala Pemujaan disitu, dan masih banyak lagi, sehingga beban pengeluaran pembangunan kota menjadi berkuarang , dan bisa untuk pesan perahu perahu kepada para pandega di Madura yang pembuatannya di pantai utara Tuban. Hanya pasukan Bhayangkari yang pekerjaannya tambah berat demi menjaga persaingan dantara mereka tidak meruncing, supaya merasa ikut mempunyai kota baru ini.
Benar juga perhitungan putri putri Kartanegara ini, maklum mereka sudah digembleng dalam perjuangan mati hidup selam berbulan bulan dikejar kejar oleh pasukan telik sandi Jayakatwang, tetap tidak melupakan siapa sebenarnya yang membantu Raden kita ini. Ketika menghadap kepadanya beberapa tokoh dari Ampel Denta dan Sidayu untuk meramaikan kota baru ini, mohon agar bisa mendirikan perguruan ilmu dan Agama Islam di  Wilwatiktapura, Raden Wijaya tidak keberatan, mengingat jasa Ampel Denta waktu  dikejar kejar sang Jayakatwang, mereka diajak melihat peta kota, dan memilih tempat dan luas tanah yang diperlukan, yang memang disediakan untuk asyram dan pendidikan, tanah diberikan gratis, disebelah barat kota, penggir kali Brantas, Gajah Mada mngetahui akan hal ini segera menyanggupi menyumbang kayu bangunan dan tenaga. Disertai sembah dan salam cara islam mereka pamit dan sangat puas, dengan Penguasa Kota Baru ini. Semua penghuni Wilwtiktapura yang ikut membangun keperluan umum kota tidak ditarik pajak apapun selama lima tahun.                                  
 Gudang gudang kelas satu pembangunannya dawasi sendiri oleh putri  Gayatri, dia tahu bahwa gudang yang baik harus kering, ada pertukaran hawa yang bagus, dan harus bisa menyimpan dengan ringkas namun yang pertama datang harus dimungkinkan untuk dikeluarkan dulu. Jadi pembuatan gudang dekat terusan kali Brantas ini letaknya tinggi, diatas rata rata banjir tertinggi satu depa,  cukup dari tanah galian terusan yang dipadadatkan, seluruh tanah dibawah atap sebelum diperkeras dengan teliti dibersihkan dari kayu mati dan perakaran pohon yang tertinggal supaya tidak jadi makanan dan sarang rayap, diperkeras dengan batu dan dilapisi bubuk batu kapur sejengkal baru dilapisi pasir sungai Barantas dua jengkal dipadatkan atau depasang lantai dari gerabah, supaya tidak mudah terbakar dindingnya dibuat dari batu bata, yang derekat dengan abu gunung api gamping dan pasir. Pendeknya gudang yang baik bakal menjamin mutu barang yang disimpan didalamnya, dan pembuatannya lebih menuntut pengawasan dari membuat istana Raja. Di pinggir saluran buatan untuk tambatan dan berlalu lintas perahu, sebagian besar pengeluaran hanya untuk tujuan ini. Raden Wijaya begitu menuntutnya tentang pembuatan gudang ini kepada putri Gayatri, tidak peduli berapa beayanya, karena pengalamannya di Japan, dimana kerugian besar bila gudang penyimpanan bermutu rendah atau kebanjiran. Putri Gayatri langsung mengerti prinsip ini. Raden Wijaya pun sadar bahwa Wilwatikapura hasil karyanya akan menghidupi diri sendiri dari gudang gudangnya yang semua kelas satu, berdinding tembok dan beratap genteng dengan sudut yang menjamin tuntasnya air hujan, tahan lama meski kena hujan angin karena  ketebalannya, semua kayu bagian atas adalah jati, yang tidak dimakan rayap. Raden Wijaya tahu betul bahwa saat angin timur, saat datangnya perahu perahu pinisi dan lombo dari pulau pulau ditimur dan Luwu membawa rempah rempah dan pada saat angin barat saatnya perahu perahu besar dari Atas Angin,  China, dan Campa datang menukarkan dagangannya dengan rempah rempah wilayah timur. Jadi terusan dan gudang gudang ini lebih penting dari Istana sekalipun.   Putri Gayatri tahu betul dari petunjuk Raden Wijaya bahwa berat kaki tembok yang tependam dalam tanah harus lebih besar dari berat dari tembok dan atap bangunan apapun, dan dia sangat teliti dengan ketentuan ini.  Putri Gayatri punya mainan dadu besar besar semua dari bahan bahan bangunan berukuran lima jari setiap rusuk, digosok halus dan rata, untuk membuat perbandingan berat semua bahan bagunan, sehingga semua bagian bangunan baratnya bisa diperbandingkan dengan mengukur jumlah isinya. Dia mendapat pengetahuan ini dari Raden Wijaya dan Raden Wijaya mendapatkan dari Empu Bismasadhana, bagaimana menghitung isi satu benda berukuran tertentu.
Pokoknya Wilwatiktapura akan hidup dari gudang gudangnya. Kunci dari upaya ini semua adalah keamanan pelayaran ke Sokadana dan Maluku. Itulah gunanya perahu parahu yang dipesan dari para pandega dari Madura, sayangnya perahu perahu itu tidak pempunyai senjata yang mirip dengan jung perang dari Mongol, meriam meriam perunggu, karena terlalu berat. Raden Wijaya hanya bisa mengandalkan panah gajah yang harus ditembakkan dari busur yang panjang, sulit untuk digabungkan dengan keadaan diatas perahu. sampai di puncak pemikirannya hanya bisa menggambarkan kemungkinan untuk membuat kajang ( atap perahu) yang bisa diubah menjadi papan tembak panah gajah. Itupun dengan jumlah yang sangat terbatas karena panjang perahu juga terbatas. Kecuali itu penembakan panah panah gajah akan sering terganggu dengan keadaan layar, maka perlu ada latihan yang rumit untuk setiap anak buah perahu perang untuk menggunakan panah gajah dengan arah yang dikehendaki. Latihan ini di kerjakan di Gili Raja. Akan terjadi olah garak yang rumit untuk menembakkan panah gajah kearah angin bertiup karena posisi layar akan menutupi sasaran. Jadi layar harus extra besar, atau ada satu lagi di cerocok haluan perahu, untuk mendapatkan posisis diatas angin dari lawan, baru mengadakan olah gerak perahu untuk mengarahkan panah gajah. Akan tetapi kemahiran olah gerak dan ketekunan perahu parahu Madura ini meronda perairan antara Pulau Jawa dan Sokadana pada waktu musim timur sudah mengurangi banyak ulah para bajak laut dari Sampang dan dari Pulau Laut, membuat gudang gudang di Wilwatiktapura berisi, barang dagangan yang dihasilkan dari hutan hutan di Sokadana, misalnya getah jelutung, getah damar, kayu garu, bekasam ikan, dendeng ikan gabus kering dsb yang disimpan di gudang gudang ini dengan baik untuk menunggu angin barat, kapan prahu perahu dari Atas Angin menukar dagangannya.
Raden Wijaya masih ingat seorang pangeran dari Blega, yang keahliannya memelihara merpati pos,kuda untuk di undang ke Wilwatiktapura, diberi perkerjaan penting membantu Lurah Bhayangkari menyelengarakan kandang kandang merpati di Wilwatiktapura, Kadiri, Gili Raja dan Sumenep. Diperkenalkan dengan para Pengajar dari Ampel Denta, yang sudah memlihara merpati merpati ini di Wlwatiktapura, udangan ini disambut dengan gembira oleh sang Pangeran yang kegemarannya direndahkan oleh sidang pagelaran kepandaian di Singhasari, pada Pemerintahan Mahaprabhu Kartanegara, kini dia mendapat kedudukan disamping Lurah Bhayangkari, berhubung Wilwatiktapura bukan kerajaan, tapi dia mendadapat gaji yang sangat bagus dengan uang mas, disamping mempunyai tetangga yang sama kesenangannya memelihara merpati pos, para Kiai dari agama Islam Ampel Denta, yang juga membangun asyram di Wilwatiktapura.
Raden Wijaya terpaksa menyewakan sebagian dari gudangnya ke pedangang Bugis dari Sulawasi, dengan harga separoh, karena hanya pedagang Bugis dengan perahu pinisinya yang mampu berlayar di laut timur yang penuh dengan pembajak dan perompak sehingga sangat menggangu pengadaan barang yang sangat menguntungkan, rempah rempah dari timur yang sangat dinantikan oleh pedagang dari Atas Angin dan dari China. Bagusnya gudang dudang Reden Wijaya dilengkapi dengan halaman berlantai gerabah segi enam yan miring ke terusan, baik sekali untuk menjemur pala dan fuli yang dari sananya masih setengah basah, belum mencapai kekeringan yang sulit menghisap air kembali, jadi sesempai di Wilwatiktapura harus dijemur beberapa lama, hingga kering betul  tidak mudah jadi lembab dan berjamur.
Setelah lima tahun Raden Wijaya sekeluarga beserta lurah Bhayangkarinya, mengelola kota merdeka Wilwatiktapura, bukan sebagai apa apa melainkan pemilik Kota Bandar, Raden Wijaya mendapat kesimpulan bahwa perahu rondanya harus mampu mengangkut meriam china dari perunggu yang sangat berat, konstruksi perahu perang Madura tidak mampu untuk itu, kasulitan ini juga dialami oleh semua Laksamana dari seluruh sudut tempat bangsa bangsa yang melayarkan perahu. Palayaran untuk berdagang menjadi mahal oleh beaya upaya pengamanan dari perompak  laut. Dan kota merdeka Wilwatiktapura pemasukan dari gudang dan perdagangan sendiri, pajak perdagangan yang dibayar oleh pedagang, hanya pas pasan dengan upaya kota untuk mempertahankan keamanannya.
 Para Bupati disekitar Wilwatiktapura sudah bosan dengan upaya mencaplok kota ini karena dengan  adanya sosok yang menguasai kota ini sebagai pelindung pedagangan, barang dagangan makin meluas dan lancar, seperti kerajinan emas dari Bangil, karajinan kuningan dari Wirasabha, tikar lampit dari Trung, tenun dari Tuban hasil kerajinan kulit dari Kling dapat dipertukarkan dengan mudah dan adil disana.
Tahun ketujuh semenjak Kota Tiban Wilwatiktapura berdiri, para Bupati Seluruh bhumi Mpu Sindok, sepakat untuk menjadikan Raden Wijaya menjadi Raja perserikatan Bupati Bupati, yang berkedudukan Di Wilwatiktapura, oleh mereka disebut Kerajaan Majapahit, dan kerajaan Majapahit ini tidak pernah menuntut apa apa dari mereka, masuk dalam perserikatan itu termasuk Kabupaten Tuban.
Tuntutan Arya Ranggalawe untuk menjadi Rakryan I Hino, tepap ditolak dengan kasar oleh Kebo Anabrang, Bupati Tumapel, akhirnya mereka perang tanding di Tambak Beras dan Ranggalawe terbunuh disitu. Anehnya Kerajaan Baru ini tidak punya Rakryan Mapatih, dan Gajah Mada tetap jadi Lurah Bhayakngkari dari Pabhu Kertarajasa Jayawardhana.
Raden Wijaya tetap berkutat untuk memperbaiki keunggulan olah gerak perahu Madura dengan Lurah Bhayangkari Gajah Mada, akan tetapi tidak ada jalan keluar yang baik untuk menggabungkan nya dengan panah maskipun sudah dipasang dihaluan didepan tiang layar,  atau mariam perunggu. Ketiga putri Mahaprabhu Kartanegara akhirnya diperistri oleh Prabhunata Kartarajasa Jayanegara.*)


 JATUHNYA JAYAKATWANG DARI SINGGASANA KADIRI DAN KEKOSONGAN KEKUASAAN DI BHUMI MPU SINDOK

Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, bawa Kerajaan Mataram Hindu, yang terletak dikaki gunung-gemunung  yang subur dan indah, diantara lembah dan gunung Merapi Merbabu dan dataran tinggi Dieng., Akhirnya ada bencana besar dari ledakan gunung Merapi yang memuntahkan lava dan “wedus gembel” yaitu awan sangat panas dan meluncur sangat cepat sepanjang lereng berpenduduk petani dengan sistim pengairan sawah berundag  yang menjadi bagian besar dari pedukung ekonomi Kerajaan Mataram  Hindu.
Anehnya juga, kali ini ledakan besar itu menyamping, meledak kesisi lerengnya, tidak seperti biasanya kearah mulut kepundan dipuncak, jadi kurang lebih meledak kearah atas. Sidang darurat segera diadakan setelah Mahapralaya , kiamat kecil ini, ternyata sebagian besar penduduk persawahan yang subur telah tersapu “wedus gembel” awan yang sangat panas campur debu vulkanic, persawahan dan desa desa akan sangat sulit dipulihkan.
Sesudahah beberapa tahun setelah bencana besar yang menyebabkan mahapralaya ini, Kepala Keluarga besar Kerajaan Hindu yang ada di Jawa Tengah Empu Sindok, memutuskan memindah kerajaan mereka ke Timur.
Sesudah penelitian para Brahmana dan Ksatria, mereka sependapat di dataran antara Gunung Bromo dan kumpulan gunung Arjuno Anjasmoro dan Welirang, dilereng Tenggara Gunung Pananggungan. Mpu Sindok membentuk wangsa Isyana dengan sederetan penerusnya antaranya Raja yang terkenal Sang Airlangga, kemudian kerajaan dibagi dua Janggala dan Kadiri.
Dalam perjalanan waktu, timbul pusat kekuasaan baru, di Tumapel, dengan Ken Arok sebagai pendiri wangsa Girindra, wangsa ini ditabalkan jauh sesudah pendirinya sendiri meniggal,   oleh kekuasaan Kerajaan baru Singhasari . Pendukung berdirinya wangsa ini adalah Mahaprabhu Kartanegara yang telah menaklukkan Bali dan Kerajaan di Sumatra.
Setelah Sang Jayakatwang, jadi penguasa Kerajaan Singhasari, dengan sendirinya jadi yang dipertuan dari Negara Singhasari dan Kadiri. Singhasari jatuh  oleh serbuan kilat pasukan berkuda dari Kadiri. Maka di Bhumi jang diberi arti oleh Mpu Sindok menjadi tanpa penguasa yang pasti.
 Raden Wijaya, sebagai sang menantu dari Mahaprabhu Kartanegara, yang mati mengenaskan oleh serbuan kilat pasukan berkuda sang Jayakatwang, penguasa Kadiri, kemudian Raden Wijaya diampuni menjadi bawahan sang Mahaprabu yan baru setelah berkutat dalam pelarian yang panjang. Faktanya dialah sosok yang ada di pusat pusaran peristiwa peristiwa penting yang sangat mendadak, tanpa kemuauannya sendiri.
Tanpa pengumuman kemenangan, tanpa tiupan terompet dan tambur, Raden Wijaya membuka hutan dekat Wirasabha. Tepatnya antara Wirasabha dan Tambelang, yang merupakan tanah datar karena sedikit sekali kaki gunung Anjasmoro itu disini menonjol. Di pinggir selatan Sungai Brantas yang mepet dengan hutan perbukitan kaki Gunung Anjasmoro, dikiri kanan bukan persawahan yang mempunyai pengairan yang baik, melainkan kebun dan tegalan. Juga hutan hutan. Di barat daya agak jauh, melewati punggung rendah perbukitan kaki gunung Anjasmoro, ada persawahan yang luas, wilayah persawahan ini dialiri oleh  saluran   pengairan dari bendung Harinjing diseputar Kecamatan Kandangan sekarang, bendung terbesar pada zaman itu.. memadai untuk persawahan dengan panen dua kali setahun guna mendukung kota kerajaan Majapahit, Wilwatiktapura. Sistim pengairan itu sekarang jadi wilayah Pare utara dan Jombang selatan.
Memang wilayah hutan yang dijadikan kota itu banyak pohon maja yang rasanya pahit. Sepotong wilayah itu ditemuka oleh Mpu  Bismasadhana, melihat keletakannya yang membelakangi hutan dan bukit agak terjal rupanya perbukitan kapur sangat tua lebih tua dari Pegunung Kapur Kendeng yang berjajar diutara sungai Brantas, yang ini dikaki Pegunungan berapi,Ahnjasmoro-Arjuno Welirang-Pnanggungan. Mpu  Bhismasadhana menyuruh Raden Wijaya membuat permukiman disitu, dengan emas dan perak rampasan tentara Mongol yang jatuh ke tangannya tanpa dia sengaja.  Membuka hutan  memerlukan beaya banyak ini mencengangkan para Bhupati wilayah yang bertetetangga, yang menurut aturan silsilah Girindralah yang lebih berhak mengganti posisi Raja Kadiri yang kosong, karena Wangsa Girindra telah dicederai Prabu Jayakatwang. Maka dari Wangsa Girindralah yang menggantikan sang Jayakatwang. Merasa sangat kepingin untuk segera mencaplok kesempatan ini menggantikan sang Kartanegara yang telah dikalahkan oleh sang Jayakatwang, Rangga Lawe sebagai paman dari putra putri Kartnegara harus mendapat perhatian, paling tidak berbagi kekuasaan dengannya.
Sekali lagi kecerdasan  Raden Wijaya dan Putri Tribhuaneswari, yang memutuskan memberi upah tinggi pada para pekerja dan petani untuk bekerja membuka hutan disitu dan mendirikan Kota yang sudah direncanakan Rsi Bismasadhana, menggali saluran perahu dari kali Brantas, lebar panjang dan lurus, menggali dan menimbun lahan untuk tanah hunian, tanah, dengan saluran pematusan, dan saluran air bersih dengan gorong gorong gerabah, membangun tembok tembok hunian raden Wujaya, membagun sabha besar/wantilan Agung, dan istal kuda, candi bentar dan candi pemujaan para pitri. Picis emas dan perak dari jung lasykar Mongol lebih dari cukup untuk itu, sambil mengamati para tenaga kerja. Kesanggupan memimpin, bersemangat, dan memiliki kecerdasan, akan terpilih jadi perwira. Dari para pandega ini akan dipilih  oleh Raden Wijaya sendiri dan sang putri.
Ini sebagai upaya membentuk pasukan bela diri yang bebas dari intrik kekuasaan, karena beaya yang dikeluarkan untuk membangun kota ini memang extra tinggi, lebih dari biasa.
Tepat seperti yang derencanakan, para undagi, pandega, ahli segala bidang. Dari tempat tempat jauh sekitar bhumi bekas hutan maja yang rasanya pahit ini,  berbondong bondong datang dengan rombongannya, seperti laron tertarik pada api obor.
Semua mereka merasa puas dengan upah yang diterima setiap lima hari, setiap hari pasaran Kliwon, bagi pekerja.
Pembayaran beaya untuk para Pandega segala bidang dibayar tepat pada hari Soma manis, meliputi pelaksanaan  suatu rencana yang disepakati bersama dengan teliti (  sekarang namanya “bestek”). Uang emas dan perak, dibayarkan dibawah pengawasan sang putri  Narendraduhita, putri Jayendradewi dan putri yang paling cerdas berurusan dengan pembangunan Wantilan Agung, dan hunian, putri Gayatri.  Bisa ditebak, Raden Wijaya hanya tertarik kepada penggalian saluran dari sungai Brantas yang digali ditampung ke kolam pengendapan pasir dan lumpur kemudian baru dialirkan ke penambataan perahu perahu tepat dimuka gudang gudang  khusus. Atas prakarsa Raden Wijaya diadakan telaga besar dan dalam, untuk menampung pasir sungai Barantas. Air sungai jadi bersih dari pasir dan lumpur sebelum air dimasukkan ke saluran tambatan perahu besar, saluran ini sampai selebar tigapuluh depa. Kolam kolam pasir ini dibangun serupa kantung saluran dengan sudut masuk yang kecil dari kali Brantas, dari sana,  telaga pengendapan pasir ini, baru air dialirkan ke saluran yang dibangun dengan sudut kecil juga  untuk keluar ke kali Brantas lagi. Keletakan pinggir sungai di sini mengizinkan untuk membuat saluran ini. Diarah kepala cangkang penyu disitulah tempat sluran sungai Brantas dimulai. Emas perak dua gerobak sapi baru enam bulan sudah ludes. Ribuan pekerja yang dibawa oleh pandeganya masing masing lebih suka tinggal di Kota tiban ini, masing masing membawa keluarganya. Disinilah saluran  jalannya perahu itu di kerjakan dengan sunguh sunguh tepinya di tembok dengan batu kapur yang digergaji besar besar, sampai sehasta setiap rusuk batu batu kapur ini merupakan dadu raksasa,  diangkut dengan perahu dan disarat dari gunung Kendeng ke kali Brantas. Selain itu semua bangunan dibuat dari batu bata yang dicetak  dan dibakar dari timur kota, yang kebetulan ada sungai  kecil dan tanah liat berpasir sedikit yang sangat baik untuk mencetak batu bata. Salah satu adik laki laki sang putri mengawasi pencetakan dan pembakaran batu bata ini.
Semacam semen dari timbunan abu vulcanik yang merupakan debu,  tertimbun di punggung rendah suatu bukit dikaki gunung Anjasmoro, karena tertimbun jutaan tahun yang lalu, mungkin pinggiran pulau karang, sebelum terangkat naik oleh kegiatan pegunungan berapi cikal bakal pulau Jawa, dan tanahnya naik, secara lambat tapi pasti, maka timbunan abu ini tetap kering dibawah, seperti kita menuang air di setumpuk tepung, tanpa mengaduk aduk tepung yang dibawah masih kering. Debu ini sangat baik untuk dicampur pasir dan batu kapur tohor (sesudahnya dibakar disiram air), menjadi bubur kapur. Ketiga komponen ini dengan perbandingan tertentu, bisa kering menjadi sangat keras, untuk melekatkan batu bata satu sama lain, bahkan untuk membuat pintu pintu yang bagian atasnya lengkung. Konon cara serupa digunakan unutk membangun kota kota Romawi kuno.
              Jalan jalan di Kota baru ini dibuat lurus dengan banyak perempatan dan semua pinggir jalan untuk pejalan kaki, dihamparkan lantai batu bata bagi pejalan kaki, bersegi enam. Semua atap wantilan atau rumah dari genteng, tidak bisa sembarangan dibangun, diawasi sudut luncur air hujan oleh sang putri Gayatri sendiri, apalagi untuk atap gudang gudang, dasar banguna harus dalam dengan dasar atau pondasi yang kuat.  Tidak ada yang terlalu kecil sudutnya dan tidak juga terlalu besar sehingga nampak tidak seimbang. Semua umpak saka guru dan umpak umpak lain didatangkan dari Wirasabha dan Watu kosek diangkut dengan perahu dari Japan dan Kadiri.
Setelah dua belas bulan bekerja tanpa berhenti  dengan menghabiskan dua gerobak picis emas dan perak baru Kabupaten kabupaten seperti Kling, Wirasabha, bahkan Madyun dan Wengker mengirimkan bantuan berupa kayu jati gelondong, dari Kling mengirimkan sapi dan kerbau seratus ekor, dari Wengker mengirim kambing dan babi yang digiring sepanjang jalan sambil digembala, setelah dua bulan baru sampai,  beras dari Maja Legi (sekarang Pare),  dan pemberian para Bupatti yang bersimpati kepada para putra putri Kartanegara. Ada yang datang dari Mada, rombongan penyarat dan pengolah kayu jati, dijadikan papan tebal kayu tiang dan usuk berbagai ukuran, dikirim lewat Bengawan Solo dan berlayar mudik kali Brantas, hadiah dari Rsi Pandega sang Curadharmayogi, yang dipimpin oleh pemuda gagah, Bernama Gajah Gombak dari  Mada.
Pemuda ini kaget sekali ketika bertemu dengan orang Marga Yap yang jauh juah dari Kadiri mampir di Kota yang baru dibangun, menemui Raden Wijaya di tembok batu  yang besar besar dari batu kapur yang digergaji, diatas dinding bantaran saluran ditutup dengan dengan batu gunung yang keras sebagai bagian atas. Tiga orang bertemu diatas tembok bantaran terusan  sungai Brantas, terusan untuk perahu pengangkut ke gudang gudang yang baru dipasang pondasinya.
Kedua tamu yang ketemu di bantaran kali buatan ini, Raden Wijaya masih memakai baju dan lancingan komprang a’la pandega Madura, Gajah Gombak dari Mada mengenakan salwar dari tenun gedog Tuban  menyelempang tali kabrahman, dibimbing oleh orang marga Yap yang sahabat lamanya menuju Raden Wijaya yang lagi berdiri dengan satu kaki dan kaki yang lain menginjak  tiang batu pendek yang berbentuk palu untuk tambatan perahu. Melihat kedua orang itu dia menguncupkan tangan didepan dada dan memangil mendekati temannya itu. Raden Wijaya tahu pemuda Gajah Gombak putra Brahmana gryasta Rsi Curadharmayogi, ini dari kemarin waktu menyerahkan hadiah kayu jati olahan dari Rsi gryasta dari Desa Mada. Raden yang lagi mengukur kedalaman terusan atau pelabuhan buatan ini heran dan menanyakan bagaimana mereka sudah bisa saling kenal.  
Raden Wijaya mengajak pulang  bersama, mengambil kudanya yang di tambat di halaman gudang, sambil menyuruh mandor dari para pekerja untuk meminjam kuda dua ekor lagi dari Pandega pembangunan terusan. Sang mandor, mengerti dan  tergopoh gopoh melapor Pandeganya, Sebentar dua kuda lagi diberikan pinjam oleh pandega pembangunan terusan. Raden Wijaya ganti menerangkan pembuatan jalan jalan, yang dilaluinya, dengan lantai gerabah untuk pejalan kaki, rencananya lantai pejalan kaki itu dipasang di jalan jalan penting Kota Baru ini yang Sang Raden menyebutnya sebagai kota Wilwatiktapura. atau Kota Garuda, sebeb sibul dari Singhsari adalah garudawisnu, kotanya sangsa Girindra.
Sesampai di “rumah”, yang semestinya merupakan satu dapur dari istana yang sedang dibangun.  dari istana yang belum  jadi, mereka ditemui oleh sang putri Tribuaneswari, sekarang mereka berempat, Saudagar Yap menceriterkan kapan dan dimana dia bertemu dengan putra Brahmana gryasta ini, dia diberi keterangan dan petunjuk dan dibantu, melihat pencairan pasi besi di pantai Paririan Lamajang.
 mencari alur urat tambang batu kawi, dagangan saudagar Yap, bahwa profesinya adalah pelebur dan pencetak segala barang dari kuningan, berhubung kuningan banyak kelemahannya antar lain berat dan mahal, dua berusaha melebur besi.
 Undagi Yap memulai ceritanya waktu baru datang dari China bagian selatan, kota kecil, tidak berarti, tapi pamannya mengusahakan pengecoran kuningan dengan dia sebagai pembambantu.  Sekarang mengirim batu kawi berkadar tinggi dari Kadiri Selatan. Waktu senggang dia mengerjakan peleburan kuningan dan besi dan batu kapur ditambah batu kawi,  persis seperti para empu keris di Lamajang Selatan,  keris keris ini sampai sekarang dnamai keris Majapahit, ciri khasnya berpamor hitam batu kawi.  Pemuda Gajah dari desa Mada, menyatakan bahwa dia ingin sekali membuat laras meriam dari besi tuang, dia kagum sekali pada meriam meriam tentara laut dari China, yang konon dapat memporak perandakan Kedhaton Kadiri. Raden Wijaya terus terang bahwa dia bukan menggantikan jayakatwang, karena sebenarnya Kerajaan Kadiri bukan dia yang menaklukkan, bahkan bukan dia yang membakar perahu jung perang tentara Manchu, melainkan rakyat dari pinggir sungai yang dapat membuat panah gajah yang disulut dengan api nafta, malah faktanya putra putri Kartanegara lah yang mengajar Rakyat membidikkan panah api ke perahu perahu jung perang dari China ini, berbulan bulan demi membantunya  melaksanakan tugasnya, melindungi Ibu Kota Kadiri bila ada musuh mendekati dari sungai Brantas, maka putri ini memutuskan mengajari rakyat untuk membuat panah gajah, konon di Negara dinasti Rama dari negeri Ayuttya , ditepi sungai Mekong, mempertahankan tahtanya dan Negaranya dengan panah ini.  Untung saja sungai Brantas tidak selebar sungai Musi atau Barito, terbukti kemahiran rakyat dan niat mereka bertahan merdeka, dapat menghancurkan jung jung perang pasukan Mongol. Siapa mengira bahwa usaha ini semacam pisau bermata dua, bukan berangkat mudiknya perahu perahu jung perang ini dihujani panah gajah yang barapi, tapi justru pulangnya !
Bila terjadi di Sungai Musi atau Barito tentu saja setiap jung bisa berlayar ketengah tidak bisa dicapai oleh panah gajah sekalipun.
Sang pemuda Mada ini mohon untuk diberi pekerjaan di kota yang baru ini,  bagi Raden Wijaya untuk Wilwatikapura yang baru ini agak sulit, Raden Wijaya tidak bisa menawarkan jabatan apa apa, dia bukan Raja, seandainya diangkat jadi Raja oleh para Bupati yang berdarah biru, pasti mereka minta upah kedudukan yang pantas yang mereka incar, kabupaten yang kaya, atau penarik pajak dari wilayah yang ditinggalkan Jayakatwang. nanti mereka akan saling bersaing. Yang dia bisa tawarkan hanya menjadi pembantu pribadinya, katakan Bhayangkarinya, menyelamatkan dia dan adik adiknya dari usaha mereka yang serakah. Kota ini lebih  baik dari Kadiri maupun Janggala, apalagi Singhasari, tidak dimaksudkan untuk jadi sasaran empuk mereka  yang mengincar secara sembunyi sembunyi, maupun terang terangan.
Raden Wijaya meneruskan bahwa dia memang sedang memilih perwira dan tamtama prajurit secara diam diam dari mereka yang ikut bekerja membangun kota ini. tanpa sungai yang besar, mehadap ke sungai Brantas, bila orang menghadap ke Utara, disisi barat daya agak jauh ada persawahan luas yang tidak terlalu berundag, dikanan kebun kebun dan tegalan, di tenggara hutan yang besar kaki gunung Anjasmoro. Topografi wilayah ini bila diperhatikan sangat teliti akan berupa cangkangnya penju, pipih dan menonjol ditengah.
Setelah beberapa saat pemuda berilmu tinggi dari Mada ini menjatakan kepada sang Raden, bahwa dia sangat tertarik untuk menyumbangkan tenaga kepada penbangunan kota yang baru ini kepada raden Wijaya,
Dijawab oleh raden Wijaya bahwa dia bukan Raja, yang pantas menjaedi Tuan dari pemuda setara Gajag Gombak, yang memimpin penyaradan gelondong jati dari hutan seluas Rajeg Wesi. Walau demikian Raden Wijaya tahu betul kemampuan pemuda Gajah Gombak dari Mada ini, dari penampilannya, dia memastikan sosok ini  berilnu tinggi, jadi sang Raden menawarkan pekerjaan menjaga harta dan keselamatan kota baru ini terutama keluarga beliau, karena itulah yang sedang dibutuhkan sekarang, Pekerjaan ini ditawarkan kepada pemuda gajah Gombak, tanpa menyebutkan apa sebagai upahnya..
Karena raden Wijaya telah mendengarkan dari si orang marga Yap mengenai pelayarannya ke Probolinggo dari Rajegwesi dan penggemblengan Gajah Gombak terhadap pengikut mereka dalam ilmu memakai cambuk kulit sap[/kerbau dengan tenaga dalam sewaktu perjalanan mereka ke Pasirian tempo hari. Bahwa gajah Gombak dari Mada adalah murid Kakek Bangkong dari aliran Wu Dan ( Butong).

Putri Kartanegara lah yang mengajar Rakyat membidikkan panah api ke perahu perahu jung perang dari China ini, berbulan bulan demi membantunya  melaksanakan tugasnya, melingungi Ibu Kota Kadiri bila ada musuh mendekati dari sungai Brantas, maka putri ini memutuskan mengajari rakyat untuk membuat panah gajah, konon di Negara dinasti Rama dari negeri Ayuttya , ditepi sungai Mekong, mempertahankan tahtanya dan Negaranya dengan panah ini.  Untung saja sungai Brantas tidak selebar sungai Musi atau Barito, terbukti kemahiran rakyat dan niat mereka bertahan merdeka, dapat menghancurkan jung jung perang pasukan Mongol. Siapa mengira bahwa usaha ini semacam pisau bermata dua, bukan berangkat mudiknya perahu perahu jung perang ini dihujani panah gajah yang barapi, tapi justru pulangnya !
Bila terjadi di Sungai Musi atau Barito tentu saja setiap jung bisa berlayar ketengah tidak bisa dicapai oleh panah gajah sekalipun.
Sang pemuda tahu arti yang hakiki diberi pekerjaan di kota yang baru ini,  bagi Raden Wijaya untuk Wilwatikapura yang baru ini agak sulit, Raden Wijaya tidak bisa menawarkan jabatan apa apa, dia bukan Raja, seandainya diangkat jadi Raja oleh para Bupati yang berdarah biru, pasti mereka minta upah kedudukan yang pantas yang mereka incar, kabupaten yang kaya, atau penarik pajak dari wilayah yang ditinggalkan Jayakatwang. nanti mereka akan saling bersaing. Yang dia bisa tawarkan hanya menjadi pembantu pribadinya, katakan Bhayangkarinya, menyelamatkan dia dan adik adiknya dari usaha mereka yang serakah. Kota ini lebih  baik dari Kadiri maupun Janggala, apalagi Singhasari, tidak dimaksudkan untuk jadi sasaran empuk mereka  yang mengincar secara sembunyi sembunyi, maupun terang terangan.
Raden Wijaya meneruskan bahwa dia memang sedang memilih perwira dan tamtama prajurit secara diam diam dari mereka yang ikut bekerja membangun kota ini. Tapi tidak pegunungan Kendeng, tanpa sungai yang besar, mehadap ke sungai Brantas, bila orang menghadap ke Utara, disisi barat daya agak jauh ada persawahan luas yang tidak terlalu berundag, dikanan kebun kebun dan tegalan, di tenggara hutan yang besar kaki gunung Anjasmoro. Topografi wilayah ini bila diperhatikan sangat teliti akan berupa cangkangnya penju, pipih dan menonjol ditengah..
Memang tidak ada yang seorangpun yang sekira bisa diserahi pekerjaan jadi pelindung Keluarga Wijaya dan Wilwatiktapura. Jabatan ini diterima dengan senang hati oleh Gajah Gombak dari Mada ini.
Untuk jadi prajurit ,tamtama dan perwira, mereka yang terpilih ada duratus lima puluh orang. Semua dikirim ke pulau Gili Raja, diselatan Sumenep, dengan rahasia untuk dilatih kaprajuritan dan berenang dilaut, mendayung, mengendalikan perahu layar. Raden Wijaya tidak mau Kabupaten Kabupaten tetangga berfikir bahwa dia sedang menyiapkan pasukan.
Karena pasukan tentara pada waktu itu adalah petani, yang mendapat ganjaran lahan dari Raja sebagai gaji, Raden Wijaya  tidak membangun tanah berpengairan disekitar kota Wilwatiktapura, Jadi pendiri Kerajaan Besar Majapahit ini membayar tukang tukang untuk bekerja membangun kota, sambil memilih diantara mereka untuk nanti dijadikan pasukan inti. Sementara Wiwatiktapura belum jadi seluruhnya, mereka dilatih ditempat yang terpencil Gili Raja disatu pulau kecil di selatan kota Pamekasan, enam bulan, kemudian dipulangkan dan kembali sebagai buruh bangunan yang sewaktu waktu disiap siagakan, jadi tidak menggaji orang menganggur. Sungguh cerdas.
Sebaliknya secara menyolok Gajah Mada di beri wewenang untu membentuk pasukan dari orang orang yang terpilih untuk menjadi Bhayangkari Kota Baru yang sangat ramai itu. Hampir enambelas  ribu keluarga sudah bermukin disekitar Kota, lokasi yang sudah dipetak petak dengan jalan lalan yang lurus dan bersih, tinggal mendirikan rumah, dan kampong kampong. Bhayangkari ini hanya bersenjatakan tongkat, selalu berkeliling mengawasi keramaian. Mereka berpakaian biasa hanya berkampuh poleng hitam putih, seperti para pacalang di Bali sekarang yang menjaga keamanan pada hari Raya Nyepi. Hanya mereka yang telah mengenyam khidupan di dunia persilatan dapat menandai mereka yang berilmu tinggi dan berniat membuat keonaran. Pemuda Gajah Gombak dari Mada sebagai yang ditandai Raden Wijaya mampu mengendalikan hal hal semacam ini. Warung tuak, tempat perjudian, dan tempat keramaian dimana banyak kerkelahian, semua diatasi oleh Bhayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada ini. Di suasana inilah Gajah mada mengenal organisasi rahasia dari kaum Bhairawa yang ikut nimbrung mencari pengaruh di Wilwatiktapura. Untuk sementara dia amati gerak geriknya.
Sebaliknya, Raden Wijaya mengirm Ki Wiradenta ke Kadiri bersama dengan Adik iparnya untuk mempersiapkan pasukan serbaguna, dan sesudah genap enam bulan dikirim ke Wilwatiktapura, sebagai Pasukan dari Kadiri, yang berkedudukan di Brangkal,  mengimbangi permohonan Bupati Wirasabha menempatan Perwakilannya, yang tentu saja dengan balatentaranya di Kota baru Wilwatiktapura ini. Bupati Kling tidak mau kalah menempatkan perwakilannya  di Wilwatiktapura, seorang Pengeran, dan menempatkan pasukan khususnya di Perak. Tidak ketinggalan Bupati Rajegwesi mengirimkan perwakilannya ke Wilwartiktapura seorang pangeran juga, dan pasukannya ditempatkan di Ploso. Para  bupati ini khawatir Kota tiban yang kaya ini jatuh ke Bupati tetangganya yang mempunyai Pasukan dan perwakilan di Majapahit, baik secara kasar maupun secara halus. Mesti saja dengan mengambil hati  untuk memperistrikan salah satu dari putri mahaprabhu Kartanegara, atau putri Narendraduhita, atau putri Jayendradewi atau putri Gayatri. Sedangkan kota Wilwatiktapura masih dibangun belum selesai baru  seperlima  bagian saja dari seharusnya  yang seperti dalam gambar. Kesederhanaan dan kesibukan putri putri Kartanegara tidak punya waktu buat melayani para Perwakilan itu di perjamuan perjamuan Kerajaan wong perjamuan perjamuan ini tidak pernah ada, wong Raden Wijaya memang bukan Raja apapun, maka Raden Wijaya dan saudari saudari iparnya sedang sangat sibuk bekerja dan menerima perkerjaan yang harus dibayar. Persaingan antara Perwakilan Kabupaten tetangga ini sering merepotkan sang Gajah Mada.  Waktu itu baru mendirikan jaringan telik sandi dan pasukan Bayangkari, yang mengatur kota baru yang ramai itu.   Ada aturan baru yang diundangkan oleh Lurah Bayangkari Wilwatiktapura: Selain Raden Wijaya, para adiknya  dia sendiri dan para pandega pekerjaan penting yang diberi tanda, baik siang atau malam, dilarang mengendai kuda di jalan jalan yang ada dikota Wilwatiktapura.
Sang pemuda Gajah Gombak merasa risih dalam waktu yang sibuk ini para putri dan putra Raja, Raden Wjaya dan dia sendiri sangat sibuk berlalu lalang dijalan yang sudah selesai dibangun maupun dijalan yang belum jadi, para putri dengan mudah melompati selokan dan gorong gorong  sedepa lebarnya dengan kudanya tanpa berniat untuk pemer, terpaksa terganggu oleh ulah para utusan dari Kabupaten tetangga berkuda kencak memperagakan kekayaan dan kebangsawanannya dengan nenggunakan jalan, sehigga sangat mengganggu keperluan yang mendesak dalam mengawasi pembangunan kota oleh putra dan putri raja dan raden Wijaya sendiri, yang selalu bekuda dengan maksud yang penting.
Apalagi menjelang hari Soma manis. Kapan para putri harus menghadapi para pandega untuk mohon bayaran dari pekerjaan yang sudah selesai, harus diteliti sendiri oleh para penanggung jawab ini. Sering terlihat putri Gayatri mengenakan pakaian lelaki, memacu kudanya ke tempat bangunan diseluruh kota sambil menggamblok di punggungnya gulungan kulit kambing, dikuti oleh pembantunya berkuda dengan bawaan yang sama,  tongkat ukuran, gambar detail dari bangunaan yang diperiksa, semua putri maupun putra dan Raden Wijaya sendiri saban hari sangat sibuk menggunakan jalan jalan ini. Dengan sangat menyesal para perwakilan hanya dibolehkan naik tandu, di jalan jalan yang sudah dihampari lantai untuk pejalan kaki maupun yang belum. Repot juga bagi para perwakilan ini bersikap, karena Raden Wijaya dan adik adik iparnya bukan raja dari kota ini, apalagi lurah Bayangkari, tapi merekalah yang memang merencanakan dan membayar upah dari pembangunan kota baru ini, jadi apa boleh buat, mereka ganti profesi dari pesolek menjadi penerima pekerjaan…pemborong kerja, maksudnya sebagai dalih mendekati keluarga bekas pelarian itu.
Setiap kali ditawarkan oleh Keluarga Wijaya pekerjaan, dengan ukuran dan gambarnya. Apa boleh buat, ini bukan pekerjaan para ksatria yang seperti ini, mereka rata rata hanya bisa mengerti untuk menerima pekerjaan menguruk dan menggali apa saja, sedang untuk membangun tembokpun mereka tidak sanggup untuk menterjemahkan gambar dan kenyataan apalagi mengatur upah dan beayanya.  Mereka barsaing datang di Wiwatiktapura untuk mendapat perharatian dari putri putri raja yang sayangnya lagi sibuk bekerja.
Ada kejadian yang sangat merepotkan Raden Wijaya, ketika putra Bupati Wengker yang dikirim sebagai utusan, menerima pekerjaan menggali saluran yang panjangya  dua setengan  ribu langkah, sedalam  tiga setengan depa, harus selesai dalan 35 hari. Upah sudah disetujui 100 keping picis emas dan lima ratus perak, teryata sudah dua puluh lima hari pekerjaan belum sampai separoh,  bayaran buruhnya yang kebanyakan kiriman dari Wengker kurang  dibandingkan dengan buruh orang setempat yang mendapat upah diri keluarga Wijaya, mereka mogok pada tidak mau bekerja. Pekerjaan di saluran bayarannya hampir dua kali lipat. Keadaan ini sampai ditelinga Raden Wilaya, langsung diambil alih pengerjaannya oleh mandor dari orang setempat dan besok paginya semua orang berkerja sampai malam. Pangeran dari Wengker ini murka besar, tapi tanpa banyak cing cong pekerjaan yang belum selesai dibayar penuh oleh Raden Wijaya, sedang sepuluh hari berikutnya pemakai tenaga kerja diambil alih oleh  Mandor orang setempat sedangkan upah tetap dibayar apa mestinya oleh raden Wijaya. Ternyata sang Pangeran dari Wengker salah perhitungan, dikira dengan wibawa, cambuk dan ancaman, pekerjaan bisa selesai dengan sendirinya. Tenyata bukan saja upahnya yang murah tapi memang jumlah tenaga pekerjanya yang didatangkan dari  Wengker memang kurang, jadi bagaimanapun pekerjaan  akan selesai pada waktunya. Karena sumpah serapah dan ancaman sang Pangeran, semua buruh ini mohon untuk diterima jadi warga Kota Wilwatiktapura, kepada lurah Bayangkari sang Gajah Mada, dan tanpa banyak tanya mereka langsung diterima dan diberi tanah sebelah timur kota setengah bahu tegalan setiap orang, karena malu sang pangeran pulang ke Wengker, tanpa pamit atau bicara dengan tuan Rumah raden Wijaya, apalagi berpamitan pada putra putri Kartanegara, (yang menurut pandangan pangeran Wengker ini, semua putri putri Raja Karanegara  tidak menarik, kelaki lakian *)  .




. 19  MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 17)
  LURAH BHAYANGKARI WILWATIKTAPURA.


Uang yang beredar di Wilwatiktapura yang mulai dibangun sebagian beredar diseputar lokasi pembangunan kota itu hingga limapuluh yojana, meliputi Kadiri, Kling (Nganjuk), Wirasaba (Mojokerta) bahkan sekitar Rajeg Wesi ( Bojonegara). Uang ini adalah belanjaan pembelian kayu bangunan, batu kapur gergajian dengan ukuran kubus yang sehasta rusuk rusuknya, Batu batu umpak tiang tiang bangunan dan candi candi. Sebagian untuk peperluan makan, yaitu sembilan bahan pokok, yang bisa disediakan di tempat adalah kayu bakar  untuk masak, yang lain terpaksa didatangkan dari tempat tempat hunian sekitan bangunan kota baru ini. Lurah Bhayangkari harus mengamankan jalur supply ini.
Ternyata banyak jalur lalu lintas baru, banyak pemberhentian perahu baru sekitar lokasai pembangunan kota yang harus diamankan dari kejahatan terutama dari perampokan dan pencurian. Jalan rintisan dari segala arah menuju ke bekas hutan Maja ini, semakin ramai, warung warung, gudang  tempat barang barang dagangan diturunkan dan berganti pemikul atau berganti gerobak bila jalanan memungkinkan, Tempat tempat pemberhentian lalu lintas pemikul atau gerobag ini rawan untuk jadi tempat para penjahat menjadi raja kecil menarik uang keamanan, sangat menjadi perhatian Lurah Bayangkari. Semua kedai Tuak dan warung remang remang juga menjadi perhatian lurah Bhayangkari kota yang baru dibangun ini.
Setelah Ranggalawe terbunuh karena perkelahian dengan Kebo Anabrang, Lurah Bhayangkari sadar bahwa ada yang mengincar Pimpinan dan Gudang Uang picis emas perak , untuk membangun kota ini.
Dalam hal ini Gajah Gombak dari Mada mengadakan perundingan dengan Raden Wijaya maka mereka mohon kepada sang Guru Bagawan Bismasadana dan Rsi Curadharmayogi untuk menghubungi Ketua semua Perguruan Silat aliran lurus, sampai wilayah Pengging dan Kedhu, untuk membantu dengan mengirimkan muridnya yang terbaik ke Wilwatiktapura untuk menjadi Pengaman luar dan dalam. Malah perguruan silat khusus pendekar wanita dari Gunung Jati, Jawa Barat , “ Sekar rinonce” juga diundang. “Sardula Liwung” dari Gunung Ijen, “Trimurti” dari Lembah Rengganis, “Trisula” dari lereng Gunung Wilis, perguruan “Gunung Pandan” dari Rajeg wesi, dan masih lima enam lagi perguruan silat tingkat tinggi yang diundang. Yang aneh lagi munculnya perguruan silat yang sangat tersembunyi tidak pernah muncul ke permukaan adalah “Sarapwaja” dari Sidayu, muara Bengawan Solo, yang senjatanya berupa talempak atau tombak pendek bermata lebar serupa dayung, nama setempatnya sarap, mereka ini sangat dibenci oleh sakte nyleneh agama Hindu aliran Bhairawa, karena disamping mengaharamkan semua prilaku anggauta aliran ini, kecuali tidak mengharamkan memuaskan makan ikan, juga mempunyai kemampuan melawan kekuatan hitam yang sangat handal yang  dimiliki oleh golongan Bhairawa ini. Menurut pandangan kaum Sarapwaja, memuaskan diri dengan “Ma” lima yaitu “Matsya” makan ikan, “Ma’argya” (mabok minuman keras), “Mamsya” (makan  daging segala binatang ), “Maudra” (menari nari sampai trance), dan “Maithuna” ( berhubungan sex secara orgy liar) untuk mencapai kesempurnaan adalah pembenaran menyesatkan dan palsu. Karena orang mengendalikan hawa nafsu itu maksudnya supaya menggunakan energinya untuk mengasihi sesama ciptaan Sang Maha Agung, dan pemurah kepada mereka, berupaya “mamayu hayuning bhawan” atau membuat lingkungan hidup menjadi berharga untuk dihidupi. Maka dengan memuaskan hawa nafsu sekehendak sendiri  mengumbar hawa nafsu diri sendiri sehingga puas dan serta merta mengalami kesadaran yang tertinggi itu bohong, karena mengorbankan kepetingan orang lain.
Lha bila orang hanya sibuk memuaskan diri sendiri saja,  kan menyusahkan orang lain juga. Mpu Lurah Bhayangkari sengaja mengundang Kelompok silat yang tidak pernah terkenal di dunia persilatan ini karena golongan ini selalu bisa menangkal kekuatan kaum Bhairawa secara wadag maupun memunahkan kekuatan magis hitam nya.
Sebenarnya pandangan perguruan Gunung Pandan dari Rajeg wesi, yang sangat dipengaruhi Pesilat kaum Bu Tong dari Negeri China, dan azas panteisme dari Parsi, bertumpu pada ajaran Budha, menentang pengumbaran hawa nafsu bahkan makan daging dan  lain barang berjiwa saja mereka hindari,  pantang minum minuman keras, dan sangat menghormati kaum Pendeta Budha nya yang harus menjalani brahmacarya atau tidak melakukan hubungan suami istri (celibate). Anehnya di tingkat yang paling tinggipun kaum ini masih keder menghadapi kekuatan magis kelas tinggi dari kaum Bhairawa  yang mendatangkan Bhatara Kali silih rangkap dengan Bhatara Rudra. Iya ini bisa dimengeri, sebab walau di tingkatan yang tinggi dari aliran yang dipengaruri Budhisme ini masih menyandarkan kehidupan wadagnya dari perlindungan dan pemberian Penguasa dan rakyat termasuk orang orang kaya, jadi mengandung pamrih, atau maksud agar dijamin kepentingan duniawi mereka Ya seperti yang sekarang sementara pendeta pendeta Budhis ngebela belain pelindungnya walau jelas lelas menyuap Penjabat Negara seperti Hartati Murdaya Poo tanpa malu malu.
Sedangkan kehidupan wadag kelompok Sarapwaja menyandarkan  pada Allah dan berupaya dengan tenaganya sendiri bekerja mencetak sawah dirawa rawa mencetak  sawah tambak dengan kekuatan sendiri walau perkerjaan ini  sangat berat. Pada lingkungan perguruan silat Sarapwaja alias Aswaja yang berdasarkan agama Islam, meskipun mereka kawin secara wajar dan tidak pernah celibate, mereka makan daging yang disembelih dengan azas “Atas Nama Allah yang Maha Pemurah dan maha Pengasih”. Dan azas itulah yang melandasi setiap perbuatannya. Maka wadag mereka seperti dilindungi oleh tenaga yang tidak nampak dan mampu membakar balik kekuatan magis hitam andalan kaum Bhairawa apapun berikut pelakunya.
         Konon menurut Waliullah, Pemimpin  mereka,  Allah Sang Hyang Widiwasa berkenan mengganti segala petunjukNya yang dibawa oleh Utusan Utusannya yang terdahulu dengan Petunjuk dan Perintah yang dibawa oleh UtusanNya yang terakhir Muhammad Rasulullah. Azas hidup yang paling alami bagi Manusia  dan pasti bisa dilakukan, melandasi semua perbuatannya dengan mengatas namakan Allah yang Maha Pewmurah dan Maha Pengasih, Bahkan Allah memberikan sandi asma (pass word)  Malaikat untuk mereka datangkan  melawan apapun wujud magic  dari Kaum Bhairawa yang sekuat Bhatara Rudra sekalipun akan terbakar bersama pelakunya. Orang Hindu menyebut keistimewaan ini sebagai “ajian Cunda Bhairawa”, mirip cermin ga’ib yang memantulkan dengan kekuatan berlipat lipat  energy black magic yang dicurahkan oleh pengirimnya, kebanyakan kaum Bhairawa, yang merasa terganggu aktivitasnya.  Di Pedalangan wayang kulit ajian ini milik sang Puntadewa anak sulung sang Pandhu dengan ibu Dewi Kunthi, kakak dari semua Pandawa. Sedang  ajian Cunda Bhairawa itu sebetulnya hanya sebutan pass word saja,  oleh orang yang beragama Hindu, dikira satu ajian  untuk menghadirkan Malaikat guna menjaga diri dengan mengembalikan segala energi kembali menghunjamkannya dengan kekuatan berlipat lipat,  nama yang seharusnya adalah “cermin ga’ib”.  Sedangkan pimpinan kaum Bhairawa saja,  Guruji Rsi Dutanggira yang datang dari Atas Angin dan yang berumur tak terhitung panjangnya, juga Guru  Sang Prabhu Kertanegara yang sudah makayangan, dia ini segan menghadapi kaum santri dari daerah Sidayu dan Garowisi.
         Undangan kepada Aliran Aliran silat  bersih ini untuk bergabung menjaga keamanan Wilwatiktapura, yang rentan terhadap kejahatan yang terorganisasi seperti kaum Bhairawa. Sebagai gantinya menjanjikan kebebasan yang sama bagi semua aliran agama, asalkan mereka saling menghargai dilingkungan Wilwatiktapura.  Ini mendapat sambutan baik dan Pimpinan, atau Waliullah mereka sehingga datang hadir  atau mewakilkan pada murid tingkat atas mereka. Maka selama seabad kaum Bhairawa tidak menyentuh Wilwatiktapura tapi berkumpul di Sengguruh (sekarang Malang) dekat Singhasari, sebagai kebiasaannya secara exkluisive terbatas pada anggauta dengan sumpah berat, sambil menunggu waktu, menebar pengaruh di Wilwatiktapura.
 Sanggar sanggar latihan didirikan di Wilwatiktapura secara mandiri masing masing aliran, sedangkan aliran Sarapwaja bergabung dengan asyram perguruan Agama Islam, dan sama sekali idak mengadakan gladi fisik di Wilwatiktapura. Ini disebabkan karena gladi fisiknya ada di rawa rawa luas di muara bengawan Solo, membuat saluran saluran, pintu pintu air, agar hanya air tawar saja yang bisa masuk ke sawah mereka yang juga panen dua kali setahun. Kecuali musim banjir,  ditanami padi rawa yang malainya bisa terapung kepermukaan air banjir dari kedalaman sampai sedepa, juga ditebari ganggang yang menjadi pupuk bila air surut nanti. Pekerjaan yang sangat berat. Mereka menggali lumpur  rawa dengan sarap, linggis yang lebar semacam dayung perahu, berbobot berat supaya bisa masuk kedalam lumpur dengan mudah, inilah cara mereka untuk melatih tenaga dalam, melatih tenaga dalam pernapasan dan pemusatan tenaga dalam mereka di pusar, disertai  pemusatan dzikirullah.
Disinilah teruji kecakapan Mpu Mada, semua unsur unsur baik dalam masyarakat Wilwatiktapura ikut menjaga keamanan dan ketertiban diwilayah ini. Malah murid murid senior dari perguruan Sarapwaja secara bergilir bertugas di Wilwatiktapura secara diam diam, membantu Mpu Mada, secara sukarela, yang jumlahnya sampai ratusan orang, mereka berkepandaian tinggi. Dengan mudah mereka menyiisipkan dirinya di masyarakat Hindu kebanyakan dari wangsa waysia dan sudra  sebagai Pedagang, sebagai pemilik komplek persinggahan para pemikul barang semacam “karavan saray”(istilah Turki) nun di jalan sutra ditengah gurun dan padang rumput  Asia Tengah. Warung warung kebutuhan pokok dan obat obatan, dan bergerak mengajari anak anak kaum waysia dan sudra membaca dan menulis huruf Arab dan huruf Palawa, terutama etika Islam dan memberantas kejahatan, dan hidup bersih, dengan  secara diam diam bekerja sama dengan Bhayangkari Praja seluruh Negara,  menjadi telik sandi sukarela,  melaporkan berita dengan merpati pos.  Maka selama seabad Wilwatiktapura menjadi pelabuhan singgah dan arena jual beli antara dagangan dari pulau pula di Timur dan barang barang dari China dan Atas Angin, India dan Parsi.
Suasana inilah yang mengilhami para Dhalang wayang kulit, ratusan tahun kemudian bila menggambarkan satu Negara yang kaya raya cukup segalanya, aman dan makmur, digambarkan bahwa kerbau sapi di lapangan penggembalaan sore hari akan pulang sendiri sendiri, tanpa digiring oleh penggembalanya, tidak ada pencurian ternak atau pencurian apapun.
Pertemuan Guruji Sang Dutanggira dengan Syekh Jumadil Kubro terjadi, karena kebetulan Guruji Rsi Dutanggira berkenan mengunjungi pertemuan besar kaum Bhairawa dari sekitar Wlwatiktapura di tepi Sungai Brantas yang berpasir dan sepi, yaitu di pertemuan dua sungai, Kali Brantas dan Kali Konto, dan ini adalah tempat yang dekat dengan Wilwatikapura, jadi tempat berkumpulnya kaum Bhairawa warga dari Wilwatikapura, dan tepian yang  luas berpasir  berbentuk cangkang penyu. Tempat ini tepat untuk pertemuan kaun Bhairawa karena  pada zaman itu sepi sekali, juga gersang  melulu berpasir yang dibawa oleh aliran sungai Konto, sisi barat gunung Anjasmoro.
Semingu sebelumnya dilaporkan di wilayah itu ada perampasan dan pencurian ternak, penculikan gadis gadis desa yang muslimah dilakukan secara misterius, yang meresahkan peduduk desa desa sekitarnya. Merpati pos dilayangkan segera dari telik sandi diwilayah Kertosono, diterima langsung oleh Lurah Bhayangkari Mpu Mada. biasanya kejahatan terhadap masyarakat semacam itu dilakukan oleh golongan yang mau menang sendiri mengandalkan kekuatannya.  Mpu Mada menghubungi Asyram Islam di Wilwatiktapura, dan kebetulan ada Pembiming yang sangat dihormati bertamu disana, Waliullah Syekh Jumadil Kubro, Syekh ini sudah lama bermukim di Sedayu, di asram mbah Pancir, kelana dari Lembah Pansyir dekat Pakistan sekarang.(makanya sekarang nama tempat itu adala Paciran. Syekh ini linuwih, manusia luar biasa yang bisa datang dan pergi semaunya, bisa berada dimana mana satu saat yang perlu, dan mempunyai kehidupan wadag yang hanya melulu demi mengamalkan rakhman dan rakhim, disamping kehidupan biasa sebagai petani.  Kepadanyalah  dibisikkan satu pass word  mendatangkan satu  Malaikat dari Allah, satu sandi asma agar bisa menghadirkan Malaikat ini guna melindungi  dirinya seketika, melindungi dari kekuatan apapun yang bukan dari Allah.
Orang Hindu menamakan aji Cunda Bhairawa ( mungkin kata “cunda” yang hanya ada di sastra Jawa lama jadi asal kata pe-cunda-ng yang artinya nengalahkan atau merendahkan) , karena kaum Bhairawa sangat menghindari barang siapa yang memiliki ajian ini.  Perlindungan yang diberikan oleh Malaikat  berlaku sebagai cermin, yang memantulkan kekuatan magi hitam apapun yang menyerang dengan kekuatan pentulan berkali kali lipat.
Disaat rembulan mencapai bulatnya pada tanggal limabelas bulan “pranata mangsa” (hitungan kalender petani di Jawa) mangsa kesembilan, ratusan kaum ini menari liar setengah telanjang mabuk dan memuaskan diri dengan makan daging binatang liar dan ternak curian, hanya dibakar sekenanya saja, diselingi pesta minuma keras, sungguh meriah dan menjijikkan disekeliling api unggun yang besar pemuda pemudi gila, oran tua sinting, orang setengah baya,  melakukan orgy sex terbuka berserakan dimana mana, ditengah bunyi tetabuhan gendang dan bedug menderu deru. Sang Bhismasadana menyertai Shekh Jumadil Kubro yang berpostur tubuh seperti tokoh Semar dari pewajangan Jawa, mendadak sudah ada di tengah kalangan dekat unggun api yang besar.
     Tetabuhan yang berdentang menderu deru mendadak berhenti. Api unggun mendadak mengecil hampir padam. Sang Rsi Dutanggira sangat murka, badannya yang hitam itu mendadak nengkilat, rambutnya yang hitam gimbal itu berdiri berkibar kibar. Dengan suara yang melengking diakhiri dengan bentakan sebagai geledek membuat api unggun berkobar kembali dengan api kebiru biruan.
     
        “Makhuk apa kalian berani mengharu biru upacara kaum Bhairawa yang lagi dipimpin oleh Datuknya ?"
 Segera cemeti menyala nyala menyambar nyambar kearah Syekh Jumadil Kubro dan sang Bismasadana. Suara menggelegar membalikan arah sambaran cemeti disertai kobaran api menyambar Rsi Dutanggira, mebelitnya tanpa ampun. Kobaran api cemeti melilit siapa saja yang hadir sehingga mereka sadar dan kalang kabut mencebur sungai sambil menjerit dan melolong. Sebentar saja tubuh Rsi Dutanggira yang hitam legam menjadi memerah manpak meronta ronta,  masih dililit oleh api biru dari unggun yang menyala kembali, akhirnya tubuh Rsi yang tak terhitung umurnya ini  meneteskan lelehan yang berapi api, akhirnya mengecil dan habis.
Sunyi senyap dipinggiran Sungai, ratusan  anak buah kaum Bhairawa tenggelam di sungai, atau terbakar menjadi abu. Rsi Dutanggira habis menjadi tetesan api yang menyala nyala sampai habis semua.
Saat itu Syekh Jumadi Kubro bersabda kepada Rsi Bismasadana, bahwa setiap tetesan api wadag Dutanggira ini akan masuk menetes kedalam wadag para Nara Praja Wlwatiktapura pada ratusan tahun kedua Wilwatiktapura, yang mereka berdua tidak akan menyaksikan. Kini Wilwatiktapura aman tenteram tanpa gangguan kaum Bhairawa. Mereka yang bersekutu ketahuan, mereka yang berencana membalas dendam tersapu bersih.
Sedang makin  sedikit murid dari perguruan Sarapwaja yang telah terpilih telah mewarisi pass word mendatangkan Malaikat untuk melindungi diri dikalangan mereka,  dengan sendirinya makin sangat selektip mewariskan pengetahuannya. Pengetehuan pass word ini akhirnya akan menjadi malapetaka dikemudain hari, ‘pass word’ ini dinamakan ‘pangilon jiwa’, yang arti harfiahnya “kaca cermin jiwa”. Salah salah bisa  menyebabkan sikap angkuh yang tak wajar dikalangan santri, oleh karena salah mengerti. Sampai kini hanya satu dua orang saja yang menyadari adanya pass word ini.
Selanjutnya abad abad kekuasaan Wilwtiktapura memasukkan dalam Undang Undangnya bahwa menggunakan magic untuk mencelakai orang lain dianggap kejahatan yang bisa dihukum berat, dengan barang bukti berupa boneka yang ditulisi nama orang, rerejahan yang menyebut nama orang. Akan tetapi ilmu magic hitam tetap sulit dibuktikan.*)





0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More