Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

12. MATAHARI TERBIT DIWILWATIKTAPURA (SERI 11)


10. MATAHARI T4EBIT DI WILWATIKTAPURA        

PELARIAN DARI KEDATHON SINGHASARI
Pasukan berkuda datri Kadiri menyerbu ibu kota Singhasari dari Utara. Dengan para penunggang kuda yang liar, melarika kuda kudanya dengan kecepatan penuh berbondong bondong tidak beraturan. “Rawe rawe rantas malang malang putung”.  Lepas tengah malam kedengaran titir kulkul dari Utara sayup sayup kemudian makin keselatan ke kota Singhasari dengan makin jelas suaranya.
Memang rupanya inilah kejadian yang paling dia takutkan, perahu perang dikirim ke Palembang dengan tiga perahu besar bercadik , model yang sudah lama, karena pembuatannya boros kaju dan berlayar kurang laju dibandingakan dengan luas layarnya. Tapi ketiga perahu bercadik dengan geladak bersusun tiga, kebanggaan Singhasari. Perahu  perhu ini persis serupa dengan perahu besar yang dilukiskan didinding candi Borobudur. Sedang ibu kota yang tidak bertembok ini tidak seperti biasanya Ibu kota, karena bahaya diserbu oleh gerombolan pasuka barkuda tidak pernah ada.
Raden Wijaya ditemui oleh penjaga peraduan raja dengan sangat tergopoh, gopoh. Diberi titah darurat dengan tegas supaya membawa istreri dan adik adiknya semua melarikan diri lewat pintu rahasia Utara. Segera  disana sudah disediaka kuda lima ekor. terserah menurut situasi, jangan sampai kepergok pasukan berkuda atau siapapun sebelum berkuda sepenginang.
Kelanjutan wangsa Singhasari sepenuhnya ditangannya, sambil menyampaikan kalung kerajaan lambang Garuda Wishnu yang selalu dipakai Baginda, itu berarti Baginda siap mati.
Bagitu gawatnya susasana, sehingga raja tidak bertitah untuk bertahan, ,melainkan melarikan diri dengan kuda menyamar, sampai sepenginangan diperjalanan.
Raden WIjaya segera mengerti betapa gawatnya kedudukan Singhasari dan dia beserta adik adik iparnya sebagai harapan satu satunya untuk pepulih dikemudian hari.
Tanpa berpikir panjang dikumpulkan adik adiknya, dua lelaki tanggung dan tiga remaja putri, bertujuh dengan dia dan istrinya Membawa bekal bumbung kerajaan yang disediakan untuk keadaan darurat. Semua berdandan ringkas semua berdandan ringkas cara prajurit. Berdestar dan pakaian malam segera berangkat dengan lima kuda yang selalu tersedia di istal kuda untuk situasi darurat, dekat pintu rahasia di Utara Kedhaton. Dia satu kuda, isterinya satu kuda,  masih  tiga kuda lagi untuk keempat adiknya. Mereka berkuda dengan langkah drap menuju ke barat laut. Kawasan berhutan lebat. Mereka berkuda merunut jalan setapak agak menanjak. Jalanya pencari madu.
Sepenginang sampai di wilayah dengan semak semak lebat. Wilayah berbentuk  kipas, bekas laharan gunung Arjuno, berpasir campur kerikil, sangat sunyi.
Tempat ini memang jarang di jamah untuk kepentingan apapun karena tanah laharan ini sangat gersang. Raden Wijaya tahu jalan setapak ini, nanti bila menurun sampai di satu Asyram di desa Polaman agak sebelah barat Plawangan.(sekarang kota Lawang). Siang ini dia dan rombongannya berusaha bagerak sejauh mungkin dari Singhasari dan sesedikit mungkin ketemu orang.
Anehnya menjelang fajar, disebelah barat Plawangan rombongan ini bertemu dengan rintisan jalan ditengah hutan, yang menuju ke utara, nampak baru dan dilewati banyak sekali bekas telapak kuda, lebih dari limapuluh ekor, keutara sepanjang lereng timur gunung Arjuno, menembus hutan lebat. Dia langsung tahu bahwa rintisan ini jalan rahasia yang barusan semalam paling lama dua hari yang lalu dilewati pasukan berkuda dari Kadiri. Sudah ditinggalkan oleh pembuatnya karena gunanya sudah diperoleh.
Raden Wijaya berdecak kagum. Dengan mudah rombongan kecil ini mencapai Purwosari lewat rintisan jalan baru ini tanpa ketemu seorangpun. Rombongan beristirahat ditepi  hutan, dekat dengan pakuwon Purwosari.
Mendadak saja mereka ingat bahwa sejak malam mereka belum makan bahkan minun air setegukpun, ketegangan pelarian menyebabkan semua jadi lupa makan dan minum seharian.
Sore itu mereka bertujuh turun dari kuda, menuntun kuda kearah bawah pohon elo besar, yang lagi banyak burung “joan” menyerbu buah elo, menjelang senja. Semua putri raja yang empat orang, nampak lelah tapi tetap tenang, semua berwajah kemerah merahan, nampak kelelahan. Semua mengerti burung burung itu makanan, tapi apa boleh buat, selain pisau belati yang sangat tajam bawaan Raden Wijaya.
Kedua adik iparnya yang laki laki, tidak membawa panah apalagi sumpit. Toh Wijaya dulunya pangeran yang miskin, bergaul dengan semua orang, sebelum menjadi murid sang Bhismasadhana. Dia dititipkan di satu asyram, sebagai bocah yang suka bermain main dengan anak gembala dari seputar asryam.
Dengan mereka dia belajar renang di sendang yang dingin dan banyak ikannya, karena penduduk takut mengambilnya., pamali. Sedangkan dia dan temannya yang paling bengal tidak.
Mereka diam diam sering mengambil ikan tambera yang paling besar terus dibawa ke tepian hutan lalu di panggang dengan bumbu dari pinggiran hutan, garam dan umbut combrang ( laos hutan) di gilas dengan batu hingga halus, dimasukkan rongga tubuh ikan beserta daun daun muda dan berbau harum banyak.
Daun daun dan bumbmu ditempelkan di sekujur kulitnya dibungkus rapat rapat dengan daun combrang dan daun bunga tunjung (teratai) berlapis lapis, dan dipanggang.
Kali ini bukan ikan tapi ayam hutan yang ternyata banyak ditempat itu. Dasar waktu kecil temannya anak gembala, dia pembuat jerat dari serat pohon waru gunung. Wijaya mahir membuat jerat ayam hutan. Menjelang senja Wijaya sudah   mendapat empat ayam hutan, semuanya betina. Langsung di bersihkan bulu bulunya diberi bumbu garam dari bumbung kerajaan bubuk merica dan tumbukan umbut jombrang ( lengkuas hutan) dibalut dedauman pisang dan teratai yang kebetulan ada di sendang kecil dekat situ.
Memang bila nampak pohon elo, sekitar situ pasti ada air, entah sungai entah sendang atau danau. Bungkusan panggang sampai malam tiba. Waktu dikeluarkan dari unggun api, dan dibuka dengan membelah bungkusan ini, ternyata tercitpa aroma harum. Keenam putra putri raja itu makan ayam hutang panggang, seolah olah tidak pernah marasakan masakan ayam. Mereka minum air anak sungai kecil tidak jauh dari pohon elo tempat mereka beristirahat. Sisa api unggun dibuat membenamkan ubi hutan, dan mereka makan dengan lahap. Menjelang malam mereka adik ipar laki laki nampak masih lapar.
Sebelum mendatangi rumah akuwu, Raden Wijaya member isyarat dengan tangan, mengajak mereka berdua berburu oling ( belut raksasa).  Dia sepintas melihat sarang belut raksasa itu di sendang dekat situ, dia jelas melihat bekas bekas buih masih menggerombol dekat semak tepian lain dari sendang itu. Kepala ayam hutan yang tidak ikut dibakar dilubangi dang diikat di telapak tangan kanan sang Raden Bengal ini.  Mereka mendatangi bekas buih diterangi hanya dengan bulan muda, tangan dengan kepala ayam hutan sang Raden pelan pelan dicelupkan di air hanya selengan, tidak berapa lama, ada yang berkecipak keras.
Dengan kedua tangan satu belut sebesar lengan orang dewasa sudah tertangkap dalam genggaman besi tangan kanan, sedang tangan kiri membantu dengan memasukkan jari telunjuk ke insang oling ini sekuat kait besi. sementara  kedua tangan  ini diangkat dengan segera. nampak oling sebesar lengan orang dewasa ini berkelojotan diantara kedua cenkeraman tangan besi sang Raden, Oling atau sidat raksasa memang ikan buas yang paling licin, badannya berlendir sehinga memegangnya harus dengan keberanian dan tekad.
Dengan kaget kedua pemuda tanggung ini hampir berteriak sebelum mendatangi kegirangan, baru teringat mereka adalah pelarian nomer satu, ketika nampak sang raden segera mengelengkan kepalanya sambil mulutnya berdesis.
Mereka makan oling panggang dengan garam,  lebih dari cukup mengenyangkan, bertujuh masih makan sambil tertawa cekikikan seolah olah mereka sedang bercengkrema di halaman istana, sebelum menadatangi rumah Akuwu Purwosari, untungnya penjaga regol masih mengenali Raden Wijaya. Rombongan segera masuk dan regol ditutup. Kuda kuda masih disembunyikan di tempat rombongan beristirahat dihutan untuk kehati hatian. Ternyata benar, sebab Menantu Raja ini pernah berburu rusa dengan Akuwu atas undangan beliau, sedang tadi siang sudah tersiar berita bahwa Singhasari jadi karang abang, hampir semua pembesar Kerajaan terbunuh, termasuk Sribaginda Kartarajasa. Istana terbakar ludes, hampir semua orang tidak percaya, mereka akan berbondong bondong menuju keselatan melihat Ibu Kota.
Ketujuh tamu ini  masuk regol dengan cepat tanpa kuda kuda, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan. Sedangkan Jayakatwang pun belum memasang telik sandi di Pakuwon Purwosari, mengharapkan bahwa seluruh keluarga Raja bakal berkelahi gaya puputan Margarana.
Putra putri Raja langsung beristirahat, Raden Wijaya dan sang Akuwu merundingkan perjalanan selanjutnya ke ruangan pendopo, kuda kuda segera dijemput dan depilhara di istal lain, Mereka berdua berkirim surat singkat saat itu juga dikirim gandek berkuda ke Japan dan Bangil, Habis tengah malam rombongan berganti naik pedati sapi menuju ke Bangil dari pintu samping diantar oleh prajurit tua penjaga Regol. Sehigga dapat dipastikan tidak ada seorangpun yang tahu kedatangan tamu itu selain keluarga Akuwu.
Raden Wijaya mempercayakan nasibnya pada Akuwu Purwosari, sambil mengucupkan tangan didepan dada, salam persahabatan, yang disambut dengan meyakinkan oleh sang Akuwu. Dia tidak akan melapor kepada Tuannya yang baru Raja Kadiri dan Singhasari Sang Mahaprabu jayakatwang. Hal mengenai kedatangan rombongan ini.
Dalam gerobak sapi yang diisi penuh jerami, dedak dan rendeng ( daun kacang tanah kegemaran kuda kuda), diantar penjaga regol dan dua emban yang memang tahu kedatangan tamu ini, mereka bertiduran diantara muatan jerami itu, tidak nampak dari luar.  Matahari sudah tinggi baru sampai di penggiran kota Bangil, yang ramai karena kota itu kota pusat kemasan artinya tempat undagi emas, disana sudah dijemput oleh Pemilik Perahu Madura. Siang nanti segera berlayar ke Trung.
Perahu tidak besar, ditambat di sungai yang membelah kota Bangil, bersama dengan perahu perahu tambangan, ternyata dua emban mamaksa ikut ke Trung, dengan pertimbangan kerahasiaan Raden Wijaya mengabulkan.
Rembang siang hari perahu didayung ke muara tanpa banyak cing cong, dan langsung disambut oleh angin timur yang agak keras, segera layar terisi dan perahu meluncur cepat ke utara. Selang dua hari sesudah hari itu, baru rombongan telik sandi Prabhu jayakatwang desebar di Japan, di Purwosari, para abdi Pakuwon dan Penjaga regol ditanya apa ada tamu kemarin, jawabnya tegas tidak ada, wong tamunya sudah tiga hari sebelum itu. Sudah tidak ada yang tahu kacuali keluarga Akuwu, yang ternyata bisa diandalkan. Dikemudian hari, betahun tahun mendatang masih diingat oleh Raden Wijaya.
Keluarga yang ditingalkan oleh dua emban dijamin oleh Akuwu lebih dari cukup, dan diyakinkan akan keselamatannya. Begitulah sementara romdongan pelarian yang sangat penting dari Kerajaan Singhasari seperti hilang ditelan bumi.
Di Japan sepertinya tidak ada kolong yang tidak diintip, tidak ada pintu yang tertutup bagi telik sandi, tapi sama sekali tanpa hasil sampai berbulan bulan tidak ada berita sampai di telinga Prabhu Jayakatwang tentang Putra Putri Kartanegara dan Raden Wijaya, padahal Prabhu Jayakatwang sudah terlanjur mengumumkan dirinya seperti Dewa, serba tahu.
Yang ini benar benar dia tidak tahu, meskipun ribuan telik sandi dengan jaringan gandek gandek dan burung burung merpati pos, jaringan telik sandi bukan saja di Japan, tapi di Janggala, Trung. Bahkan sampai ke Pasar Uang (Pesuruan)  Tuban dan Wirasabha, tapi tetap tidak ada berita apa apa selama dua bulan.
Yang lebih menjengkelkan pencaharian pelarian itu sampai jadi bahan ejekan kuli kuli tukang angkut barang di Japan, Jenggala dan Trung, bahwa mereka telah menggendong putri putri kerajaan yang cantik cantik  ini menuju ke jung yang berlayar ke negeri Cina, mereka bercerita demikian di warung warung tuak sambil cengengesan, ngerti bahwa disitu pasti ada telik sandi Pabhu Jayakatwang dan pasti berita itu disampaikan pada beliau. Ada yang bercerita bahwa empat putri Raja itu sekarang menyamar sebagai ronggeng di desa Dawuhan, dia sempat menciumnya,  Bercerita begitu sambil pringas pringis, ada yang bilang bahwa si Nem bakul pecel yang cantiknya kelewatan di pasar gede Jenggala itu adalah salah satu Putri Raja  Kartanegara yang menyamar, semua berita itu penting dan sampai ke telinga Rajanya para Dukun, balian mangiwa. yang bertahta di puncak alang alang kumitir. Sang Jayakatwang mengakui bahwa berita berita itu harus dinyatakan semua, membuat dia jadi gila, sambil membanting tongkat pusakanya dihadapan Tumenggungnya para telik sandi Kerajaan.
Malah berita bahwa Prabhu Jayakatwang gila menyebar dimana mana dengan bumbu bumbu tentunya.  Malah ada rombongan tobong ( sandiwara) keliling desa desa yang melakonkan penyamaran putri putri Singhasari dan Raden Wijaya, konon sangat laris dengan banyolan banyolan.
Bagaimana Negara melarangnya, bagaimana melawannya, apa deserbu dengan pasukan berkuda ? Disini dia dimakan oleh siasatnya sendiri, tukang menyiarkan berta bohong.  Rakyat di kota kota pelabuhan ternyata sangat kreatip mengejek kekuasaan Negara dibawah sang Mahapabu Jayakatwang,
Penguasa baru Janggala Kadiri dan Singhasari, bang wetan dan bang kulon.
 Prabhu Jayakatwang merasa bahwa perlawanan Rakyat Singhasari, Jenggala, Wirasabha yang terus terusan meluas semacam ini, sangat mnjatuhkan wibawanya. Dalam hati dia mengharapkan Raden Wijaya menakluk dengan sukarela, tapi bagaimana mengumumkannya ? Siapa Yang percaya lagi ?
Menjelang pagi, angin brubah ke barat daya, perahu Madura merubah haluan ke Barat langsung ka Pelabuhan Trung, dimuara Sungai Mas anak sungai Brantas yang lewat kota Trung. Belum sampai selesai merapat di penggiran, ada sosok anak anak yang membawa surat diberikan kepada Raden Wijaya, yang isinya satu Asyram Islam di Ampel Denta menyediakan perahu dayung lengkap untuk pelayaran kemana saja sepanjang kali Brantas. Ini wujud bantuan dari Asyram Ampel Denta kepada Ki Bismasadana dari padepokan Sendang.
 Raden Wijaya sangat bersjukur, ternyata utusan ke Japan yang berangkat dari Purwosari telah sampai kepada sang Bismasadhana yang juga sahabat dari Pendeta Islam dari Ampel Denta.
Parahu biasa, dengan lebar dua depa ditengah dan agak langsing, membawa layar lateen, dengan atap kajang yang agak panjang.  Para pendayungnya muda muda dan berotot, ada tujuh orang, bersalwar dan baju dari kain tenun gedog berwarna putih kotor, ada yang bersorban kain putih. Dayung mereka agak aneh, berupa talempak (semacam tombak pendek dari besi, bermata lebar dua telapak tangan dan panjang ada yang dari besi seluruhnya, disamarkan dengan warna kotor.
Para tamu disuguh dengan wedang jahe, yang dicampurkan dengan kahwa, minuman baru, bari biji kopi yang dibakar hitam dan dibubuk, dituangkan air mendidih, rasanya agak pahit, desertai dangan makanan juadah dan jenang ayas yang manis , segala manisan buah dan kue rangin. Perahu didayung enam pendayung dengan santai memudik sungai Mas.
Menurut Sang Bhismasadhana, mereka sebaiknya menuju Desa Kudadu, dekat Hutan Ploso, sesudah arah mudik dari Wirasabha. Pelayaran perahu selama dua hari, dengan malam istirahat. Menurut sang Bhismasadhana mereka bisa istirahat lahir dan bathin di Asryam Kudadu, yang letaknya jauh dari japan dan mendekati Tuban, yang bisa ditempuh sehari semalam berkuda.
Raden Wijaya bersalaman dengan mereka, selesai bersalaman meletakkan kedua telapak tangan ke dada cara Muslim, kepada semua pendayung, begitu pula para adik ipar lelaki tanggung mengikuti dengan tersenyum kikuk. Para santri dari Ampel Denta ini rata rata sopan terhadap anggauta sombongan kaum putri, yang sekarang jadi enam orang. Awak perahu yang tujuh orang itu memang sangat sopan dan terpelajar, menulis surat di daun lontar tipis dan diikatkan di kaki burung dara pos dekaki burung itu dan dilepaskan tiga ekor. Mereka membawa enam sangkar dalam perahunya.
Tidak sekalipun pandangan mereka tidak wajar terhadap kaum wanita penumpangnya, yang ternyata gadis gadis remaja yang cantik cantik kecuali dua emban yang malah sering menunjukan sifat wanitanya dengan sopan. Para pendayung ini melakukan upacara agama mereka tepat lima kali sehari menurut edaran waktu ditandai dengan posisi matahari. Menghadap ke barat dengan bergantian tiga orang tiga orang, Perahu ditotog dengan galah panjang. Sungai Brantas sudah tidak sederas dua bulan yang lalu, mereka mendayung dngan santai dan nampak ringan saja, meskipun Raden Wijaya tahu persis bahwa dayung dayung itu denjata yang dahsyat dan berat, bisa melubangi dinding perahu dengan mudah.
Raden Wijaya merasa sangat beruntung mengawal istrinya dan putri putri raja, yang bersifat mudah menyesuaikan diri dengan keadaan dan mudah bergaul dengan siapa saja, wajar tanpa canggung, begitu pula dua emban yang ikut dari Purwosari.
Merka membangun rumah sendiri dekat pesantren Ploso, Raden Wijaya dan Para adik iparnya para pemuda tanggung, mendekat ke Asyran di Kudadu. Dalam dua minggu saja makin banyak orang yang permukim diantara Ploso dan Kudadu, dibawah perlindungan Brahmana Rsi di Kudadu, termasuk pesantren di Ploso, tepi kali Brantas. Sebulan para pelarian ada di Kudadu, dengan tambah pengikut antara limabelas orang tiga wanita, semua ahli memelihara burug dara dan kuda kuda. Hubungan dengan Tuban direntangkan dengan bantuan santri dari Ampel Denta, burung dara pos bisa dikirim dan mererima berita dari Japan, Ampel Denta dan Tuban.
Rupanya Sang Jayakatwang saking jengkel mengerahkan pasuka berkuda, mwnyusuri kali Branbtas meneliti munian hunian di Japan Wirasabha dan termasuk Ploso. Rupanya dari Tuban ada usulan untuk mohon perlindungan ke Madura Aria tua itu, sang Wiraraja.
Ronbongan Pelarian pindah dengan perahu, ke Pinggiran sungai Porong dang nanti mengendarai gerobak lagi ke Wilayah Jenggala dengan kawalan dari kaum yang mencintai Singhasari.  Rombongan serupa yang agak menyolok bergerak ke Pamotan, tapi hilang di jalan, karena hanya untuk gerakan penyesatan saja.
Robongan dipecah menjadi dua, bertemu di Kedung Peluk setelah seminggu kemudian.
Rombongan dibimbing oleh teman teman Raden Wijaya, dengan gandek pembawa berita dimuka dan dibelakang, menganyam jejak pasuka perkuda, yang dibuat bingung oleh berita berita yang menyesatkan, sekarang malah secara acak mengunjungi Pasar Pasar,dengan Gambar par putri dan putra raja beserta Raden Wijaya. Berkat bimbingan para pedagang simpatisan Singhasari, dibantu oleh kaum santri dari Ampel Denta, rombongan tidak pernah ada disuatu tempat disatu waktu dengan para pengejarnya. Akhirnya kedua rombongan sampai di Kedung Peluk, hampir bersamaan waktu. Perahu perahu sudah disediakan menghilir sungai rambut, kebetulan waktu pasang. Dimuara tempat rumah benteng disatu pulau seorang sudagar putri dengan banyak perahu dan barang dagangan tinggal, Putri Sekar Dadu. Salah satu perahunya dipakai untuk berlayar ke Pamekasan oleh rombongan pelarian.
Sementara itu berbulan bulan pengejaran di tempat tempat yang dicurigai tetap dilakukan berbulan bulan kemudian, yang sengaja disiarkan untuk menyesatkan pencarian*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More