Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

15. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 14)

  PEMBALASAN  NI RATRI 

Sesudah diangkat jadi Tumenggung Bhumi Tarik dan pemulihan  pasukan berkuda, Raden Wijaya segera pergi ke Kling sekali lagi, dengan beberapa pelatih kuda kenamaan dari Kadiri. Mereka berangkat berkuda, dengan bekal  bubukan daun kelor kering yang cukup dimuat dalan karung kain dibalakang kuda masing masing. Raden Wijaya yakin dengan bimbingan catur sanak dia bisa mnyelesaika tugasnya.
                       Keluarganya sudah dipindah dari Pamekasan, Istri dan adik adiknya ini  sudah terbiasa hidup sebagai orang biasa.  Adik ipar lelaki Raden Wijaya sungguh menikmati kebebasan hidup sebagai orang biasa,  berkuda keluar nasuk kampung, untuk melatih kuda kuda yang baru, didatangkan dari Luwu. Mereka berdua biasa menuggang kuda tanpa sadel. cara orang Desa. Entah terkejut karen apa kuda setengah liar ini mendadak berlari masuk pelabuhan Tarik yang lagi ramai, kuda mengamuk dikalangan orang banyak dan berlari menuju keramaian, untung saja ada seorang asing, sepertinya china, menahan kuda ngamuk itu sehingga penunggang tidak terjatuh. Ternyata lelaki china ini sangat mahir bahasa jawa halus, dan menceriterakan bahwa kelurganya akan  ke Kadiri, dari Wilayah Rajegwesi. Untuk nenyatakan terima kasih pemuda ini mampir di penginapan tempat keluarga ini menginap. Sang Babah menceritakan bahwa keluarganya itu sudah lama di pulau Jawa, berdaganang mengumpulan batu kawi untuk dikirim ke China. Pangeran yang diampuni ini mengajak  si Babah  kalau sempat berkunjung ke Pesanggrahan melihat kuda kuda yang baru datang dari Luwu.
Sungguh  kabetulan Babah ini kenal dengan kuda kuda, tabiat dan kesehatannya,  khasiat susu kuda dan lain lainya.  Sang Pengembara dikenalkan kepada Putri istri Raden Wijaya dan saudara  saudarinya,  mereka beercerita bahwa mereka baru di bhumi Tarik ini,  meskipun sekarang Tumenggung tapi miskin. Semua yang ada sekarang adalah pemberian Sang aria Wiraraja dan Seribaginda Mahaprabhu Kadiri. Suaminya ditugaskan nemulihkan jumlah kuda kuda perang beliau, yang susut banyak dari wabah penyakit bolor kuda, suaminya, masih pergi ke Kling, melacak kuda keturunan kuda Atas Angin dengan kuda kuda setempat.
Sang Babah tamu menganjurkan lima puluh kuda kuda dari Luwu ini harus dipisahkan istalnya agak jauh dari istal kuda setempat,  kandang yang meski tidak angin tapi udaranya bebas. Dia mengatakan bahwa bubuk daun kelor memang baik buat kesehatan kuda kuda dan daya tahannya terhadap penyakit. Di China pun, bubuk daun kelor kering ini dipakai sebagai obat untuk manusia juga lebih umum getahnya yang dikeringkan. Orang orang yang memelihara kuda dari Luwu ini harus tidak memegang kuda setempat  yang lain,  jadi sama sekali dipisahkan.   Setiap kuda di totok oleh si Babah ini, dibagian urat penenang, dengan wanti wanti jangan berbuat gaduh dan mengejutkan kuda kuda ini. Dia menunjuk rumah panggung bekas tempat pasukan pengawal supaya dirubah, untuk menempatkan kuda kuda ini, dilapisi dengan jerami. Semua dituruti oleh kepala rumah tangga. Si Babah bilang untuk selama tiga hari dalam makanan kuda kuda itu supaya ditambah gula aren setengah kati sehari. Sang Putri Nyonya rumah sangat berterima kasih atas saran itu, memang suaminya lagi pergi, untuk beberapa lama. Si Babah yang sebenarnya bermarga Yap, selang tiga hari  ke Peanggrahan yang berhalaman sangat luas untuk menegar  kuda, disertai dengan istri dan seorang pemuda tanggung anaknya,  diiringi dengan dua pembawa guci. Setelah menghadap Sang Putri, Orang dari marga Yap ini mengatakan bahwa orang tuanya di China adalah kelurga pedagang kuda, dia membawa larutan untuk diteteskan ke mata kuda kuda yang baru datang dari Luwu, supaya tidak gampang ketularan sakit bolor,  selama tiga hari yang lalu obat tetes mata ini telah ia siapkan. Untuk mencoba bahwa cairan tetes mata ini tidak beracun, dia minta mangkok kecil, dia ambil cairan itu, semangkuk kecil dan dia minum dihadapan sang putri. Dasar putri raja, meskipun sudah jadi orang pelarian berbulan bulan, tapi mencampuri perkerjaan suaminya, urusan kerajaan, yang dia berpikir berguna tidaklah salah, tanpa banyak cing cong dia izinkan upaya ini, dan sekaligus memanggil kepala urusan rumah tangga untuk mengantar tamu Babah ini ke istal yang baru, rumah panggung prajurit yang dirubah jadi istal. Semua kuda nampak jauh lebih baik dari waktu tiba, kulitnya berbulu licin, sudah aktip bergerak, dan makan banyak. 
Semua kuda mata kiri kanan sudah ditetes, lebih tepat diguyur dengan air dari guci.   Sambil ngomong omong dengan bahasa Jawa halus walaupun masih kurang jelas dan tidak bisa mengucapkan r dengan jelas,  akhirnya mereka diundang untuk menginap di pesanggrahan sambil menunggu perahu yang akan membawa mereka ke Kadiri.  Keluraga Yap ini sangat bersimpati pada tuan putri, dan  adik adiknya yang telah kehilangan seluruh keluarganya. Mereka  yakin dewa dewa tidak akan mebiarkan kekajaman ini, mereka juga kenal betul kelakuan pasukan  berkuda waktu menyerbu.  Malah akhirnya kelurga Yap bersedia untuk tinggal di salah satu Pavilion Pesanggrahan, sambil menunggu  Raden Wijaya, dan ikut menjaga kesehatan kuda kuda yang baru datang dari Luwu, 
 Raden Wijaya  datang dengan sepuluh kuda dari  Kling, kebanyakan betina, dari sekitar Desa Ngetos, ada yang sampai ke wilayah Brebeg, dia tebus kuda atas nama Raja, dengan harga yang sangat memadai, meskipun kadang dengan alot, untungnya ada penyakit bolor yang manakutkan si empunya kuda. Orang marga Yap menerangkan bahwa dia menuju ke Kadiri,  untuk tinggal disana, mengumpulkan batu kawi, kemudian dikapalkan ke China. Selebihnya Raden Wijaya cuma tertarik pada pengobatan kuda dengan membuat cairan yang terbuat dari air kelapa yang dicampur dengan bolor kuda, diperam sampai agak asam. Sudah itu ditambah lagi dengan air kelapa satu banding satu. Ini memberi daya tahan tehadap bolor dalam waktu dua bulan penetesan mata ini harus diulang. Raden Wijaya ingat di Madura orang mencegah penularan campak dengan cucian baju orang yang sakit cacar, dicampur dengan air kelapa yang diasamkan. Akhirnya keluarga Yap menyetujui akan tinggal di Pasanggrahan selama raden Wijaya membutuhkannya, asal boleh pulang pergi ke Kadiri dan sekitarnya untuk mencari tahu pengumpulan batu kawi ini. Disetujui oleh sang Raden yang kepepet, dan dijanjikan akan dibantu sekuatnya
Tidak disangka bahwa nyonya Yap sudah jadi sahabat baik Tuan putri dan adik adiknya. Setahun kemudian, waktu keluarga Yap menginap di Pasanggrahan untuk mengantar seperahu batu kawi sambil menunggu jung china tiba, terjadilah huru haru yang besar, Jung Jung perang Kublai Khan sampai di Pelabuhan Terung.  Ujung Galuh, menuju ke Singhasari untuk menghukum  Paduka Kartanegara,  Jumlah jung perang tidak tanggung tanggung dua puluh jung besar besar lengkap dengan seribu serdadu bertameng kuningan dan bermeriam besar besar dari kuningan,
 Pesanggrahan Tarik sama sekali tidak siap untuk kedatangan tamu yang belum tentu tujuannya ini. Untung salah satu jung yang terbesar melempar sauh dekat dengan Pesanggrahan,  Menurunkan sekoci dengan sepuluh orang, rupanya Pimpinan Pasukan berpangkat Laksamana dan perwira dekatnya. langsung disambut dengan la’ang tua dari Pamekasan di geladak yang masih baik dibangun waktu sang Jayakatwang  berkunjung ke Pesanggrahan itu. Saat itu malah keluarga Yap ada disana ikut menemui tamu Laksaman Mongol, dengan rombongan sang putri.
Mau atau tidak Nyonya Yap berlaku sabagi jurubahasa untuk kedua belah fihak. Mereka diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, tidak ada lain pilihan. Saudagar Yap dengan Raden Wijaya masih pergi beberapa hari ke Kling. Sang putri bunting besar.  Pasukan Kublai Khan ini sebenanya dalam misi penaklukan di Kawasan Asia Tenggara, seorang Laksaman juga pangeran Mancu. Sang Pangeran Mancu terkesan atas penyambutan yang tidak dia kira, wong tugasnya menjelajah dan menaklukkan bangsa yang masih liar. Diterangkan oleh si Nyonya bahwa tuan Rumah dan suaminya lagi pergi selama empat hari, bahwa tuan Rumah bekerja untuk Raja mengepalai peternakan kuda, karena  dijelaskan bahwa kuda kuda pada mati diseluruh Negara kena penyakit pernafasan, Sang pangeran terus terang bahwa dia dan dua puluh jung bersenjata bertugas dari kaisar Kublai Khan untuk mngajar sopan  santun kepada Raja Singhasari, dan menuntut penaklukan siapapun yang ada di Pulau ini. Sang Nyonya memutuskan dalam hati dialah sekarang pemegang peranan. Nyonya Yap mengatakan bahwa sang pengeran segera harus menuju ke Kadiri di hulu Sungai ini sementara air nasih besar, tidak bisa diundur lama lama kerena air sungai surut,  masuk musim kemarau.    Kadiri telah menaklukkan tiga Kerjaan di Jawa dengan rampasan emas tiga gerobak sapi, karena di Wengker ada tambang mas.  Mendadak Putri sang tuan rumah berlutut dengan menyembah, lalu memberikan kalung emas tanda Garuda Wisnu lambang Kerajaan Singhasari, beserta duaratus gentong nafta dari Arosbaya, supaya diambil besok di geladak.  ( Nafta rembesan dari minyak bumi yang dipergunakan untuk pembakar panah api dan priuk api). Rupanya sang Pangeran Mancu sudah tahu garis besar apa yang terjadi di Jawa, dan siapa yang tinggal di Pesanggrahan ini.  Dia menerima lambang kerajaan dengan dua tangan, dan berucap akan mendapat lebih banyak dari ini di Kadiri. Tanpa banyak cing cong, Pangeran ini itu tesenyum dan mengangkat sang Putri dari berlututnya. 
Entah karena rokh Ni Ratri masih bergentayangan mencari balas, entah misi terpenting dari pelayaran jung jung perang ini adalah misi penaklukan, Sang Pangeran Mnncu lebih suka menyerbu kerajaan Kadiri yang dengan mudah dia capai dengan melayarkan separo jungnya dengan tiga perempat tentaranya. Nyonya Yap mengajukan diri untuk memilih juru batu (mengukur dalamnya alur pelayaran, sementara perahu berjalan) yang dia kenal juru batu yang handal karena dia sering berlayar hilir mudik sungai ini, mengangkut batu kawi.
Pangeran Nancu menepuk paha, senang sekali bertemu dengan wanita wanita pintar di tempat liar ini. Setelah memberikan sepotong batu giok yang bertulisan emas cakar ayam kepada tuan putri dan menjura sambil mohon pamit desertai dengan janji besuk siang akan menjemput juru batu yang dibutuhkan, dan gentong gentong nafta pasti dia bawa.
Semua rombongan ikut menjura dengan merangkap kepalan tangan di dada dibalas dengan sembah tuan  putri, mereka meninggalkan Pesangrahan dengan gembira.
Semua tidak mengira bahwa tuan putri masih menyisakan  lima ratus  gentong lagi digudang. Segera disuruh menggotong ke perahu untuk diangkut dibagikan ke sepanajng kali Brantas dari Papar sampai ke Wonoasri, wanti wanti setiap desa mengerti cara sederhana membuat panah gajah busur dan anak panahnya dari pucuk bambu, Pulau jawa yang mendapat kesulitan besar diserbu dari  sungai oleh jung jung perang Manchu.

 Dua hari penuh jung jung ini baru didayung ke Kadiri, mendekati kota Kadiri, semua tentara Manchu dengan perisai kuningan dan tombak berkait turun di pelabuhan, seluruh penduduk kota gempar. Para prajurit Mongol berbaris rapi berlari menuju ke kedhaton. Di sekitar kedhaton para prajurit Kadiri sudah berbaris, pasukan berkuda andalan Mahaprabhu Jayakatwang  ada di sayap kanan kiri pasukan darat agak jauh,  siap dengan panah dan busurnya yang istimewa.  Akan tetapi Semua jung membentuk formasi jajar, mengarahkan tembakan meriam meriam besar ke Kedhaton, tidak suatupun yang bisa menahan peluru peluru meriam besar ini, segera suara bergemuruh diseluruh kota, kedhaton porak peranda menghadapi ratusan tembakan meriam meriam besar yang sebenarnya disediakan buat mendobrak kota berbenteng.  Sedang kedhaton Kadiri tidak bertembok tebal seperti benteng.
Peluru meriam yang dalamnya berongga diisi mesiu dengan sumbu, meledak diudara, memporak perandakan para kuda dan prajurit darat. Hanya kekerasan dan disiplin yan membuat prajurit berkuda ini untuk kembali ke baris siaga dan mencegah mereka ini lari pontang panting, sungguh menghadapi musuh yang tak seimbang.  Belum pernah sebelumnya meriam meriam berat diadu dengan barisan prajurit, selain dengan benteng tembok tebal. Prajurit darat Kadiri bersenjatakan tameng kulit kerbau dan tombak panjang, kocar kacir mendapat tembakan meriam dari arah belakang, sedangkan perintah maju diturut hanya supaya tidak hancur ditimpa peluru yang meledak diatas disamping dan dibalakang, pendekya mereka dilumatkan dengan peluru jenis ini, pasuka berkuda dari sayap jauh, meskipun tidak kena tembakan peluru meriam yang bersumbu ledak, toh jumlahnya hanya sedikit hanya lebih sedikit dari seratus pasukan berkuda. Terlebih waktu berlari dengan semangat besar menghadapi formasi pasukan Mungol yang berperisai kuningan, memantulkan sinar api kebakaran Kedhaton, laksana api itu sendiri begerak maju dengan teratur. Serbuan pesukan berkuda yang tidak seberapa dari samping sambil berlari, hanya sedikit berkibat buruk pada formasi tameng kuningan ini karena panah pasukan berkuda tidak bisa menembusnya, tameng ini cukup lebar dan tebal, lagipula tombak yang berkaitan itu telah meminta korban banyak dari pasukan berkuda yang sedikit ini. Sungguh menyedihkan, pasukan berkuda yang perkasa ini hilang dayanya. Mahaprabu Jayakatwang akirnya kehabisan anak panah dan daya gerak kudanya, jatuh dari kudanya karena dijerat dengan laso yang jatuh menjeratnya seperti hujan, beliau tertawan, selain itu semua  pasukan berkudanya lari serabutan menyelamatkan diri, hanya untuk dikait dengan tombak tentara darat mongol dan ditombak ramai ramai. Hanya sedikit yang melarikan diri  selamat. Kedhaton terbakar hebat, pasukan mongol menyerbu kedalam, mereka menuju ke gudang kerajaan dan mendapatkan lebih dari empat gerobak sapi emas dan perak. Kain dan permadani lebih dari enam gerobak yang wutuh  tidak ikut terbakar. Kutuk Ni Ratri terlaksana dengan sepenuhnya. 
Waktu tembakan meriam dihentikan, dan tentara betameng kuningan berbaris kembali ke kapal dengan sepuluh gerobak rampasan perang,  Kedhaton masih terbakar hebat, 
Mendengar ada jung perang minggir mendarat di Pesanggrahan Raden Wijaya lengsung pulang, hanya untuk diantarka ke dermaga depan sambil dibawakan bekal dan diberi minum susu kuda oleh tuan putri, dia dan kudanya beserta dua pengikutnya naik perahu dayung ke seberang sungai, desertia  pesan bahwa Mahaprabhu sangat membutuhkan dia, dan wanti wanti jangan lupa, menyiapkan panah gajah disepanjang pengggiran kali Brantas.  Tiddak tahunya putri Gayatri telah mengutus kurir berkuda ke Perdikan Sendang, di tepian sungai Porong, memberi kabar bahwa jung perang Mongol ada sepuruh lengkap dengan merian dan prajurit mudik ke Kadiri, Ki Bismasadana menngerti makna kisikan ini, Maka kedua muirdnya dua bekas pengiring Raden Wijaya dan banyak kaum pedagang dari Japan membawa ratusan perahu segera mengerti arti kabar ini. Mereka segera memperiapkan panah panah gajah mengayung ratusan perhu mudik dam mampir ke setiap Desa penting sepanjang sungai, meninggalkan nafta dan minyak yang sudah dikumpulkan di Japan untuk  dibagi setiap Desa dari Wonoasri sampai ke Minggiran, memberi semangat dan aba aba siaga dengan panah gajah bila jung jung perang ini kembali menghilir sungai. 
Raden Wijaya dengan beberapa pengikutnya datang di seberang utara sungai Brantas, menemukan sisa sisa pasukan berkuda yang tanpa kuda, sebagian pasukan darat, hanya berteriak teriak dari pinggir sungai dan dibalas dengan tembakan meriam sangat gemuruh, yang makan barongan bambo dipinggir bengawan Brantas, sedikit korban dari penonton yang langsung lari mundur. Raden Wijaya baru ingat pesan wanti wanti sang putri mengenai panah gajah. dia dan sedikit pengikutnya dengan upaya hampir diluar kemampuan manusia berkuda mondar mandir mengerahkan tenaga semua orang lelaki untuk memotong bambu ori dipinggir kali membuat busur panah gajah, yang ditembakkan sambil terlentang diatas papan penembak, busur ditarik dengan kedua tangan, anak panah dari pucuk bambo yang diluruska dengan dipanaskan diatas unggun api, lebih sedepa dengan ujung ujungnya dilibat kain kain apa saja. Bagi rakyat lebih baik telanjang dari dijajah bangsa Mongol. Kain kain ini dilumuri segala minyak terutama minyak jarak yang tertimbun di utara sungai tempat perajin panah istimewa dibuat, Kampung Nyutran.
Jadilah satu busur yang memadai, satu papan untuk pemanah bertelentang, dua kaki keatas menjejak busur, ujung panah dibakar, panah gajah ditembakkan keatas melengkung jatuh tajam kearah perahu perahu jung, yang dari samping tidak bisa dibakar dengan panah api karena dibentengi dengan perisai perisai kuningan dari prajurit darat yang dirangkai dengan rajutan tali tali, mirip sisik ikan,  baju zirah raksasa dikiri kanan lambungnya.  Yang ini kebal terhadap panah api dari samping. Tapi lain dari panah gajah yang ditembakkan keatas, membuat lengkung lintasan anak panah raksasa yang melengkung tajam menukik kebawah, tinggal bagaimana membidiknya saja.
 Setengah malam lusinan busur busur panah gajah sudah terpasang lengkap dengan papan penembaknya,  anak panah ratusan dibebat dengan apa yang bisa menyerap minyak, dipasang ekor pengarah dan keseimbangan dari belahan daum kelapa  yang dipotong dan diikatkan di ekor anak panah dengan  rapi laksana ekor panah biasa dari bulu angsa.  anak panah bambu jenis kecil yang biasa dibuat gagang sapu, atau ujung bambo yang biasanya tidak lurus. menjelang tengah malam siap ditembakkan dari  Minggiran,Papar Wonoasri dan Kertasana,  Upaya tanpa lelah dilakukan sepanjang sungai oleh  rakyat, menyediakan panah gajah, sepajang kali Brantas. 
Setengah dari lingsir malam yang bersejarah, dari Papar sampai ke Ploso, berjajar sepanjang pinggir kali Brantas berlapis lapis panah gajah dibuat  disepanjang tepi sungai oleh rakyat. Para penembak bergantian mencoba sudut tembak yang paling bagus ketengah sungai, artinya anak panah turun hampir lurus kebawan ketengah sungai.
Sulit untuk sang Laksamana, melayari sungai yang tidak lebar dan dikepung bahaya ini,  atau menurunkan prajuritnya  yang  sidikit itu, guna memadamkan semangat perlawanan dengan membantai mereka,  sebagai konsekuensinya harus mepersenjatai mereka dengan tameng kuningan yang telah terpakai untuk melindungi perahu perangnya dari panah api biasa dari samping supaya tidak menancap di lambung.  Toh anak panah gajah ini jatuh dari atas, sehingga menolak anak panah berapi ini sangat sulit, andaikata tidak menancap pada tameng toh jatuh ke geladak atau perut jung yang penuh barang dan mesiu. 
Akhirnya sang laksamana dengan marah menembak dengan meriam tanpa henti kemana saja ke pinggiran sungai yang sekira ada orang yang bergerak, sambil menghilir sungai tanpa juru batu, malam lagi. Makin jauh dari  Kadiri makin tepat dan gencar panah gajah berapi ini makin merupakan hujan api yang sulit sekali ditangkis, dari dua sisi kali  yang sempit dibandingkan dengan sungai Mekong, sungai Huang Ho atau sungai Musi, tanpa mendekat ke pinggir yang  penuh penembak panah gajah yang akan membakar perahu.  Menjelang pagi sudah lima diantara jung penyerbu yang terbakar  hebat, atau meledak, kali menjadi ramai orang orang memburu anggauta pasukan Mongol yang berenang menepi, dengan bambu runcing, bahkan menembaki mereka yang naik potongan papan menghilir kali, karena takut minggir. Begitulah hasil panah gajah dadakan dengan akal rakyat yang disulut oleh Raden Wijaya tanpa lelah.  Jayakatwang sebagai tawanan di jung ingat kata kata yang didengarkan tanpa suara, waktu bermain catur dengan Raden Wijaya, Satya haprabhu, gineng pratidina, tansutresna.  Dia jadi memastikan ini semua  digerakkan oleh Raden Wijaya.  Jung yang sampai di Wirasabha hanya dua, yang dinaiki oleh laksamana, telah kandas di dekat pengkolan sungai di Kertasana.  Menjelang pagi,  Raden Wijaya sampai di pinggiran sungai brantas di Kertasana. Menunggu mau  diapakan oleh pendeganya   perahu  perang yang kandas ini  Satu panah gajah ditembakkan oleh rakyat dan anehnya tepat  jatuh ditengah tengah geladak jung yang kandas  itu, membakar barang disekitarnya dan dapat dipadamkan dengan susah payah,  karena tidak seorangpun yang berani menimba air dari sungai.   Para serdadunya meloncat  dan turun ke papan papan untuk  berenang menghilir sungai hanya untuk  jadi sasaran setiap busur panah gajah buatan rakyat dengan anak panahnya bambu  dibebat segala rupa pakaian dan dicelup  minjak nafta !.  Raden Wjaya menandai kok banyak panah gajah yang njala apinya seperti nyala nafta, mulai dari Wonoasri, dan tembakan panah makin lebih tepat ?
Putra putri pelarian dan raden Wijaya tidak menyadari bahwa, Pesaudaraan Kaum Pedagang dan rakyat Japan,  ratusan mereka berlayar mudik kali Porong, menuju Kadiri !,
Segera sesudah Ki Bismasadhana, mendapat kunjuan romnbongan Aria Wiraraja mampir kesana, Ki Bhismasadhana mengerahkan  ratusan sukarelawan  ahli panah gajah, Berbulan bulan sukarelawan ini diam diam mengajari membuat dan membidiknya ke semua desa desa penggir kali Brantas dari Kertosono. mudik sampai Kediri,  dan penduduk tepian Brantas sudah disiapkan  oleh  sukarleawan dari Porog dan Japan, sampai berbulan bulan, termasuk Carat Seto dan Gajah Segara , tanpa  diketahui,  sadara seperguruan Tumenggung Bebetenging Praja Wijaya dan  keluarganya
Menjelang matahari terbit Jayakatwang di exekusi penggal kepala tanpa suara dan pesan, sesudah itu laksamana Pengeran Mongol bunuh diri. Semua anak perahu jung ini manakluk dan Raden Wijaya naik sampan mendekati jung yang kandas ini, lantas menanjat ke dalam jung,  Dia menlihat sang Mahaprabu sudah kehilangan kepalanya, Laksamana Mongol menggorok lehernya sendiri dengan pedang, tangan kirinya masih menggenggam sesuatu, yang ternyata kalung raja Singhasari berukir garuda Wishnu, lambang kerajaan yang diberikan raja kepada putrinya yang tertua..   Lanbang emas itu langsung diambil dari tangan Laksamana yang belum kaku. Salah satu anak buah Raden Wijaya mengambil kepala Mahaprabhu Jayakatwang dlbungkus dengan baju jubah Laksamana yang tidak kena darah. Raden Wijaya diam saja. Dalam jung ini Raden Wijaya menemukan harta rampasan perang pasukan  Mongol. Ternyata Laksamana membanjiri lambung yang penuh mesiu ini dan membuat bagian yang tanggelam dari lambung  jung ini bertambah dalam masuk ke air, sehingga kandas di  karang belokan sungai, tidak biasanya belokan sebelah luar sungai jadi dangkal, ya karena dasarnya batu, jadi di bagian dalam belokan ini malah  dalam, bagian luar belokan ini malah mambuat jung perang kandas disitu, bertengger diatas dasar sungai yang tersiri dari batu andesit dan padas, yang sulit tergerus arus sungai.
Dengan cepat tempat harta rampasan ini ditutup kain layar oleh  Raden Wijaya, dia menyuruh menimba air dari dalam jung, sebentar saja jung sudah brgerak dari kedudukan kandasnya, dipingirkan dan mengajak rakyat ikut berlayar ramai ramai.  Dari disi Sungai ratusan tembo mengikuti jung rampasan ini sambil bersorak sorak jaya jaya Nusa Jawa.
Jadi sebenarnya Raden Wjaya tidak pernah menyesatkan armada penghukum Mongol untuk menyerang Kadiri,  juga tidak pernah menohok kawan seiring dengan menyerang balik armada penghukum Kublai Kahn seperti yang menjadi sejarah zaman ini. Yang terjadi adalah si Nyonya marga Yap yang bersemangat mendorong sang Pengeran Mancu untuk menjarah kerajaan Kadiri, demi simpatinya kepada sahabatnya  sang putri sulung   Kartanegara. Mungkin juga karena kutuk Ni Ratri, tidak ada yang tahu
Memang mestinya  dalam hitungan  akan sangat gampang  dengan meriam meriam besar yang diangkut lewat sungai, mdnggempur Kedhaton Kadiri . Ya memang benar,  Tapi adanya panah gajah berapi yang jatuh dari atas karena lintasannya yang sangat melengkung , artinya panah jenis ini jauh lebih kuat busurnya dari panah biasa, bisa diadakan dengan sangat gampang dan cepat, dari bambo dan daun kelapa sebagai penyeimbang, adalah kreasi yang sangat cepat dan tepat dari rakyat.  Tidak ada yang mnengira bahwa putri masih mengandung  janji kuwajiban membalaskan kematian  ayahandanya. Adalah dharma yang mereka lakukan dengan anggun dan cerdas.  Putri Kartanegara ini yang mendorong rakyat dengan busur dan panah gajah yang dicelup nafta kiriman beliau,   ide cemerlang putri  inilah yang membakar armada penghukum Kublai Khan, disaamping upaya Brahmana Ki Bismasadhana yang sudah menggembleng rakyat pinggir sungaI Brantas itu.
Raden Wijaya menemui istri tercintanya,  sambil menggemgam  lambang kerajaan Singhasari  ukian garuda Wisnu yang entah karena apa sampai di tangan sang Laksamana Mongol. Dibalas oleh  sang putri memberikan lempeng batu giok hijau muda yang bertulisan cakar ayam dengan tali merah dari sutra, yang kira kira artinya siapapun yang memegang  lempeng ini akan dibantu oleh setiap prajurit Mongol.
Raden Wijaya pergi lagi, mengunjungi jung perang pasukan mongol yang lagi menerima mayat panglimanya,  mereka pada berlutut kearah Raden Wijaya yang menunjukkan lempeg batu giok itu. 
Sebagian prajurit dan pandega dilepas pulang ke asalnya sebagian ingin tinggal di bumi Tarik dan Ampel Denta. 
Siapa mengira bahwa putra putri sang Kertanegara mengajari rakyat membuat dan menggunakan panah gajah dipinggir kali Brantas dari Papar sampai Kertasana dan Ploso diberi dua gentong nafta setiap desa, dan diajari membuat panah gajah, dengan anak panahnya berekor penyeimbang dari daun kelapa yang dipangkas pendek, adalah untuk menyerang jung jung penjarah ibu kota Kadiri.  Ternyata tuan putri dua kali lebih cerdas dari siapapun yang hadir menyambut Laksamana pangeran Manchu kala itu, atau Ni Ratri masih mengharu biru mengarahkan kejadian untuk melaksanakan dendamnya, tiada seorangpun yang tahu .Yang jelas berbulan bulan sesudah kunjungan Aria Wiraraja, sukarelawan dari Japan dan Porong mengerahkan tenaga siang malam untuk melatih rakyat dan mengajari membuat busur panah gajah dan membidiknya dengan tepat, setara dengan  para putri dan pangeran  dari sang Kartanegara *)  


0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More