4. MATAHAI TERBIT DI WILWQATIKTAPURA
PELAYARAN DARI RAJEGWESI KE PROBOLINGGO
PELAYARAN DARI RAJEGWESI KE PROBOLINGGO
Dari Rajeg wesi ke Sidayu perahu rombongan Pengelana hanya menghilir sungai Bengawan Solo yang airnya mulai menyusut karena dibagian hulu sudah jarang ada hujan lebat. Dari Sidayu baru Sungai ini bercabang cabang yang merupakan wilayah Delta, cabang yang menuju agak keutara kebanyakan akan mendangkal dan lebar lebar, sedang cabang yang keselatan menuju ke Manyar lurus agak sempit tapi kedalamannya baik, hal ini terjadi karena wilayah selatan merupakan kaki gunung kapur Pegunungan Kendeng selatan. Justru diwilayah sungai ini orang Garowisi membuat tanggul tanggul dan terusan terusan, agar bisa menuntaskan air payau bila surut, dan menaikkan air tawar bila pasang besar naik membendung aliran air tawar dari bagian hulu sungai. Semula Gajah Gombak heran, ditengah tengah rawa jauh dari mana mana kok ada orang yang menggali terusan terusan yang Nampak dari perahu rombongan ini , apakah kurang pekerjaan ? Yang jelas menggali terusan dan membangun tanggul dirawa rawa adalah satu pekerjaan yang sangat berat.
Anak sungai di delta bengawan Solo ini memang mengalir di tempat yang bisa mempertahankan ketinggian wilayah, karena di pangkal percabangannya merupakan tanah yang terangkat naik oleh gerakan terangkat daratan selama jutaan tahun. Disinalah air payau didorong masuk ke daratan watu pasang naik dan mengalir kelaut waktu surut. Vegetasinya adalah khas tanah payau berupa nipah, sebangsa palem. konon selokan selebar dua depa sepanjang ratusan tombak ini buatan orang Sidayu dan Garowisi untuk mencetak sawah dilahan tersebut. Selokan aneh ini amat berat pengerjaannya terutama kerena lahan tersebut sangat berlumpur, gunanya untuk menahan air tawar bila pasang naik, justru tanah galiannya untuk dijadikan tanggul sekalian, sungguh perbuatan orang setengah waras. Tidak tahunya bahwa saluran saluran ini diberi pintu ganda, agar hasil panen bisa diangkut dengan perahu tanpa mengganggu ketersediaan air tawar. Justru fungsi pengangkutan hasil bumi yang tercipta oleh sistim saluran ini akan menyaingi kemampuan Wilwatiktapura dalam mengadakan stok beras dikemudian hari.
Manjelang senja perahu sudah di Selat Madura utara pelabuhan Garowisi, angin mati perahu masih didayung menuju agak ketimur mendekai pulau Madura. Menjelang pagi angin melai bertiup dari barat daya, dan perahu rombongan menggunakannya untuk berlayar ke timur. Perahu rmbongan sengaja mendekati pulau Madura, menghindari gosong gosong lumpur di depan muara kali Porong. Angin tetap menuju ke timur, mendekati perairan Sampang yang konon gawat oleh para bajak laut dari Sampang. Ternyata jauh didepan perahu rombongan pengelana ini ada dua titik yang menandakan layar dua perahu dari desa desa sekitar Sampang melaju ke barat daya, diperkirakan haluan prahu ini akan memotong alur pelayaran prahu rombongan. Gajah Gombak memerintahkan Pandega maupun Jurumudi untuk tidak merubah haluan, untuk mengetahui maksud dua peerahu ini sebenarnya. Benar juga, tidak ada perubahan arah dua perahu yang keluar dari perairan Sampang ini, melainkan akan tepat memotong jalannya perahu rombongan, bararti ada kemauan yang pantas dicurigai. Benar juga sesudah jarak antara mereka tinggal limaratus tombak, nampak puluhan orang mengacung acungka senjata, semacam arit besar panjang dan golok, mereka mengenakan baju dan celana hitam komprang selutut, semua memakai destar cara Madura. Gajah Gombak tidak ayal kagi, menyuruh anak buahnya dari penyaradan Mada menyiapkan dua bilah batang bambu, diselipkan antara dua balok penguat geladak yang melintang badan perahu miring kearah haluan perahu guna tumpuan loncatan jarak jauh, setelah jarak mencapai duapuluh tombak Gajah Gombak mulai meloncat ditas ujung dua bilah bamboo yang dipasan miring, jarak limabelas tombak, haluan perahu rombongan darahkan persis kearah tiang pengikat layar perahu perompak. Dengan bersenjatakan golok pendek dan cambuk panjang yang disiapkan melilit pundak kiri dan pinggangnya, pemuda gempal ini melocat berjumpalitan diudara, tepat pada jarak sepuluh tombak, dia mendarat persis diujung tiang pengikat layar perahu pembajak, dengan tangan kiri meretas tali layar hingga layar jatuh, sambil berdiri disatu kaki di ujunng tiang pengikat layar, sekaligus mengayunkan cambuknya bercuitan diantara gerombolan pembajak dan terdengar suara mengaduh dantara suara senjata celurit berkerontangan di geladak diantara layar yang mendadak jatuh. Dengan berteriak murka, seorang kepala bajak yang meluncat dari buritan loncatan yang ringan dan pesat, setinggi tiang pengikat layar sambil mengayunkan celurit, nampak pemuda Mada ini tidak bisa menghindar hantaman celurit yang mencuit kearah pundak kanannya kebawah. bersamaan dengan itu pemuda Mada ini dalam sekejap sudah terterlungkup diatas diang pengikat layar, bertumpu diatas telapak tangan kirinya yang mencekeram ujung tiang, sambil nengayunkan cambuk panjangnya, ayunan campuk ini sekejap mata lebih cepat dari ayunan celurit, maka apa yang terjadi, bahwa kepala perompak pinggangnya erlilit cambuk panjang, dengan gerakan ikan sili melentik, pemuda Mada menegangkan tubuhnya yang seolah olah terbaring menelungkup dan meregang diatas tiang layar, cembuk sekaligus menegang dan menarik tubuh kepala perompak ini keatas dan meluncur menurut garis arah loncatatannya, lewat diatas badan Cajah Gombak luncurannya diteruskan lima tombak menuju laut, arah haluan perahu perampok. Untung waktu jatuh diair dengan deburan keras, seandainya bukannya pinggang yang terlibat cambuk panjang tapi bila lehernya, bisa mati dia, ternyata celuritnya jatuh waktu diayunkan, mengenai tempat kosong tanpa tenaga. Perahu perompak yang satunya segera putar haluan dan menuju ke daratan dengan didayung secepat cepatnya. Gajah Gombak sudah berdiri disatu kaki lagi diatas tiang pengikat layar, sambil mengayunkan cambuk panjangnya, menantang siapa yang mau mandi lagi. Semua perompak lebih dari dua puluh orang mengangkat sembahnya diatas kepala, sambil mohon hidup.
Setelah perahu perompak dan perahu pengelana diikat lambungnya satu sama lain, gerombolan perompak dan Pemimpinnya yang baru selesai berenang digiring ke haluan sambil berjongkok. Mereka semua menyatakan menakluk dan minta ampun pada sang pendekar.
Pemimpin perompak mengaku namanya Lora Sapuangin, dia dan kawan kawannya sanggup menebus kesalahannya dengan mendayung perahu pengelana sampai tujuan sebagai ganti kemurahan sang pendekar memberi mereka hidup. Dua puluh empat pendayung telah siap dibagi dikedua sisi lambung, sebelumnya setiap mereka diberi makan satu ketupat dan sepotong dendeng sapi panggang, untuk menghangaatkan badan dihadiahkan sebumbung tuak untuk diminum bergantian. Segera haluan perahu diarahkan ke tenggara dengan menggandeng perahu perompak. Dalam sehari dijamin akan mendarat di Probolinggo dengan kecepatan ini, kekuatan layar dibantu dengan duapuhuh empat dayung. Perompak diampuni setelah berjanji tidak sembarangan merompak lagi, dan Lora Sapuangin mohon untuk ikut rombongan kemana saja, dengan harapan ditambah ilmunya oleh Gajah Gombak yang penakluknya yang kepandaiannya sangat dikagumunya. Gajah Gombak berfikir ada baiknya membawa dia menyertai rombongan agar memudahkan merintis jalan ke Pasirian.
Di Probolinggo, gajah Gombak sengaja membeli kerbau jantan dua ekor, disembelih dan dendengnya dibumbui dan dikeringkan untuk dibuat tambah bekal daging, kecuali itu dikuliti dengan potongan khusus dibelah dari sebelah punggung sehingga bagian dari dada kebelakang wutuh, dan bulunya dibersihkan. Kulit tidak disamak, dikeringkan dengan garam dan sejenis minyak damar akan menggumpal dan mengeras. Kulit lembu mentah dikeringkan dan sebelum kering benar dipotong memanjang menjadi pita dari selebar sejari hingga selebar tiga jari. Setelah kering benar di anjam sambung menyambung menjadi tali sepanjang tiga tombak, bagian perut menjadi tebal dan agak lentur bisa diiris menajam dari anyaman cemeti itu. Sedangkan irisan kulit bagian punggung sangan liat dan kuat. Kulit seekor kerbau jantan menjadi enam cambuk panjang, yang cocok untuk pertarungan. Memang Gajah Gombak dalam perjalanan akan mengajari pemuda pilihan dari Mada yang ikut rombongan untuk membuat cambuk panjang dan membuat senjata tempur yang handal. Kelihatannya sang Gajah Gombak membiarkan Sapuangin mengikuti semua proses pembuatan cemeti tempur ini. Ditangan seorang pendekar, cemeti semacam ini bisa menjadi senjata istimewa, dan serba guna.
Dalam perjalanan ke Sadeng, Pasirian, saban sore pereka memmbuat kemah peristahatan, dan Gajah Gombak mulai melatih tenaga dalam para pengikutnya, dan si Sapuangin ada diantaranya.
Sebenarya latihan menghimpun tenaga dalam manusia itu adalah cara untuk mgnhubungkan tenaga non fisik dengan tenaga fisik otot manusia. Tentu saja otot otot hewani kecepatannya ditentukan oleh jumlan rangsang adrenalin yang tersedia terutama otot jantung. Otot otot ini sangat berhubungan dengan tingkat metabolisme. Di alam raya ada sumber energi yang jauh lebih hebat dari energi metabolism. Otot manusia terlalu dikendalikan oleh pikiran, bila perkerjaan otot orot ini sedikit dibebebaskan dari pikiran, seperti otot kaki belalang yang menyepak, seperti otot sayap burung merpati yang terbang menentang angin, seperti sayap lebah yang bergetar sekian ratus kali sedetik, otot bersinergi dengan alam dan mengeluarkan tenaga yang bukan dari metabolism saja, melainkan sinergi dengan alam sebagai angin terhadap layar perahu . Begitu pula tenaga yang harus disalurkan lewat cemeti yang panjangnya lebih dari tiga tombak, pesilat harus mampu membebaskan pikirannya dari katerbatasan ujung cemeti, artinya ujung cemeti harus dialiri kemampuan untuk bersinergi dengan alam. Cemeti yang sudah mengandung tenaga pendekar yang memainkannya, akan kaku sebagai tombak dan sekaligus lemas sebagai tali. Latihan meditasi membantu pesilat membebaskan ujung cemeti dari pengaruh pikiran, jadi seharusnya dibawah pengaruh kesadaran, tapi bebas dalam bersinergi dengan alam. Jadi meditasi yang sifatnya bukan berkonsentrasi melainkan membebaskan dari contradiksi pikiranlah yang diupayakan.
Seminggu perjalanan darat yang tidak tergesa gesa, melewati pemberhentian dekat dengan sumber air minum biasanya hunian dengan sedikit penduduknya, melulu menyediakan keperluan orang beristirahat.
Lima hari perjalanan ini sungguh sangat berarti bagi Sapuangin, karena latihan silatnya sangat menuruti satu urutan kegiatan otot yang dinamakan jurus jurus silat. Sedangkan yang ini membebaskan otot dari pikiran. Untung Gajah Gombak meskipun masih muda tapi mewakili sosok guru yang sabar dan mengerti persoalah setiap muridnya. Dia menotok Sapungin dibeberapa tempat di belakang leher, disamping badan dibawah ketiak kanan kiri, sambil berkata inilah gerbang untuk mengalirkan tenaga dari pusar. Latinan berikutnya Sapuangin telah merasa tenaganya tersalur sampai ujung cemeti, dia rasakan itu dengan sangat kegirangan dan bersyukur.
Setelah sampai di pantai selatan Pesirian, diantara rombongan rombongan para undagi dan Barahmana yang menyertai pembutan keris, sangat mudah untuk menemukan Empu Keleng. Rombongan Mpu Keleng dari Sumenep mendirikan perkemahan dan peleburan pasir besi ditanjung yang mampak menjorok kelaut di arah barat tempat mereka bertanya.
Mereka bertemu dengan Mpu Keleng sendiri, seorang pria yang berbadan lebih besar dari rata rata, telah agak bongkok, bercambang dan berjenggot tidak teratur mentupi bagian bawah mukanya, hanya matanya yang berbinar binar melihat cucunya yang masih dikenalinya si Sapuangin, berdiri disamping pemuda gempal bersalwar dan dadanya menyelempang tali kebrahmanan, sambil telanjang dada, juga mengenakan ceripu dari daun lontar. Sapu angin segera berlutut dan meraba kaki Mpu Keleng sebagai tanda bhakti cucu kepada kakeknya, sedang Mpu Keleng dan Gajah Gombak menangkupkan sembah didada sambil mengucap “Om swasti astu” sebagai lazimnya tata cara Hindu.
Mpu Keleng membimbing tamunya ke wantilan sedehana kecil semacam gazebo mereka bersila, kebetulan ada sosok anak buah Mpu Keleng yang dipesan untuk
menjemput rombongan yang masih ada di pinggir pantai sebelah timur. Gajah Gombak membiarkan kakek dan cucunya saling berceritamelepaskan rindunya satu sama lain. Mpu Keleng berkata pada cucunya dengan maksud agar gajah Gombak ikut mendengarkan. Sapuangin sangat beruntung dapat bimbingan dari sesamanya Brahamana Gryasta dan harapannya agar pandangannya ke masa depan tidak salah, behwa Gajah Gombak akan menjadi orang besar di tanah Nusantara, bahwa Sapuangin sangat beruntung bila bertahan melayaninya dan berguru kepadanya. Lantas Gajah Gombak menceriterakan tentang robongnnya yang jauh jauh datang ke Pantai Pasirian ini yaitu untuk belajar dan menyaksikan peleburan pasir besi, terutama mencetak secara benar.
Di Probolinggo, gajah Gombak sengaja membeli kerbau jantan dua ekor, disembelih dan dendengnya dibumbui dan dikeringkan untuk dibuat tambah bekal daging, kecuali itu dikuliti dengan potongan khusus dibelah dari sebelah punggung sehingga bagian dari dada kebelakang wutuh, dan bulunya dibersihkan. Kulit tidak disamak, dikeringkan dengan garam dan sejenis minyak damar akan menggumpal dan mengeras. Kulit lembu mentah dikeringkan dan sebelum kering benar dipotong memanjang menjadi pita dari selebar sejari hingga selebar tiga jari. Setelah kering benar di anjam sambung menyambung menjadi tali sepanjang tiga tombak, bagian perut menjadi tebal dan agak lentur bisa diiris menajam dari anyaman cemeti itu. Sedangkan irisan kulit bagian punggung sangan liat dan kuat. Kulit seekor kerbau jantan menjadi enam cambuk panjang, yang cocok untuk pertarungan. Memang Gajah Gombak dalam perjalanan akan mengajari pemuda pilihan dari Mada yang ikut rombongan untuk membuat cambuk panjang dan membuat senjata tempur yang handal. Kelihatannya sang Gajah Gombak membiarkan Sapuangin mengikuti semua proses pembuatan cemeti tempur ini. Ditangan seorang pendekar, cemeti semacam ini bisa menjadi senjata istimewa, dan serba guna.
Dalam perjalanan ke Sadeng, Pasirian, saban sore pereka memmbuat kemah peristahatan, dan Gajah Gombak mulai melatih tenaga dalam para pengikutnya, dan si Sapuangin ada diantaranya.
Sebenarya latihan menghimpun tenaga dalam manusia itu adalah cara untuk mgnhubungkan tenaga non fisik dengan tenaga fisik otot manusia. Tentu saja otot otot hewani kecepatannya ditentukan oleh jumlan rangsang adrenalin yang tersedia terutama otot jantung. Otot otot ini sangat berhubungan dengan tingkat metabolisme. Di alam raya ada sumber energi yang jauh lebih hebat dari energi metabolism. Otot manusia terlalu dikendalikan oleh pikiran, bila perkerjaan otot orot ini sedikit dibebebaskan dari pikiran, seperti otot kaki belalang yang menyepak, seperti otot sayap burung merpati yang terbang menentang angin, seperti sayap lebah yang bergetar sekian ratus kali sedetik, otot bersinergi dengan alam dan mengeluarkan tenaga yang bukan dari metabolism saja, melainkan sinergi dengan alam sebagai angin terhadap layar perahu . Begitu pula tenaga yang harus disalurkan lewat cemeti yang panjangnya lebih dari tiga tombak, pesilat harus mampu membebaskan pikirannya dari katerbatasan ujung cemeti, artinya ujung cemeti harus dialiri kemampuan untuk bersinergi dengan alam. Cemeti yang sudah mengandung tenaga pendekar yang memainkannya, akan kaku sebagai tombak dan sekaligus lemas sebagai tali. Latihan meditasi membantu pesilat membebaskan ujung cemeti dari pengaruh pikiran, jadi seharusnya dibawah pengaruh kesadaran, tapi bebas dalam bersinergi dengan alam. Jadi meditasi yang sifatnya bukan berkonsentrasi melainkan membebaskan dari contradiksi pikiranlah yang diupayakan.
Seminggu perjalanan darat yang tidak tergesa gesa, melewati pemberhentian dekat dengan sumber air minum biasanya hunian dengan sedikit penduduknya, melulu menyediakan keperluan orang beristirahat.
Lima hari perjalanan ini sungguh sangat berarti bagi Sapuangin, karena latihan silatnya sangat menuruti satu urutan kegiatan otot yang dinamakan jurus jurus silat. Sedangkan yang ini membebaskan otot dari pikiran. Untung Gajah Gombak meskipun masih muda tapi mewakili sosok guru yang sabar dan mengerti persoalah setiap muridnya. Dia menotok Sapungin dibeberapa tempat di belakang leher, disamping badan dibawah ketiak kanan kiri, sambil berkata inilah gerbang untuk mengalirkan tenaga dari pusar. Latinan berikutnya Sapuangin telah merasa tenaganya tersalur sampai ujung cemeti, dia rasakan itu dengan sangat kegirangan dan bersyukur.
Setelah sampai di pantai selatan Pesirian, diantara rombongan rombongan para undagi dan Barahmana yang menyertai pembutan keris, sangat mudah untuk menemukan Empu Keleng. Rombongan Mpu Keleng dari Sumenep mendirikan perkemahan dan peleburan pasir besi ditanjung yang mampak menjorok kelaut di arah barat tempat mereka bertanya.
Mereka bertemu dengan Mpu Keleng sendiri, seorang pria yang berbadan lebih besar dari rata rata, telah agak bongkok, bercambang dan berjenggot tidak teratur mentupi bagian bawah mukanya, hanya matanya yang berbinar binar melihat cucunya yang masih dikenalinya si Sapuangin, berdiri disamping pemuda gempal bersalwar dan dadanya menyelempang tali kebrahmanan, sambil telanjang dada, juga mengenakan ceripu dari daun lontar. Sapu angin segera berlutut dan meraba kaki Mpu Keleng sebagai tanda bhakti cucu kepada kakeknya, sedang Mpu Keleng dan Gajah Gombak menangkupkan sembah didada sambil mengucap “Om swasti astu” sebagai lazimnya tata cara Hindu.
Mpu Keleng membimbing tamunya ke wantilan sedehana kecil semacam gazebo mereka bersila, kebetulan ada sosok anak buah Mpu Keleng yang dipesan untuk
menjemput rombongan yang masih ada di pinggir pantai sebelah timur. Gajah Gombak membiarkan kakek dan cucunya saling berceritamelepaskan rindunya satu sama lain. Mpu Keleng berkata pada cucunya dengan maksud agar gajah Gombak ikut mendengarkan. Sapuangin sangat beruntung dapat bimbingan dari sesamanya Brahamana Gryasta dan harapannya agar pandangannya ke masa depan tidak salah, behwa Gajah Gombak akan menjadi orang besar di tanah Nusantara, bahwa Sapuangin sangat beruntung bila bertahan melayaninya dan berguru kepadanya. Lantas Gajah Gombak menceriterakan tentang robongnnya yang jauh jauh datang ke Pantai Pasirian ini yaitu untuk belajar dan menyaksikan peleburan pasir besi, terutama mencetak secara benar.
Kartarajasa Jayawardana (1294 -1309)
Raja Majapahit Pertama – Raden Wijaya
Satu bayi laki laki dilahirkan sebagai cicit dari seorang putri yang luar biasa, Ken Dedes putri Brahmana yang diperistri oleh dua raja berturut turut, Akuwu Tumapel dan pendiri kerajaan Singhasari.
Ken Arok yang kemudian menjadi raja Singhasari pertama bergelar Sri Ranggah Rajasa sang Hamurwabhumi.
Hasil perkawinan keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung Akuwu Tumapel, pemuda Anusapati membalas dendam membunuh sang Raja Ranggah Rajasa alias Ken Arok, mengambil haknya sebagai Raja, kemudian dibunuh oleh saudaranya sendiri daei lain bapa , Rangga Tohjaya.
Saling balas membalas kematian berakhir karena rangga Tohjaya mati muda, kemudian pada keturunan ketiga dari Ken Dedes saling berdamai, membuahkan Raja Singhasari terakhir Krtanegara.
Pangeran Wijaya atau Raden Widjaya adalah rumpun keturunan Putri Ken Dedes juga, diambil menantu oleh Raja Krtanegara Raja Singhasari, yang tak lama kemudian mati terbunuh oleh serangan kilat Raja Kadiri Jayakatwang.
Raden Wijaya dengan istrinya dan adik adik iparnya melarikan diri dan dikejar kejar berbulan bulan. Karena di Tuban pun yang kerabatnya juga tidak aman menurut berita dari Tuban Adipati Rangalawe, diberi petunjuk untuk berlindung ke pulau Madura dibawah naungan Raja muda wilayah Madura : sang Aria Wiraraja.
Aria Wirararaja:
Sebagai seorang Penguasa Wilayah pinggiran Singhasari yang sudah berumur dan bijaksana menyadari posisinya sebagai penguasa wilayah yang tidak penting dibawah kerajaan Singhasari. Bawahan dan sahabat Prabu Krtanegara, juga akrab juga dengan raja raja Kadiri baik turunan langsung Mahaprabu Erlangga, maupun yang bukan seperti Sang Jayakatwang yang telah menjatuhkan Singhasari.
dan Prabu Kartanegara terbunuh saat penyerbuan kilat istana Singhasari.
Konon telah tersebar luas bahwa sang Jayakatwang menguasai banyak ilmu gaib, akhli menyilangkan kuda kuda, dengan saksama membangun tentara berkuda yang sangat kuat, setiap prajurit berkuda diwajibkan untuk menyatu dengan kuda kudanya yang merupakan pemberian pinjam dari sang Raja. Prabhu Nata Jayakatwang tahu persis prajurit dari Pakuwon mana dan mendapat “gaduhan” kuda dari keturunan kuda pilihan yang mana,
Ratusaan kuda milik kerajaan mempunyai ginealogi yang jelas dan dipelihara oleh pemuda pemuda pilihan yang di uji bertingkat tingkat kemudian dan dididik dengan saksama, sampai prajurit prajurit ini memilih mati bersama kudanya dalam perang maupun dalam damai.
Tanah sawah gogolan dihadiahkan kepada setiap prajurit berkuda, Seorang tamtama pasukan berkuda melakukan latihan perang perangan setiap seminggu di pakuwonya, setiap bulan sekali diadakan lomba kepantasan kuda kuda anak buahnya yang tigapuluh orang, setiap kuda perang betina yang nenunjukkan tanda tanda telurnya masak/birahi, harus dilaporkan segera kepada Tamtama atasannya dengan isyarat yang dikirim dengan burung merpati, kelalaian perajurit penggaduh sering harus dibayar dengan nyawa.
Pejantan ditentukan oleh Petugas Brahmana gryasta di kabupaten. Setiap kuda perang betina yang bunting harus masuk istal di Pakuwon Tamtama pemimpin, lengkap dengan catatan ginealoginya.
Enam tahun tahun Jayakatwang berkuasa sudah berani menentang Singhasari dalam hal keagamaan, misalnya Kerajaan Kadiri mendukung prosesi pemujaan di candi kaum Waisnawa secara menyolok dimana candi itu terletak diwilayah Singhasari.
Candi kasyaiwan di wilayah Singhasari terlantar karena Sang Prabhu Nata Krtenegara adalah Pendeta Kepala aliran Tantra, kaum Bhairawa, yang sering berperilaku menjijikkan.
Apapun rencana menghukum pendeta dan pengikutnya yang berani menerima dukungan secara menyolok dari Raja jayakatwang, selalu mentah karena ketahuan sejak semula dan selalu dihindari atau ditangkal.
Pengiriman pasukan penghukum yang di pimpin oleh tamtama dan prajurit pilihan Singhasari untuk menangkap komunitas waisnawa yang masih dalam wilayah Singhasari saat itu pindah ke daerah terpencil, selalu digagalkan dengan aneh, satu saat diserang habis habisan oleh lebah hutan di lembah berbatu batu dekat Wlingi sehinga harus berlarian serabutan tanpa bisa berkumpul kembali dan melanjutkan formasi penyerangan. Apakah ini ilmu gaib dari Prabu Jayakatwang begitulah dalam hati sebagian besar prajurit Singhasari.
Banyak Brahmana Kasyaiwan, Brahmana Waisnawa dan pendeta Kasogatan tidak menyukai perilaku sang Krtanegara, terutama dukungannya yang menyolok kepada kaum Bhairawa dengan cara hidup yang nyleneh, memuaskan semua hawa nafsu, duniawi untuk mencapai kesempurnaan mokswa.
Heran bagaimana Rakryan Tua dari Madura ini Baginda Wiraraja dapat mengikat persahabatan dengan Kedaton Kertanegara sekaligus dengan tokoh misterius Prabu Jayakatwang, tidak sulit dijelaskan.
Yang jelas setiap tahun, waktu Penghadapan Agung, Arya Wiraraja selalu membawa hadiah berpeti peti guci berisi arak obat yang konon aphrodisiac dan obat kuat yang sangat ampuh dan hanya sang Arya dari Madura ini yang tahu cara membuat ramuan rahasia ini, peti peti ini diterima baik dengan sorak sorai hadirin dipenghadapan agung di Singhasasi naupun di Kadiri.
Pelarian raden Wijaya yang sangat kritis keadaannya berbulan bulan, hanya bisa berhasil diwilayah yang “ilmu gaib” Paduka Jayakatwang lemah, ilmu gaib ini adalah jaringan telik sandi dengan merpati merpati terlatih dan gandek gandek ( kurir) berkuda ternyata melemah di wilayah Trung, Pamotan, dan Janggala sendiri, karena wilayah ini mempunyai pusat pusat perdagangan yang kuat dengan peredaran uang sangat besar.
Pelaku perdagagan adalah saudagar dari segala macam suku dan kepercayaan, satu satunya kepercayaan bagi telik sandi adalah uang dan emas.
Diwilayah ini banyak telik sandi dan pejabat yang bisa dibeli, pengabdiannya hanya kepada uang dan emas saja.
Berkat kesebatan para saudagar dari Japan, dekat muara sungai Porong ysng merupakan pelabuhan besar dan kawasan pergudangan milik kerajaan maupun milik para sudagar. Ada alasan mengapa perkumpulan sudagar kawula Singhasari dari Japan ini bersimpati kepada Pengeran pelarian yang mereka kenal baik, menurut berita bisik bisik dari para bakul sinambi wara, bakul yang suka bergosip, rombongan melarikan diri kearah utara, makanya mereka segera mencari kontak dengan rombongan pelarian dan berusaha membimbingnya dengan kerahasiaan dan laporan tipuan yang diumpankan kepada telik sandi Kadiri.
Para kawula Singhasari yang pedagang ini secara rahasia menyediakan tempat persembunyian, perahu dan kuda kuda. Regu regu pencarian disertai dengan penunjuk jalan dan gandek gandek yang mengetahui persis letak sarang sarang merpati komunikasi untuk secara cepat mencari jalur pelarian yang aman untuk penunjuk jalan apabila bertemu dengan rombongan pelarian, informasi dari lingkungan yang masih setia kepada Singhasari, terutama bersimpati kepada sosok raden Wijaya.
Tentu saja Japan sudah dikepung dengan jaring rahasia diatur oleh Prabu Jayakatwang sendiri.
Sebaliknya dilawan dengan jaringanan informasi yang lebih setia dan mengakar melibatkan banyak orang karena dahati setiap orang di Japan maupun di Janggala mereka tau siapa Raden Wijaya, segera hubungan terentang sampai ke Tuban, Wirasabha, dan Madura.
Anehnya bantuan jaringan merpati pos bisa diperoleh dari pedagang Islam di Garowisi (Gresik) dan Ampel Denta, meliputi seluruh pantai utara, Madura, Jenggala, Singhasari, bahkan Kadiri.
Geng pedagang di Japan ini adalah kaun Waysia dan Sudra yang mendapat tempat terhormat di kalangan perdagangan Japan.
Masa remaja Raden Wijaya
Kawula Singhasari golongan ini mengenal raden Wijaya sebagai Pengeran miskin dan yatim piatu dari Watu Kosek, karena saat saat meningkat dewasa Raden Wijaya tinggal bersama dan menjadi siswa kerabatnya di perdikan Sendang, kaki bukit Watu kosek sebelah utara, tidak jauh dari Japan. Semasa pemuda Wijaya belajar ilmu ilmu yang berguna di Perdikan Sendang dari Ksatria pendeta, perjaka setengah baya yang sejak puluhan tahun telah menjalankan ikrar Brahmacarya, artinya tidak melakukan hububungan pria-wanita.
Sang Bismasadana.
Mereka, murid Ki Bismasadana ketiganya sebaya, Raden Wijaya bersama dengan dua pemuda tanggung putra wangsa Ksatrya rendahan dari Jenggala, orang tua mereka berhasil menjadi kaya oleh perdagangan, hanya kaum Ksatria yang nyleneh saja yang mau terjun ke dunia perdagangan. Pemuda tanggung anak orang kaya, Carat Seta dan Lembu Sagara, yang kemudian selalu menemani Raden Wiajaya sang pangeran miskin, meskipun membawa watak masing masing yang kadang kadang berlawanan.
Sedikit mengenai masa muda raden Wijaya hingga terpilih oleh Prabhu Krtanegara menjadi menantu kerajaan, masa muda yang mungkin bisa sedikit mengungkap juga kenapa menantu Prabhu Kertanegara ini mendapat curahan simpati dari para sudagar dari Japan disaat yang sangat genting ini.
Kumpulan saudagar Singhasari ini, di Japan merupakan patembayan campur aduk dengan pandangan yang yang praktis dan telah menyerap pengetahuan baru menyangkut pelayaran . berhitung dan kepercayaan, yang masih dipandang rendah oleh para Dwija dan Guru dari kalangan Brahmana. Mereka menjalankan perdangangan dengan jujur, selalu menepati janji, membina hubungan luas tanpa memandang Kasta dan Bangsa, pergaulan ini mebuat Ksatria rendahan dari Janggala belajar dengan cepat ilmu ilmu yang sangat berguna dari pemukim wilayah pelabuhan Japan
Banyak pemukim dari mancanegara, dari Gujarat, Cina, Parsi dan Arab, yang mempunyai petugas tetap untuk membeli dagangan dari Wilayah Timur Nusantara dan menyimpan di gudang gudang mereka menunggu armada dari Negaranya berlabuh menjemput dagangan, dan memunggah barang barang dari mancanegara atas pesanan dan sebagai dagangan biasa.
Banyak saudagar pribumi yang telah mahir menggunakan abacus untuk berhitung, menggunakan catatan angka dengan angka huruf Arab yang sangat praktis daripada angka huruf Palawa, bahkan ada yang sudah mampu belajar ilmu perbintangan untuk menentukan posisi perahu ditengah lautan, karena ada pendatang baru yang sangat royal mengajarkannya, adalah pedagang dan Penyiar agama Islam dari Yunan sebelah timur - laut negeri Parsi
Tiga pemuda tanggung murid sang Bismasadana, sebagai layaknya pemuda tanggung lainnya sangat gemar mengunjungi keramaian di pelabuhan Japan, sepanjang sungai Porong yang tanggulnya semakin lama semakin panjang dan luas sedikit demi sedikit di timbun dengan bebatuan dan tanah liat dari bukit bukit sekitarnya.
Ki Bismasadana, lain dari Guru umumnya zaman itu, hidup sederhana dari hasil tanah perdikan Sendang yang tidak berapa luas, perperilaku ramah dan suka menolong penduduk Japan yang membutuhkan, tapi hidupnya agak tertutup dari pergaulan luas.
Sangat wanti wanti kepada muridnya supaya berpakaian sederhana, rendah hati dan selalu menghormati orang lain dari kasta manapun dan bangsa manapun, dan lebih suka memberi dari meminta. Menjauhi tempat perjudian dan perkelahian. Mereka bertiga berpesiar di kota Pelabuhan Japan mengenakan seluar kain temun gedok kasar coklat tua dari rebusan kulit kayu saga, tali pengikat seluar ini dibalut dengan kain batik penutup pinggang sampai paha, batik kasar gaya Tanjung bhumi Madura, memakai destar gaya pesisiran, gaya berpakain ini masih dipakai di tanah Melayu dan pakaian adat Surabayan , kemudian kain batik penutup kolor ini dibelit dengan sabuk kulit lembu hitam dengan timang dari besi tuang.
Raden Wijaya karena memang masih pangeran, meskipun miskin, kain yang membalut tali celana selutut ini adalah bahan kain batik yang sama hanya motif lukisannya lebih halus konon dlukis di pembatikan Singhasari, mengenakan timang besi juga, hanya bercorak garuda, dikenakan tertutup sembarangan dengan batik membalut pinggang, mungkin untuk menyamarkan timang tersebut, karena motif garuda hanya boleh dipakai oleh kerabat Kerajaan.
Pada umumnya di Pelabuhan Japan yang hiruk pikuk tidak banjak orang yang peduli corak timang, apalagi timang besi, kaum Arya dan Pejabat Kerajaan punya cara yang lebih menyolok untuk mengenakan pakaian yang menunjukkan derajatnya.
Dua hamba yang selalu mnjadi pengasuh anak bangsawan ini sudah lama menikmati kemerdekaan, mengerjakan apa saja yang disukai di perdikan, bukan mengiringkan tuannya, yang lebih suka sendirian bersama rekannya.
Kedua pemuda dari Jengggala lebih suka menonton pertunjukan macam macam sedangkan raden Wijaya lebih suka mengunjung kenalannya orang Gujarat tua yang gemar bermain catur, pengelola kedai teh yang ramai, dan penginapan sederhana namun bersih, sang raden suka main catur disana dan makin lama makin mahir saja.
Sikap yang rendah hati dan bersahaja membuat orang suka bermain catur dengan Pengeran Miskin ini, mereka penggemar catur di Japan menyukai langkah langkah tak terduga sang Raden dalam permainan catur gaya dan jurus apapun, gaya pembukaan garuda nglayang yang hati hati namun cepat menukar buah catur, gaya pembukaan Benteng pendem yang sangat hati hati dan menghindari pertukaran buah catur terutama perwiranya dengan tiap pengorbanan dan jurus selalu demi memenangkan kedudukan pengepungan, gaya pembukaan emprit neba yang ruwet membuka medan tempur dimana mana, Reden Wijaya memang bermental juara dalam catur, dari tahap pembukaan, tahap pertengahan memenangkan posisi dan mobilitas perwira perwira catur sehingga tahap akhir, pada tahap akhir selalu ada saja langkah manis yang mengubah kekalahan menjadi seri, bahkan kemenangan yang gemilang, di tahap inilah dia menjadi terkenal dikalangan penggemar catur di pelabuhan Japan, dikalangan pedagang, saudagar, dan orang kaya di Japan, sering mengundang bermain catur, karena sifat Pangeran Wijaya yang tidak membeda bedakan Kasta dan asal usul bangsa, selelu rendah hati dan sopan.
Tanpa dirasa Raden Wjaya mahir berbahasa Madura, bahasa Cina, dan Urdhu, bahasanya pedagang Benggala, juga tentu saja Bahasa Sansekerta, bahasa kitab Wedha.
Tahap pelajaran menguatkan bathin dari sang Guru.
Sebenarnya bukan hanya pemuda pemuda tanggung ini yang belajar dari masyarakat perdangangan pelabuhan Japan, tapi sang Ksatria pandita Bismasadana yang tinggal di perdikan Sendang sangat dekat denga Japan, sudah sejak lama mendalami pemikiran pemikiran baru mengenai alam semesta, ilmu perbintangan, dan edaran bintang dan planet, ilmu pengobatan dari sumber selain sumber sumber formal agama Hindu dari Yajur Wedda, meditasi agama Budha, bahkan latihan pernafasan dan pengendalian pranapun beliau perbandingkan dengan apa yang dimengerti dan didalami oleh sumber sumber dari Cina, Parsi dan Jawa asli.
Ki Bismasadana adalah empu pembuat gandewa panah, yang sangat mumpuni, mencoba membuat busur atau gandewa dari lempengan baja yang pengolahannya masih merupaka rahasia para empu senjata, sangat tertarik pada panah api orang cina dan dia juga pemanah yang handal, sangat menaruh perhatian kepada upaya mengatasi para bajak laut, tanpa melatih para awak perahu dengan Ilmu imu silat yang sangat makan waktu, sebab tidak banyak pendekar handal yang mau menjadi awak perahu.
Upayanya mempelajari pembuatan bubuk obat pasang terpusat pada pembuatan sendawa, yang dibeberkan dengan panjang lebar kepada Raden Wijaya disela sela pelajaran menulis dan kemudian membaca sloka sloka epos Mahabharata yang sangat digemari.
Inilah yang sangat membekas pada pemuda tanggung Pangeran miskin ini.
Ternyata ki Bismasadana juga mumpuni dalan catur India dan catur Cina yang prinsipnya sangat berbeda, catur India dilakukan dengan melenyapkan kekuatan kekuatan lawan, catur Cina melenyapkan mobilitas lawan dengan mengusai “jalan” strategis dengan buah catur sesedikit mungkin hingga lawan tak mampu bergerak.
Ilmu Perang yang diajarkan layaknya kepada para ksatrya, secara tidak langsung dari mpu Bismasadana lewat papan catur. telah dipelajari oleh mpu Bismasadana dari kitab dan penuturan para Pengembara dari tempat tempat yang jauh, yang sengaja ditemui oleh sang Ksatria pendeta, sesuai dengan berita dari banyak sahabatnya di Garowisi, Ampel denta, Trung dan Japan, terkumpul menjadi catatan pribadi, dengan senang hati diturunkan semuanya kepada sang siswa, terutama Raden Wijaya, kemungkinan besar dari tulisan Sun Tsu.
Ilmu bela diri yang diajarkan oleh sang Ksatrya pendeta hanya jurus jurus yang umum saja, hanya ditekankan pada penguasaan simpul simpul jalan darah yang harus dieserang cara menyerangnya atau melidungi titik titik penting disekujur tubuh manusia.
Ilmu Kebathinan diperkenalkan kepada siswa adalah hal yang diluar ajaran formal Hindu dengan tiga alirannya, tapi Hindu Jawa yang mengenal “catur sanak” yang lahir bersama si jabang bayi, barang siapa yang mengenal catur sanak bersama diri pribadinya sebagai tokoh kelima, akan kajanaprya (Jawa, Bali artinya unggul ) , unggul sebagai ksatrya menjadi tempat berlindung makhluk yang teraniaya, Brahmana petapa dan orang tua, tetap pada dharma, ini bisa dicapai dengan tapa berate dan Samadhi atas bimbingan sang Guru, yang intinya upaya merambah alam diantara tidur dan jaga antara hidup dan mati yang diupayakan dengan tapa berate dan ditutup dengan hamati geni (tidak makan dan minum) selama sehari semalam, kemudian bersamadi setelah tengah malam pada akhir hamati geni, siswa tidak boleh bergejolak jiwanya sedikitpun, terkejut, bingung, takut harus dibuang jauh jauh, sesudah perasaan hilang tapi kesadaran masih ada, keadaan semacam itu harus dipertahankan selama lungkin dengan bantuan sang Guru, dengan pancaran instrukisi bathin yang sudah bisa diterima oleh siswa, maka ketenangan bisa berlanjut sampai fajar menyingsing, akan didapatkan kunci pertanda apapun, kalimat, siulan, tarikan nafas, sikap mudra telapak tangan, tulisan di udara yang kemudian dapat menjadi kunci penghubung kembali dengan catur sanaknya sesaat di ingat dalam bhatinnya. Pengenalan pertanda ini masing masing siswa berbededa beda, dan masih harus dilatih pada pelajaran pelajaran berikutnya desertai berate dan menahan hawa nafsu secara berkala, dengan pengendalian pikiran, sehingga keadaan sambung rasa dengan catur sanaknya bisa diulang, semakin banyak latihan bersama Guru atau dilakukan sendiri, semakin mahir mengadakan hubungan dengan catur sanaknya. Siswa akan lulus sesudah kira kira tiga tahun berlatih secara tetap dibawah bimbingan sang Guru. sesudah lulus, bila diperlukan delam sekejap situasi hubungan dengan catur sanak bisa dicapai dan apapun bantuan yang diminta bisa secepat cipta ada, apakah dalam menghadapi pertarungan, apakah menyingkir dari bahaya, melindungi diri dari serangan makhluk gaib, menghadapi kekuatan alam yang tidak biasa catur sanak akan menugaskan Bathara Bathari bahkan Mahadewa berkenan melaksanakan dalam sekejap, bahkan “mahawak Kalamrcu” pun mampu bila perlu, asal untuk menghadapi lawan yang setara, asal pribadi sudah menyatu dengan kehendak Jiwatman.
Hubungan dengan catur sanak akan lestari erat apabila hidup bisa menurut alur dharma. Makin menyimpang dari dharma makin sulit mendaptkan kembali rasa hubungan catur sanak, bahkan yang masuk adalah isi Alam hitam, yang datang dengan sekejap, karena pintu terbuka sudah ditinggalkan oleh penjaganya.
Maka pribadi akan jatuh ke jurang yang tanpa dasar.
Begitulah gemblengan Ki Bismasadana terhadap tiga siswanya, dua yang lain harus bersabar dan memgulang dari permulaan melakukan tapa berate awal, menghilangkan gejolak jiwa di alam antara sampai bekali kali gagal, toh akhirnya dinyatakan berhasil oleh sang Guru, meskipun bimbingan di alam itu hanya peneguhan peneguhan yang “terdengar” agar tidak terlempar kembali kealam nyata, namun belum sempat “mendapat rasa” pertemuannya dengan catur sanak, melainkan hanya sekejap mata karena jiwanya kembali bergejolak karena gembira, walaupun sang Guru sudah menyatakan memadai, dan kapanpun sang Guru akan membantu mengajari mendatangkan bantuan catur sanak masing masing dengan mantra yang pada saatnya akan diajarkan, untuk menjaga diri yang bersifat umum.
Sebagai gantinya akan diajarkan beberapa jurus ilmu silat yang bisa diandalkan untuk membela diri.
Sedangkan mengapa pangeran miskin Wijaya berhasil, karena sejak kecil sudah yatim piatu dan meskipun Ibunya adalah Putri Pangeran Singhasari tapi bapanya dalah Brahmana gryasta sah makayangan ( meningal) karena bencana topan yang menenggelamkan Perahunya di laut antara pulau kecil Masalembu dan Nusa Jawa di utara Madura, Ibundanya mangkat dua tahun sesudah ditinggal sang suami.
Kakeknya Pangeran saudara tiri sang Krtanegara sudah mangkat. Putri janda, nenek bocah ini masih mengabdi Keraton sebagai Pengatur banten dibalai pemujaan para Pitri, dengan cucundanya dicukupi keraton segala kebutuhannya.
Hanya Raden kecil ini karena urutan kedekatan dengan suksesi Raja cukup jauh, urutan ke 12 maka segala apa dalam giliran permainan maupun pelajaran dalam kelompok pengeran pangeran dan putra putri kecil krecil, Raden ini ada di giliran akhir. Anak lelaki ini sejak dini telah terpaksa belajar sabar dan rendah hati sampai batas yang nyaris tidak ada pada anak anak lumrah , melainkan pada orang dewasa.
Sejak kecil Raden Wijaya telah belajar menahan diri, tidak menunjukkan kegembiraan maupun ksusahan melainkan bersikap datar, karea dengan dmikian dia bisa menghindarkan diri dari rasa kecewa. Ini sabda sang nenekda yang belum waktunya, tapi entah kenapa kok merasuk kedalam ingatan dan kesadaran anak laki laki ini.
Begitu pula mulai dari masa anak anak, sudah diperlakukan sebagai peserta cadangan atau yang mendapat giliran paling akhir.
Disetiap pemainan panahan, anak panah dan sasaran jumlahnya selalu lebih sedikit dari peserta yang terdiri dari putra putra pangeran yang dibawa oleh orang tuannya ke Kedaton dalan suatu acara, anak anak ini pasti desertai dengan para abdinya yang sangat memperhatikan dan megusahakan dengan bersemangat agat tuan kecilnya mendapat giliran atau tempat, sedangkan Wijaya hanya dititipkan kepada emban Gusti Ratu yang lagi tak bertugas, yang sibuk bergosip ria dengan emban emban yang lain atau bercengkerma dengan juru taman.
Pada gilirannya, semua pangeran kecil dan manja sudah pada berlarian srabutan dan tidak ada yang memperhatikan bagaimana dia memanah dan bagaimana dia meregang busur, anak panah terlalu melenceng kemana, jadi dia dengan sabar memilih anak panah yang paling baik, memilih busur yang paling baik dan mencoba mebidik sasaran tanpa ada penggembira yang memperhatikan, dia mencoba menirukan pemuda pemuda bangsawan yang dilatih memanah di kasatryan.
Karena arena sudah sepi ditinggal oleh setan setan kecil dia bisa mendapatkan anak panah dengan mudah dan banyak bidikan yang tepat tanpa ada yang memperhatikan, ini selalu terjadi. Keadaan inilah yang melatih Wijaya untuk tidak telalu berharap pujian, tidak meledak gembira, gampang mengubah alur perhatian ke hal hal lain yang konstruktip bila gagal, menjadi kebiasaan bersikap datar.
Bisa dimengerti bahwa kebiasaan yang dihimpun sejak masa bocah, untuk tidak mengumbar emosi, sangat membantu saat bermeditasi sesudah hamati geni ( tidal makan dan minum selama sehari semalam)
Merembes ke alam liyep yang gawat karena kesadaran harus lengkap tapi tidak terpengaguh oleh sensasi apapun, terkejut, khawatir, refleks gerak seperti berubah irama nafas dan detak jantung harus tidak bergeming terombang ambing, sesudah sang Guru berhasil membimbing siswa melewati alam liyep, diambang alam sunya ruri, dimana rasa menyatu atau bertemu dengan catur sanak yang sensasinya mendadak gembira, mesra, seperti kerinduan yang terobati campur aduk, inilah satu kejapan saat yang berbahaya, siswa samasekali harus ta’zim, berserah diri dam meberikan puja panyambarama kepada catur sanak , sebab bagitu terbawa oleh emosi, begitu semua lenyap, meditasinya buyar. Sebaliknya siswa yang berhasil masuk dalam alam sunya ruri dengan selamat akan mendapat satu kunci sandi yang “berwujud” macam macam, bisa derwujud ucap mantra, bahkan swara saja, misalnya pemandangan wujud yang indah, bisa melihat dirinya menguncupkan sembah dengan sikap mudra tertentu, bisa mendengarkan sepotong irama, sepotong tulisan yang terbaca oleh sang siswa, yang itu semua nanti bisa diulang dalam bathin, disaat diperlukan, untuk menyambung kembali hubungan dengan catur sanak yang menjadi sarana bantuan kepada ksatrya guna menjalankan dharmanya.
Sang Bismasadana selau menutup wawancara mengenai Dharma dengan kalimat Sang Karna Kuntiputra dalam bahasa Jawa saat itu:
“Tan hana Dharma mangrua” yang terucap oleh sang Karna disaat yang sangat genting, sang Karna harus memlilih kebenaran antara dua, berpihak kepada Pandawa sebagai yang dimohon Ibundanya yang selam ini dirindukannya, Dewi Kunti, karena sebenarnya Pandawa adalah para sudara saudara kandungnya, sedangkan para Kurawa yang telah melimpahkan budhi kepada sang Karna yang baginya besarnya tak ternilai, yaitu meneguhkan dirinya sebagai Ksatrya – saat kabsahan derajad dirinya dipertanyakan dihadapan umum. Ibunda Kunti mendatanginya saat kedua wangsa yang masih sepupu ini sudah bersiap akan saling membunuh di medan perang besar dimana sang Karna merasa wajib membalas budhi walau sampai gugur dimedan laga - arti jawaban sang Karna kepada ibundanya adalah “tidak ada kebenaran yang mendua”, kemudian diabadikan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma.
Selanjutnya, kepada siswa yang telah melewati tahap pelajaran ilmu Kebhatinan Hindu Jawa setingkat ini, dua hal yang di tekankan oleh Sang Guru, kesatu adalah mengulang kembali menyambungkan hubungan dengan catur sanak hingga bisa dilaksanakan sekejap mata, kedua pelajaran Dharma yang artinya disingkat dengan “kebenaran”
Pelajaran Darma bukan saja bersifat “scholastic” mebaca dan membahas kitab kitab yang terkenal misalnya Mahabharata dan Ramayana, Danghyang Kamahayanikan, Upanishat Wedanta dsb, tapi juga melakukan raja yoga, untuk memperteguh pengendalian nafsu.
Masa berguru kepada sang Bismasadana tujuh tahun tanpa dirasa, diantara latihan tapa berate dan ceramah mengenai ilmu ilmu yang lain, Pemuda Wijaya angat tertarik kepada pembuatan perahu perahu besar, Sang Raden banyak berkenalan dengan para undagi mpu Pandega galangan perahu, membahas gambar rancangan lunas dan lambung perahu dan penyambungan setiap bagian bagiannya, pembuatan dempul yang unik- dari bubuk kapur dan minyak jarak begitu sedikit minyak jarak dibandingkan dengan bubuk kapur yang dicampurkan nyaris tak masuk akal, toh ahkirnya menjadi satu gumpal dempul yang kuat menahan gempuran ombak disela sela papan papan lambung perahu dan geladak, betapa celakanya bila pada saat gempuran ombak dempul ini mrotholi, lepas dari celah celah papan lambung atau haluan perahu, pasti perahu akan tenggelam. Dipelajari juga pemakaian damar dari Sokadana (Kalimantan), yang meskipun lebih sederhana tapi mudah pecah, hanya untuk papan papan perahu kecil saja yang melayari sungai, lain halnya dngan aspal dan pelangkin dari pulau Buton, sangat tahan air dan lemas, berguna untuk membuat anyaman bambu kedap air. Pemilihan kayu kayu yang cocok untuk digunakan ada kayu yang khusus untuk pasak lunas dan gading, ada kayu yang khusus unuk pasak pasak papan lambung, ukuran ketebalan papan yang tidak sama disemua tempat dan kegunaannya dan sebagainya. Raden Wijaya mahir menggunakan alat pertukangan kayu untuk bangunan perahu.
Raden Wiaya muda juga hafal membuat dan melepaskan banyak macam simpul tali temali layar dan kegunaanya dan tidak canggung memanjat tiang agung untuk bertengger di papan peninyauan saat mendekati pantai yang bergosong karang dan saat bertempur. Kemahiran yang kemudian hari sngat berguna.*)
0 comments:
Posting Komentar