Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

19. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 18)


MAHAPRABHU KERTARAJASA JAYAWARDHANA RAJA PERTAMA DI
WILWATIKTAPURA, HARUS MENGHIDUPI IBU KOTANYA SENDIRI

Tidak ada perubahan yang berarti, bahwa Raden Wijaya sebagai pengelola Wilwatiktapura ataupun sebagai Raja Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana, tetap belum punya Mahamantri, iau tidak punya Mahapatih hanya lurah Bahayangkari dan ke empat istrinya yang semua pekerja keras.
Salah satu dari ipar Raden Wijaya diberikan kekuasaan di Kadiri, menyediakan pasukan yang ditempatkan di Brangkal dekat Wirasabha, Kempat putri Prabhu Kartanegara sudah diperistri oleh Raden Wijaya yang menyebabkan para Bupati di bhumi Mpu Sindok agak kecewa, tidak ada jalan mudah lagi untuk mendekati tahta Wilwatiktapura, tapi mereka tidak berani protes mengenai pernikahan ini. Ketika Raden Wijaya diangkat sebagai Raja Majapahit oleh para Bupati,  kena imbas berkah  pengaruh kota perdagangan Wilwatiktapura, hanya Kabupaten Tuban Adipati Ranggalawe yang mengajukan syarat untuk diangkat jadi Mahamantri ri Hino, artinya Ketua Keluarga besar, wangsa Girindra, yang berhak menunjuk pengganti Raja, itupun sudah ditolak dengan ejekan oleh Kebo Anabrang yang menyebabkan perkelahian satu lawan satu dan Adipati Ranggalawe terbunuh. Keluarga sang Adipati Tuban dipindah ke Wilwatiktapura mendiami salah satu bagian dari Kedathon Wilwatiktapura yang besar. Sedangkan di Tuban kekuasaan diserahkan pada adik ipar Raden Wijaya yang satu lagi, untuk menjamin kayu jati bagi galangan perahu Madura disana,  artinya Majapahit tidak perlu membayar harga kayu jati dari hutan hutan Tuban. Para perjaka lancing dari keluarga Ranggalawe di serahkan pada Mpu Mada untuk dididik,  mestinya di Gili Raja Pamekasan. Akhirnya mereka bertiga jadi laksamana yang handal dari Armada Majapahit. Kebo Anabrang menunggu kesempatan besarnya putra Raden Wijaya, sang Kalagemet, karena dia adalah abdi pengasuh dari putra Tribuaneswari, yang kurang dapat perhatian dari bapak ibunya, jadi pemuda berandalan. Kartarajasa Jayawardhana wafat sesudah memiliki kota merdeka Wilwatiktapura selama duabelas tahun, Raja atau bukan Raja, Sebelum wafatnya Kertarajasa Jayawardana memberikan kekuasaan bang wetan ( Bhumi Timur) termasuk Lamajang dikuasai oleh Putra Aria Wiraraja, Sang Wraha Nambi. Di bang wetan semua Kabupatennya  merupakan Kerajaan kecil yang didukung  oleh  para petani, yang hanya senggang setelah panen, mengabdi sebagai prajurit. Sedang zaman menandai Kejayaan satu Negara didapat dari perdangan.  Begitulah falsafah Raden Wijaya sebelum wafat.
Kalagemet menjadi raja baru meningkat dewasa, kekuasaan sebanarnya ditangan putri Gayatri, dengan Ibu Suri  Tribhuaneswari dan Gajah Mada Lurah Bhayangkari. Sosok sosok yang sangat tahu bagaimana susahnya mencari uang, bukan saja dari pajak tapi memberi peluang kerja kepada yang mampu, baru dapat bagiannya. Itulah falsafah hidup Raden Wijaya. Sayang putra Arya Wiraraja ini  tidak mewarisi kecerdikan dan kamampuan diplomatic seperti ayahnya, hanya terdidik sebagai putra pangeran yang gemar berburu, menunggang kuda dan memanah, berkawan dengan sesama pemburu yang gemar mengembara di hutan hutan, pada suatu ketika dia menemukan rombongan kuda beban yang banyak, kebih dari enampuluh kuda beban, masing masing mengangkut kantung kantung yang berisi pasir besi, yang akan dibawa ke Probolinggo dan Kling, untuk undagi Yap mencoba mencetak laras meriam kecil dari besi tuang  yang diprakarsai oleh lurah bayangkari Gajah Mada, sebagai kelanjutan dari cita cita Raden Wijaya selama hidupnya.  Rombongan ditahan di Kabupaten Lamajang.  Berita merpati pos segera dilayangkan oleh kepala rombongan, diterima oleh lurah Bhayangkari  lima hari kmudian dari sarang merpati pos di Japan, rupanya khabar ini disampaikan dengan merpati pos berantai, dari Luamjang ke Probolinggo dan dari Probolinggo ke Japan kemudian baru ke Wilwatiktapura, dan gajah Mada segera berunding dengan Ibu Suri. Surat dari Lumajang masih dinanti satu minggu kemudian, berisi peringatan bahwa apapun yang dibawa keluar dari Negara bang wetan harus minta izin dari Mahaprabhu kerajaan Majapahit bang wetan, Mahaprabhu Wraha Nambi, bergelar Dewarajasasinghanambi. yang ditabalkan dengan upacara di Pura gunung Mahameru dipimpin oleh Rsi dari  Dharmasraya. Surat disampaikan kepada pengganti Raden Wijaya, sang Kalagemet Raja baru bang kulon yang bergelar Sri Jayawardhana. Hanya soal pasir besi dipantai Pasirian yang beberapa ratus kati dangkut denga kuda lebih kurang enampuluh ekor.
Segera ibu Suri mengatakan hal yang sebenarnya mengenai pasir besi yang sangat perlu untuk percobaan mencetak meriam besi yang bisa mempersenjatai perahu Madura apabila bisa dicetak, juga disampaikan rahasia sang ayah mengenai obat misiu yang sedang digarap di Wirasabha sudah lama, juga obat petasan. Raja muda usia ini, naik pitam dan atas prakarsanya sendiri akan berangkat sendiri dengan pasukannya dari Kadiri, semula Ibu Suri dan bibi bibinya sebagai penasihat raja, tidak mengizinkan,  memilih jalan lunak sebab peperangan tidak ada perlunya.  Memberi pelajaran kepada keturunan sahabat ayahandanya yang tak kenal persahabatan ini, toh Majapahit tidak memerlukan  wilayah pertanian, malainkan keamanan perdagangan. Dua anak muda yang lepas kendali, memang Sang Mahaprabhu Muda Jayanegara haus akan identitas diri, dan pasukan Kadiri tidak dibawah Pemerintahan Majapahit, melainkan dibawah Bhupati Kadiri.  Kedua pemuda bekas brandalan ini tidak mewarisi kesantunan diplomasi orang tuanya masing masing, malah lebih suka saling bermusuhan dengan pasukan yang berhadap hadapan. Semua tahu bahwa perang adalah permulaan yang buruk. Pasukan bang kulon dipimpin sendiri oleh Sri Jayanegara lewat lereng selatan Gunung Mahameru,  tanpa bisa dihalang halangi oleh para sesepuh Majapahit. Lewat jalan rintisan para pemeluk agama Hindu menuju lereng Timur Gunung Mahameru, sebagai gunung suci. Satu bulan pasukan bang kulon sudah sampai, Kebetulan Lamajang adalah kota berbenteng  Sadeng, kota berbentang kecil sebab memang jumlah penduduknya sedikit,  penghuni kota benteng atau desa desa sekitar kota juga sedikit, kecuali ditimur sampai ke Jember. Benteng berdinding tanah balok batu  dan batu bata ini oleh bala tentara Kadiri kota dikepung, dihujani panah gajah  berapi dengan api nafta yang sulit dipadamkan. Percuma kota kecil itu dipagari tembok benteng, wong rumah dan istana beratap alang alang dan ijuk yang mudah terbakar, berjarak kurang jauh dari tembok. Prabhu muda Dewarajasasinghanambi akhirnya merasa kewalahan  sang Prabhu  Dewarajasasinghanambi  dan pasukannya di pimpin oleh pasukan berkuda keluar dari pintu benteng Sadeng, untuk disambut dengan tombak tombak berkait warisan dari tentara Mongol, Sang Prabhu Wraha Nambi terbunuh dalam pertempuran itu. Meninggalkan dendam dari teman temannya, yang masih di Wilwatikapura.
Majapahit disatukan lagi oleh Raja kedua, Prabhu Jayanegara, Kebo Anabrang dijadikan Bhupati Lamajang. Percobaan mengecor laras meriam kecil dari besi tuang berlanjut.
Belum lama agak tenang di Ibu Kota, mendadak ada berita bahwa sang Mahaprabhu muda Sri Jayanegara dibunuh oleh tabibnya sendiri Ra Tanca. Semua komplotan yang membalaskan dendam Wraha Nambi digulung oleh Lurah Bayangkari Gajah Mada, karena sudah ditandai sebelumnya, hanya Ra Tanca yang lolos dari catatan, dan dihukum berat. Termasuk Ra Klabang Kuti yang sangat ditakuti, karena dia ahli ilmu mangiwa.
                             Ibu suri Tribhuaneswari  jatuh sakit berat dan putri Gayatri menjadi bhiksuni dan Tahta digantikan oleh putri anak dari Putri Gayatri, Rajaputri  Tribhuanatunggadewi. Beliau  ini tahu tugas Gajah Mada terhadap kotanya dan cita cita kakeknya Raden Wijaya. Oleh dukungan sang Rajaputri ini percobaan mencetak laras meriam kecil yang namanya kalantaka ini berhasil di dua tempat Kling  (sekaramg Nganjuk)  dan Probolinggo  Dimana ada beberapa bulan kemarau dengan angin besar. imitk membantu ububan tungku peleburan.
Akhirnya  perahu model Madura mendapatkan pasangannya yang ditunggu tunggu oleh Raden Wijaya. Empat puluh laras meriam dicetak tanpa cacat dihaluskan larasnya. Dihaluskan bagian  dalamnya  dan dibagian luar, dipasang dudukan dengan empat roda kayu walau kecil tapi tebal, setiap perahu perang dipersenjatai dengan dua laras kalantaka ini, dan dua cadangan, untuk diisi mesiu dan peluru bergantian.
Waktu dicoba di medan percobaan setelah mendapat pengalaman, sasaran tembak tetap dan sasaran tembak bergerak, perahu ber olah gerak dengan kemudi, maka ternyata benar bahwa penembakan sasaran tidak menganggu kedudukan yang seharusnya  dari  layar agung, maupun layar tambahan, karena letaknya dihaluan didepan  tiang pengikat layar, cukup untuk dua kalantaka. Dengan sangat berhasilnya laksamana Wreha Nala di laut Arafura, menhancurkan gerombolan perahu perang kora kora dengan ratusan pendayung, yang tujuan satu satunya adalah menabrak dan membanjiri lawan dengan pasukan berkelewang dan perisai kayu,  jarang perahu pinisi yang diawaki oleh pelaut Bugis,  bisa lolos dari siasat ini.
Adanya ronda perahu perahu Madura yangbersenjata kalantaka di laut Banda dan laut Saparua, wilayah timur dapat mengirim rempah rempah dengan leluasa ke gudang gudang Majapahit, dengan sendirinya pedapatan dari gudang gudang meningkat secara keseluruhan, malah Kerajaan Kota Wilwatiktapura dapat membeli sendiri rempah rempah dari sana, berbagi dengan perahu perahu pinisi bugis yang ada. Mpu Mada malah tidak mengusulkan pada junjungannya untuk menaikkan sewa gudang untuk perahu pinisi Bugis yang membawa rempah rempah, sebab dilaut tidak perlu ada permusuhan apapun, karena taufan dan cuaca jelek tidak kenal kawan dan lawan. Orang Bugis sangat menghormati sikap ini. Malah galangan kapal di sepanjang bengawan Solo dan Tuban mendapatkan pesanan perahu pinisi banyak dan besar besar dari kerajaan Luwu yang kaya mendadak karena menemukan  tambang emas. Bagaimanapun kayu jati masih ditangan Wilwatiktapura, kecuali di utara gunung Muria, melulu untuk galangan jung cina dari kota galangan jung terbesar di Asia tenggara, Sanpaolung.(Semarang).  Yang ini pasukan laut Wilwatikta belum menyentuh. Kayu jati di lereng gunung Muria jadi penghasilan Kerajaan Islam di Demak kemudian hari.(*)   
                                                                

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More