Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

23. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 22)

RA SAPUANGIN MEMEGANG JANJI DI PELAYARAN PAMALAYU KE 9

Ingatkah pembaca ketika Gajah Gombak mengampuni bajak dari Sampang ?
Ternyata sosok Sapuangin tetap jadi pengikut alias pelayan pribadi Gajah Gombak, secara sukarela. Mulai rombongan mencari pembuat keris di Pantai Selatan arah Lumajang, Sapuangin yang tidak lebih muda dari pemuda Gajah Gombak melayani kebutuhan pribadi sang Gajah Gombak. Tekad Sapuangin ini dimulai waktu dia memimpin teman temannya mendayung perahu pengelana, mulai mengadakan pembicaraan dengan anak perahu
dan pemuda dari Penyaradan Mada, dia mulai mengerti rombongan apa yang dibajak itu.  Sebenarnya dia menjadi pemimpin bajak bajak ini  karena dari Pamekasan dia berniat mencari ayahnya yang konon pemimpin bajak laut di Sampang, sedang ibunya adalah putri seorang Brahmana tingkat rendah yang baru saja meninggal dunia, sang kakek memilih jalan hidup sebagai brahmana gryasta pembuat keris dan alat alat besi karena kegemarannya membuat senjata keris dan besi inilah maka dia pergi ke Pasirian dengan anak buahnya, setelah ditinggal mati oleh satu satunya anak permpuannya, yaitu ibu si Sapuangin. Sapuangin mendapatkan bapaknya baru mengadakan pelayaran ke barat dengan dua perahu, sedang pulangnya tidak pasti. Para pemuda Sampang yang ditemui, alias kerabatnya tahu bahwa berkepandaian lumayan diantara pamuda pemuda kerabat ayahnya, maka dia dipilih untuk mulai memimpin  gerombolan pembajak, dan mulailah karirnya sebagai kepala pembajak perahu yang lewat dekat dekat perairan Sampang. Ini adalah pelayarannya untuk membajakan yang ketiga kalinya. Mengetahui teman temannya ngacir dengan mendayung perahu secepat cepatnya meninggalkan dia dan teman  awak perahunya, maka tawarlah hatinya untuk melanjutkan karirnya sebagai bembajak. Si Sapuangin memilih jadi pelayan gajah Gombak untuk mempelajari ilmu memainkan cambuk yang hebat begitulah diungkapkan oleh dia kepada sang Brahmana Muda Gajah Gombak.
Begitu kagumnya dan begitu   menghormatnya si Sapuangin kepada pemuda gempal ini. Sehingga Sapuangin bicara terus terang bahwa dia mohon untuk menjadi murid Sang Gajah Gombak dalam menggunakan cambuk panjang, dan sanggup mengabdikan dirinya seumur hidup bila sang pemuda menerimanya. 
Aneh, pemuda Gajah Gombak merasa kasihan akan nasib Sapuangin pemuda malang yang mencari ayahnya ini. Meskipun tidak menyanggupi apa apa tapi mengizinkan si Sapuangin mengikuti rombongan. Apalagi setelah Sapuangin menceritakan bahwa kakeknya Mpu Keleng adalah pandai besi dan mencairkan pasir besi di pantai selatan Pasirian untuk mencetak keris, dan membuat bahan baku besi tempa untuk senjata. Rombongan mereka sudah berangkat satu bulan yang lalu. Disinilah anehnya Hyang Widiwasa mengatur masib hidup manusia, cucu Brahmana ditemukan dengan anak Brahmana guna diluruskan jalannya. Dirupakan tekad yang aneh untuk mengabdikan diri kepada Gajah Gombak. 
Sapu angin seterusnya selalu mengikuti Gajah Gombak sambil meneruskan melayani kebutuhan sehari hari yang tidak banyak macamnya. Mendengarkan Cajah Gombak berceramah dihadapan Pemuda pemuda pilihan yang ikut dalan perjalanan ke Pantai Pasirian tentang penyaluran tenaga dalam.
Tidak heran dia juga ikut ke Wilwatiktapura yang baru dibangun di aliran sungai Brantas tepatnya dekat Wirasabha ( sekarang Mojokerto), dikaki gunung Anjasmoro, mendekati dataran rendah yang dialiri sungai Brantas menghilir. Sapuangin termasuk rombongan pertama dari calon calon perwira yang dikirim ke pulau kecil selatan Madura Gili Raja untuk dilatih mengendalikan perahu model Madura dalam perang laut, berbagai formasi Tentu saja Sapuangin termasuk dalam kelompok Pandega Pandega yang membawa perahu model Madura ini untuk pertempur ke Timur dan ke Barat sampai terhimpunnya jumlah kekuatan perahu perahu tempur model ini menjadi armada laut yang besar, terdiri dari ratusan perahu tempur model Madura dan perahu perahu cepat model pinisi Bugis, lengkap dengan sedikitnya empat kalantaka setiap perahu tempur dengan amunisinya. Sapuangin juga tahu keterbatasan ukuran perahu Madura dari mandala laut Majapahit, karena ketiadaan kain layar yang kuat dan ringan, jadi para pandega perahu perang model Madura dari mandala Laut Majapahit sangat kergantung kecapakan menggunakan perahu yang tidak besar ini untuk bermanuver, mengunakan kelebihan yang sangat handal yaitu kalantaka di anjungannya, kecepatan mengisi mesiu dan ketepatan tembakannya pada sasaran, cepat berolah gerak secara serentak dalam formasi perang, nyaris tanpa perintah.
Pada pelayaran Pamalayu yang ke Sembilan, perahu tempur Sapuangin sudah menjadi  tulang punggung armada laut Majapahit yang mengibarkan bendera matahari terbit. Dipersenjatai dengan Kalantaka yang dapat menenbakkan paluru sejauh limaratus depa dengan sudut tembak yang kecil, artinya dapat ditujukan ke lambung kapal lawan.
Laksamana Wraha Nala mendengar bahwa Kerajaan  Malaka telah memiliki beberapa jung tempur lengkap dengan meriam perunggu dua laras, yang tentu saja jung tempur ini berukuran besar, paling sedikit bertiang agung dua, dengan layar bersusun tiga, lebar dan kuat terbuat dari bahan sutera . Kerajaan Malaka minta Majapahit membayar separuh harga jung ini dan ongkos pelayarannya  meronda dikawasannya, juga menuntut bagaian dari keuntungan perdagangan dari Atas Angin, Siam, Campa dan China setiap tahun, setara dengan tiga ribu tael emas.  Satu permintaan yang wajar, tapi Wilwatiktapura tidak memerlukan armada pengamanan yang lain, apalagi dengan menyebutkan beayanya yang sangat besar, yang disebut di surat itu, Mulai terbitnya surat ini, selat    Malaka, selat Karimata lewat kepulauan Natuna menjadi terlarang bagi armada perahu perang Wilwatiktapura, tanpa izin dari Kerajaan Malaka.
Ini  adalah tantangan terang terangan yang kurang ajar bagi armada Wilwatiktapura, yang perahu perangnya ukurannya jauh lebih kecil dari jung perang China milik mereka. Mahapatih Gajah Mada membalas permintaan itu dengan surat lewat Duta Kerajaan Malaka, bahwa Armada Majapahit belum mempunyai bukti kemampuan jung jung tempur Malaka untuk mengamankan jalur pelayaran yang sangat luas yang disebut dalam surat kepada Wilwatiktapura, beberapa jung tempur dengan mahalela  (dalam bahasa Melayu kalantaka jadi rentaka) perunggu yang besar besar tapi kekurangan jumlah jung untuk meronda perairan itu. Dinyatakan dalam surat  Mahapatih Gajah Mada ini, bahwa armada perahu tempur Majapahit  sewaktu waktu akan sampai di Kuala pelabuhan Malaka untuk memeriksa kemampuan beberapa jung perang Kerajaan Malaka.
Pada saat itu masih saat angin timur, Dua puluh hari setelah surat dilayangkan ke Duta Melaka di Wilwatiktapura, armada barat Wilwtiktapura yang ada di Palembang telah mendapat isyarat dari Mpu Mada, bahwa jung tempur Malaka akan memperlakukan armada Barat Wilwatiktapura sebagai musuh, tidak perlu ragu ragu untuk mengeroyok  bila perlu menenggelamkan jung tempur tersebut. Segera Laksamana Wraha Nala di Palembang mengirim merpati pos ke Tanjungpura dan Jambi untuk siaga tempur bagi setiap satuan tugas perahu perahu tempur di pelabuhan sekitar selat Malaka.
Kebetulan satuan perahu tempur sejumlah sepuluh perahu yang dipimpin oleh Prangwadhana Pandega satuan tempur di Jambi, yang dipimpin oleh Prangwadana ring Jalanidhi Sapuangin. Dia putuskan untuk menyatukan segera kekuatan satuan tempurnya dipangkalan lebih keatas angin  artinya lebih keselatan, untuk memperoleh posisi diatas angin yang baik, dengan mengumpulkan perahunya yang masih tersebar diseluruh kuala sungai sungai penting di Sumatra, menjadi satuan tempur yang terdiri dari tigapuluh perahu tempur di Tanjungpura. Prangwedhana Sapuangin sendiri segera angkat jangkar menuju keselatan, dengan tujuh perahu tempur.
Menjelang siang, waktu angin nelayan menuju ke darat, angin diselat Malaka berubah arah ke barat laut mengutara, sekira matahari dua jengkal diatas ufuk timur, mampak layar dua perahu jung dengan bentuk layar seperti tirai bambo,  dihaluan masing masing yang terbuka nampak mahalela masing masing dua buah dianjungan, jung jung perang itu tepat ada di atas angin. Kalantaka perunggu besar atau mahalela ini dapat menembakkan pelurunya hampir lurus sejauh tujuh ratus depa, satu kemampuan yang besar dikala itu. Sajangnya jung perang ini harus mendapat angin buritan agar mudah berolah gerak mengarahkan mahalelanya. Jelas ada dua pilihan bagi armada perahu Madura yang kecil ini, yaitu harus segera diputuskan. Lari menghilir angin berpencar untuk bersembunyi di pulau pulau kecil di pantai timur Sumatra, atau mengatur formasi tempur yang biasa untuk menghadapi situasi ini.
Prangwedhana Spuangin sudah mendapat petunjuk bahwa jung perang China tidak seperti perahu perang Madura harus mengarahkan haluannya ke sasaran, apabila sasaran agak kesamping kanan atau kiri dari haluan makan kemudi harus mengantisipasinya, otomatis posisi layar harus tetap mendapat angin, karena kemudi saja tidak akan kuat memutar haluan jung, sedang perahu perang Madura menuver kecil mengubah hanuan sampai memutar prahu tidaklah perlu menunggu angin buritan. bila layar pada satu posisi tertentu mau atau tidak akan hampir sejajar dengan arah lambung, Akibnya jung jadi miring terdorong oleh layar sedang gerakan memutar jadi sangat  sulit hampit tidak mungkin. situasi ini yang dipergunakan oleh pandega Sapuangin. Sebaliknya perahu perangnya mendapat angin dari depan masih bisa berlayar menyongsong angin secara mengiris angin dengan layar sejajar lanbung meyerong angin, kemudi masih dengan mudah digunakan karena bentuk layar trapesium runcing didepan, pertaruhan manuver ini membutuhkan keberanian dan saraf baja, karena menghadapi moncong mahalela perunggu berukuran besar dan nampak nyata, begitu moncong laras mahalela musuh nampak sekajap saja maka tamatlah riwayatnya. Makanya dia berdiri di anjungan sampil tangannya memberi aba aba kepada jurumudi perahu perangnya. Seluruh awak perahu mengerti  taruhan situasi posisi berhadap hadapan ini, semua awak menghadapinya denga menengadah dada, siap secepat kilat melaksanakan perintah, tetapi sebagai Pengwedana kawakan, dia yakin masih ada peluang unutk mengiris angin sambil  melambung dan mendekati jung perang ini sahingga mencapai jarak tembaknya bahkan dengan cikar kanan posisi layar akan berubah mendorong perahu perang ini menggeleser mendekati jung itu untuk menembak dan mulai penyerbuan dengan baja dingin. Artinya menyerbu meloncat ke geladak lawan.
Tanpa ragu ragu Prangwedhana Sapuangin memerintah meniupkan kulit kerang aba aba untuk melaksanakan manuver Jajar Pandawa yang biasa, tanpa menurunkan layar. Segera kedua armada yang bermusuhan ini mencapai jarak tembak mahalela di dua jung ini, dan segera memenbakkan pelurunya. Tembakan dari jung pertama mengenai air sepuluh depa didepan haluan  bagian tengah berahu yang berjajar dengan layar menuju arah angin terkembang berkibar kibar tanpa daya dorong, sedangkan tembakan jung kedua mengenai haluan dua perahu tempur yang ditengah disertai sorak sorai awak jung dari Malaka. Tanpa ayal kemudi perahu perahu perang Wilwatiktapura bermanuver mengarahkan perahu Madura itu dengan cepat terpisah kedua arah agak menyerong angin sehingga layar segera terisi dan jajar pandawa terpecah jadi dua, kearah kiri dan kanan lintasan kedua jung ini. manuver ini nyaris tanpa perintah, mengandalkan intuisi para pandeganya, jadi bisa dilakukan seketika. Begitu juga haluan kedua jung yang mendapat angin buritan. Tembakan kedua luput semua, pecahan armada perahu Madura tinggal lima perahu tiga melambung kekanan dan dua dimana Sapuangin berada melambung kekiri, rupanya manuver jung jung perang ini kurang cepat sehingga tembakan meleset. Perahu Sapuangin cikar kanan, sehingga layar terisi angin dari kiri dan mengiris arah angin mendekati jung yang dengan susah payah ngengikutinya dengan haluan  diarahkan ke perahu Sapuangin yang tertiup angin samping menggeser arah lambung mendekat salah satu jung perang yang sampai miring kebarat karena layar terlalu tajam dipasang menyamping, begitu pula perahu perang Sapuangin. Maksud manuver kedua perahu yang mati matian bermusuhan ini jelas, jung berusaha mengarahkan haluannya ke perahu perang Madura, sedang perahu perang Majapahit dengan dorongan angin dari samping lambung kanan  mengiris angin mendekat secara pasti kearah jung,menyesuaikan dengan jarak tembak yang efektip,  dengan moncong kalantaka lurus ke papan lambung jung,  Sapuangin memerintahkan memasang dua bilah galah bambu  yang akan digunakan melentingkan dirinya kearah tiang agung jung,   jarak keduanya  mengecil jadi limapuluh depa, Sapuangin memerintahkan kalantaka ditembakkan kearah papan lambung yang mestinya dibawah air  terangakat angin, tidak sia sia tembakan dua perahu perang ini lurus mengenai lambung batas air yang terangkat karena kemiringan jung dengan suara sangat keras, sambil cikar kanan untuk menghindari tabrakan perahu Madura melentingkan Sapuangin meloncat tinggi kearah tiang agung jung dan berjumpalitan lalu bertengger disana sambil mengayunkan cemetinya dan memotong talitemali layar jung, yang segera menegakkan kemiringan jung dari pisisi miringnya, akibatnya air laut masuk   dari lubang di lambungnya menyebabkan panik awak jung.  Pelempar seligi beberapa orang mendadak lemas tangannya karena terkena cemeti yang meledak  ledak keras. Sendirian Sapuangin mengamuk di geladak jung dengan cemetinya yang ampuh, menyebabkan kegaduhan besar besaran. Dengan mudah perahu Madura membalikkan arah haluannya sejajar dengan jung makin mendekat, dan dari jarak dua tombak sudah belasan prajurit laut Majapahit yang mampu meloncat keatas geladag jung dengan golok dan celurit, memulai pertempuran dengan senjata parang. dan clurit Teriakan anak perahu yang berbangsa China bahwa perahu bocor dan segera tenggelam membuat panik anak buah jung orang Melayu, disamping terdengar lagi tembakan kalantaka kearah geladak yang sudah penuh belatentara laut Melaka dari perahu perang Mejapait dari sisi lain, menyapu prajurit laut yang lagi mendapat latihaan. Puluhan anak perahu yang rupanya sedang dalam latihan memilih menyerah. Segera Sapuangin memasang layar jung menyamping terisi angin dan mendorong jung kesamping sehingga miring, dan lambung yang bocor terangkat diatas permukaan, langsung diperbaiki oleh anak perahu Majapahit dari ketiga perahu yang lain, dengan cepat lubang ditmabal dngan papan papan diperkuat dengan gading darurat, kebocoran antar papan ditambal dengan pelangkin ( semacam aspal ) dan segera bisa diatasi. Dengan sorak sorai membahana bendera matahari terbit dan bendera gula kelapa mengudara di tiang agung jung taklukan. Anak parahu orang China dipisahkan dengan anak perahu orang Melayu, dengan tangannya semua terikat, dipindah ke perahu perahu perang Madura yang ada.
Jung yang satu lagi sudah lama lolos tidak Nampak ikut bertempur, kerena ada perlawanan dari anak buah orang China kepada perwira perwira  Malayu. 
Sidang perang secara kilat diadakan di perahu dipimpin Prangwadhana Sapuangin, membahas situasi hasil perang laut yang mendadak ini, makan korban dua perahu perang Madura sangat memukul kebanggaan Prangwadhana Sapuangin. Yang satu karam dengan empat kalantaka dan dua anak perahunya meninggal, satu rusak anjungannya dan tidak layak layar. Akan tetapi telah bisa dirampas satu jung perang dengan memenangkan pertarungan di geladag jung musuh menggunakan baja dingin begitulah istilah perang digeladak kapal dengan senjata parang pedang pedang  clurit dan tombak  para awak perahu Majapahit ganas mengamuk, Pasukan Laut Diraja Melaka, memang sedang berlatih sangat kurang pengalaman tempur, apalagi melawan pasukan laut Wiwtiktapura yang kenyang makan garam, baru tereakan perangnya saja sudah menyeramkan, banyak bala tenatara muda Melaka yang memilih mencebukan diri kelaut daripada beradu senjata dengan golok dan clurit dari harimau Sampang ini. Kemenagan yang cepat ini sangat membanggakan anak perahu Majapahit. Dengan pengorbanan empat prajurit gugur karena kehabisan darah, sepuluh luka luka yang perlu perawatan. Baik kawan maupun lawan yang luka semua dirawat sama rata, diberikan candu untuk meringankan kesakitan, luka dan patah tulang semua dapat perhatian yang sama dari tabib kedua belah fihak. Mereka ditinggal dengan perbekalan cukup disatu pulau kecil yang bertebaran di selat Malaka. 
Sidang perang kilat memutuskan bahwa jarang sekali ada kesempatan untuk serangan mendadak dengan mudah ke Kuala Malaka. Sedangkan kesempatan yang tidak akan kembali sudah ada ditangan didepan mata. 
Dengan tertawannya jung perang Malaka yang dengan sedikit perbaikan lambungnya bisa layak berlayar sampai kuala Malaka dengan angin buritan. Pasti jung yang telah ngacir sendiri tela melapor bahwa mereka telah berhasil menenggelamkan paling sedikit dua perahu perang Majapahit, dan yang satu lagi masih sedang membereskan perahu perang Majapahit  dari armada yang tertinggal.
Jung yang ngacir disambut dengan meriah di Kuala Melaka, sambil menunggu jung kawan searmadanya, sama sekali tidak terpikir oleh para Panglima Johan Pahlawan Diraja Melaka bahwa dengan baja dingin artinya parang dan pedang, jung yang tertinggal telah berganti tangan. 
Bendera Majapahit diturunkan dan diganti dengan bendera dan umbul umbul kemenangan dari Malaka , yang kini berkibar ditiang agung dengan megahnya. Jung rampasan berlayar disiang hari bolong ke Kuala Malaka, hingga menjelang senja. Jung perang yang pulang lambat dengan kemenangan yang gemilang disambut oleh Tuanku Syahbandar dari bandar Kuala Melaka dengan aba aba supaya menunggu perahu pendayung agar bisa ditarik kedalam kuala. Tak terkira terkejutnya tuanku Syahbandar Kuala Malaka melihat Panglima Armada Malaka tertawan menemui tuanku Shaybandar dibawah ancaman senjata, dan sekalian sang Tuanku Syahbandar dipaksa dengan keris dileher tanpa kentara dari darat seolah olah berangkulan, harus memberi aba aba menarikan jung segera dilakukan. Jung perang ditarik ke tambatan Kuala Malaka dikemudikan oleh jurumudi dari Majapahit, yang berdandan a’la perwia laut Melaka,  diarahkan bukan sejajar dibelakang jung perang yang terdahulu, tapi kok malah  terlalu ketengah, perahu pendayung mengerti pasti jung sombong ini mau tambat didepan jung kawannya supaya nampak dialah penakluk sebenarnya. Sebenarnya tidaklah demikian, bahwa tujuan utama adalah mengarahkan haluan ke jung jung yang tambat terdahulu, berjajar, ada tiga jung yang tambat sejajar, jung kawannya yang datang duluan di nomer tiga, sedang dua jung yang lain tanpa awak akan menunggu gilirannya dilatih dengan awaknya sehari kemudian.
Apa lacur, jung sombong yang ditarik disamping lambung jung nomer dua dan dan nomer satu  tiba tiba memuntahkan peluru mahalelanya kearah lambung dua jung nganggur tanpa awak begitu dekatnya jarak tembakan itu sehingga menimbulkan kerusakan nyaris meremukkan lambung jung jung itu, dan jung rampasan sendiri berakhir dengan melintang kuala, jung rampasan ini mengarahkan muncongnya ke jung kawannya di urutan yang ketiga, tembakan yang hanya bejarak beberapa depa mengancurkan lambung dengan potongan papan yang kecil kecil menyebar barsama ledakan yang tidak dinyana. Selanjutnya balik kanan putar haluan keluar muara. Jung yang ditunggu tunggu untuk penyambutan kehormatan, kok malah mengamuk dan memutar haluan dibantu dengan arus keluar kuala yang agak deras, Yang Nampak mendekat malah lima layar segitiga perahu perang Majapakit yang jauh lebih kecil, dengan bendera Majapahit masuk Kuala Malaka sambil menembakkan kalantaka membabi buta, sekaligus memutar haluan keluar dari kuala tanpa pamit dengan kurang ajar.  Walhasil dalam waktu yang sangat singkat tiga jung perang dengan mahalelanya duduk tanpa bisa bergerak geladak dan lambungnya hancur luluh lantaka di tambatan Kuala Melaka, tidak terhitung yang mati terinjak injak dari rombongan upacara penyambutan. Isak tangis dan kerusakan hebat dari bangkai tiga jung ditinggalkan di tambatan perahu Kuala Malaka.
Melihat hasil yang begitu  merusakkan semua anak buah Armada Majapahit terdiam sambil keluar dari Kuala Melaka. Mereka mengenang kawan kawannya yang gugur dan yang luka luka masih tertinggal di pulau kecil, menyayangkan mereka tidak ikut dalam serangan mendadak yang berhasil gemilang ini.
Tinggal Prangwadhana Sapuangin, teronggok memegang bumbung la’ang tua, memikirkan bagaimana melapor kepada Laksamana mandala Barat Sang Wreha Nala.   
Dalam sangkar sangkar burung merpati untuk ke Tanjungpura tinggal lima ekor, belum tentu bisa sampai ke Tanjungpura karena disamping melawan angin juga banyak burung pemangsa sebangsa elang di pantai perairan Sumatra. Hanya terkirim berita singkat, bahwa armada jung perang Malaka sudah dibersihkan di sarangnya Kuala Malaka, satu dengan luka lambung ditawan dikalahkan dengan baja dingin (artinya dikalahkan dengan pertempuran  geladak),  anak perahunya luka luka dan tertawan dibawa ke Palembang, jung masih layak laut.
Berita dibawa oleh hanya satu merpati yang sampai disarangnya di Tanjungpura lima hari kemdian dan segera diteruskan persis seperti yang ditulis dengan merpati dari Palembang yang dengan jumlah merpati hampir tujuh puluh ekor.
Dari tujuh puluh ekor merpati dari sangkar Palembang yang dilepas di Tanjungpura, hanya kurang dari empat puluh ekor yang sampai dalam seminggu. Berita diterima oleh Laksamana Wreha Nala dengan keheranan dan sedikit kebingungan dari Laksamana yang berpengalaman ini. Berita penting ini ditahan oleh Laksamana hingga armada kecil lima perahu perang Madura dan satu jung perang tawanan sampai di Palembang dengan menggunakan angin nelayan yang tidak pasti, dan pada umumnya melawan angin ke Palembang. dengan terpaksa menggunakan tawanan Melaka untuk mendayung sepanjang pelayaran ke palembang, hitung hitung juga latihan.
Lima  hari armada kecil ini selamat tanpa halangan sampai di pelabuhan sungai Musi di Palembang. Tanpa upacara apa apa. Prangwadhana Sapuangin pagi itu juga menghadap Laksamana Wreha Nala. Sambil menghirup suguhan sederhana minuman jahe dengan gula nira, juadah dan manisan, ikut dihidangkan mpek empek Palembang yang terkenal itu. Sapuangin menceriterakan bahwa dia keluar dari muara Jambi kepergok oleh dua jung perang Malaka dengan posisi armada kecilnya dibawah angin, Jajar pandawa yang dia  lakukan kurang cepat dari berkurangnya jarak antar dua armada jadi lebih cepat, akibatnya dua perahu perang Madura kena tembak jung dari jarak tujuh ratus depa. Darahnya mendidih, tiga perahu perang Madura langsung berlayar mengiris angin ke kiri dan ke kanan, dia ada di satu perahu yang ke kiri. Rupanya anjungan jung diarahkan mengikuti arah perahunya, menunggu kesempatan  melepaskan tembakan. Masih untung anjungan jung sudah tidak bisa mengikuti perahunya yang melingkar lambung dengan cikar kiri, akhirnya dia mengubah arah haluan ke cikar kanan dan perahunya terikut angin ke lambung kanan mendekati jung. Dengan jarak sepuluh tombak dia melompat ke tiang agung jung perahunya menghujani tembakan dengan jarak kurang lebih sepuluh tombak mengenai lanbung dibawah air yang niak karean miring menghadap ke haluan perahunya, disambung dengan cikar kanan dan  sehingga jarak mereka mendekat disertai dengan lompatan semua prajurit dari anak buahnya yang mersenjata cambuk dan celurit, anak perahu jung yang china tidak ikut bertempur dan berteriak perahu bocor, anak perahu orang Melayu menilih menyerah.
Sidang perang armada kecil ini memutuskan untuk menggunakan kesempatan menyerang mendadak Kauala Malaka dengan bendera Armada Laut Malaka, kesmpatan yang sulit didapat. masuk kuala Malaka dan menghujani tiga jung yang tertambat di tambatan perahu Kuala Malaka. Mereka yang terluka dan mati tujuh orang tentara laut Majapahit gugur dalam pertempuran ini dua perahu perang tenggelam, sebaliknya keempat jung perang yang dibeli dari Kaisar China semua musnah dengan satu jung tertawan. Selanjutnya Sapuangin menyatakan dirinya bersalah sebab untuk melakukan upaya yang menyangkut keselamatan armada Majapahit hanya Laksamana yang seharusnya memutuskan.
Laksamana lama merenung, setelah menyatakan terima kasihnya yang mendalam mengenai dihancurkannya armada Malaka,  penantang terang terangan armada Majapahit. Tetapi masuk kedalam kuala Malaka dengan bendera jung Malaka dan umbul umbul kemenangannya untuk mengejar jung yang lain,  benar perkataan Sapuangin, sebagai Prangwadhana armada kecil yang kurang informasi mengenai Kuala Malaka seharusnya tidak dilakukan oleh prangwadhana yang lain, sebab kekurangan informasi adalah satu perjudian.
Apa boleh buat, Wreha Nala akan melaporkan kehancuran tiga jung perang China milik Kerajaan Malaka akan sangat mendapat penghargaan istimewa dari Mpu Mada pribadi, sebab ramalan dalam suratnya lewat Duta dari Malaka sangat cepat terlaksana, walau dengan armada yang kecil saja.  Laksamana Wreha Nala sendiri akan menyambut anak buahnya dengan sasanti jaya jaya Mandala Barat dengan semestimya  besuk, Laksamana Wreha Nala menyilahkan para jagoannya ini beristirahat. 
Adapun setelah d8uapuluh hari.  tibalah utusan Mahapatih Mpu Mada Ke Palembang untuk menjemput Prangwadhana Sapuangin ke Wilwatiktapura beserta Laksamana Wreha Nala adalah pantas.
Mpu Mahapatih Gajah Mada, ratu Tribhuanatunggadewi menyambut kedua pahlawan laut ini di depan wantilan agung, barisan kehormatan satu mandala darat dibariskan dikiri kanan alun – alun penuh dengan  tentara berpakaian kehormatan yang mencorong keemasan, guna mendengarkan pidato kemenangan Mpu Mada,  arsitek dari Sumpah Palapa.
Tepat tiga jengkal matahari muncul dari ufuk timur, Sang Laksamana mandala laut Wreha Nala disejajarkan dengan Prangwadhana Sapuangin yang berpakian khas Madura Baju dan celana komprang sutra hitam dengan kampuh dari batik Tanjung bumi melibatnya pinggangnya dengan rapi, Kedua penunggang kuda ini tetap duduk dipelananya berhenti dihadapan wantilan agung. Mahapatih Mpu Mada berkendaraan kuda mendanpingi Sri Ratu Tribhuwanatunggadewi, diiringi oleh tamu umdangan para pedekar laki laki perempu berkepandaian tinggi  menunggang kuda berbaris mendekat dari kiri kanan wantilan Agung. Ratu Tibhuwanatunggadewi, berdandan serba biru dibuat dari sutra china terbaik, makkota dari emas tipis berhiaskan batu mulia biru dan biru laut, dandanan  ringkas, untuk penunggang kuda. Sang Ratu mampu tanpa kehilangan keagungan sang Rajaputri  duduk dipelana kuda secara lelaki. Setelah bunyi genderang dan bedug bertalu talu memainkan lagu gubahan  karya Sanggar dari Lembu  Anindita dan Lembu Andini yang diundang jauh jauh dari Banuwangi  ke Wilwatiktapura, Menyatakan bahwa dia, Prabhustri Tribhuwanatunggadewi, atas laporan Sang Mahapatih Gajah Mada, marasa wajib menyambut sendiri kedatangan wakil Mandala Laut yang sangat berjasa, sehingga Sanng Prabustri secara pribadhi merasa harus meyambut mereka bagi Wiwatiktapura, dengan melenyapkan kelilip dari mata Wilwatiktapura, nun di Kuala Melaka. Prang wesana Sapuangin telah mentgnacurkan ketiga jung oerang dan mwenawan salah sutnya/ Keempat jung  perang itu  telah dipersenjatai  dengan  mahalela dari Kerajaan Melaka, pembelian dari China/
Tangannya melambaikan pataka kemenangan sebelum  disampaikan kepada Panglima mandala Laut, disambut dengan sasanti jaya jaya dan dirgahayu Wiwatiktapura oleh sebegenap wadya yang berbaris dan penduduk warga Wiwatiktapura. Sudah tertundukkan musuh yang sombong, dan sepertinya Dewa Dewa mengizinkan dalam waktu yang sangat singkat armada dan mahalelanya sekalian telah dihancurkan, dan satu jung perang ditawan, kini jadi bagian dari mandala laut Wilwatiktapura. Prabhustri berkuda Laksamana Mandala Laut berkuda, Laksamana Mandala Laut maju menuju ke tanah yang ditinggikan agar semua wadya dan penduduk bisa melihat, kepala kuda menghadap ketimur. Kemudian Prabhustri mulai menggerakkan kudanya ke timur tanah yang sudah ditinggikan, sambil membawa pataka dengan kedua tangan, Prabhustri sebagai penunggang kuda yang piawai memerintah kudanya dengan sanggurdi, tepat kuda kuda itu menurut berdiri berdampingan, satu di utara satu diselatan sedang kepala kuda Lasamana menghadap ketimur dan kepala kuda Prabhustri menghadap kebarat, sisi tangan kiri Prabbhustri memasukkan tiang pataka ke kulit tempat pataka didukung, terikat pada  pelana kuda  laksamana dan tangan kanan menyodorkan dengan tegas dan anggun pataka Mandala kepada Laksamana. Laksamana menyembah dengan kedua tangan menerima pataka yang sudah dalam penyangga dikudanya sambil duduk dan mengangkat muka sangat tegas. Penyerahan terjadi tidak lebih dari satu tontonan yang sangat menarik semua hadirin. Disambut dengan surak sorai sasanti  jaya Majapahit, jaya Wilwatiktapura oleh ribuan tenggorokan baik dari baris prajurit maupun dari hadirin penduduk. Sesaat Laksamana menghadapkan kudanya ke alon alon, mencabut pataka dan melambai lambaikan kearah mereka semua yang hadir di alun alun. Prabhustri juga menghadapkan kudanya ke alun alun sambil melambaikan tangannya pada hadirin, yang membuat mereka histeris. Laksamana tinggal di tanah yang ditinggikan dengan muka tegak dan memegang pataka sedang Prabhustri menjalankan kudanya dengan anggun kearah tempatnya semula. Kini puncak dari upacara adalah memberian tombak kehormatan untuk Tumenggung yang baru dan peresmian pengangkatannya sebagai “Tumenggung Manggala Yudha ring Jalanidhi” Sapuangin, oleh Mahapatih Gajah Mada. Dengan cara yang sama keduanya bertemu berdampingan kudanya di tanah yang ditinngika diiringi dengan “gending olek olang paraona ajelen”, mendadak hadirin ribuan tenggorokan ikut melagukan gending rakyat yang sama sama mereka kenal, disambung irama yang cepat dengan guntur ketug tetabuhan jenis bedug  terbang dan genderang, Sang Tumengggung Pandega menyembah kemudian menyambut tombak kehormatan yang ternyata telah dibuat dalam waktu singkat kurang dari sebulan oleh kakek Empu Keleng sendiri atas pesanan kilat Mahapatih Gajah Mada. Tombak lantas di angkat tinggi oleh Sapuangin dan disambut dengan sorak sorai hadirin yang tambah histeris dengan gending baris ageng yang heroic. Kuda sang mahapatih ikut menghadap ke alun alun dan mereka merapatkan kuda kudanya, dan melambai lambaikan tangannya.
Tapi pelajaran berikutnya yang sangat berharga diumukan, bahwa  satuan satuan kecil dibawah Prangwadhana tidak diperkenankan memutuskan memulai operasinya sendiri tanpa informasi dan koordinasi dengan atasannya setingkat Tumenggung Manggala Yudha Jaladri, tidak boleh ada lagi meski kesempatan ada, mengingat tipuan yang sama akan diciptakan lawan untuk satuan mandiri yang kecil, sehingga kekeliruan diderita oleh satuan kecil yang terjebak tersebut sulit untuk diberi pertolongan oleh armada dikawasan yang sangat luas. Bendera armada Wilwatiktapura sudah bisa bertahan dilaut dan pantai pulau pulau Nusantara dengan anggun dan tanpa menembakkan peluru kalantaka sekalipun.(*)





























  

2 comments:

silahkan membaca serial tulisan saya ini , terdapat seri 1 sampai seri 23, urut mulai bawah hingga atas. terimakasih

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More