Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Minggu, 18 Agustus 2013

TUKANG SEBAGAI PROFESI


Sebagian besar dari penduduk biasa, harus kita akui sebenarnya adalah tukang. Tapi kata Tukang selalu melekat pada salah satu profesi saja ialah tukang bangunan. Sebenarnya setiap cabang pelayanan kehidupan anggauta masyarakat ada tukangnya sendiri. Dan setiap cabang “pertukangan” yang secara khusus melayani masyarakat, dan disitu ada pertukaran antara “jasa tukang” dan “beaya pelayanan”. 

Masyarakat yang baik memberikan perhatian kepada “ keadilan” transaksional dan sangat banyak ini nyaris diabadikan semacam ikatan adat. Yang masyarakat tidak bisa selalu mengerti terlebih dahulu sebelum transaksi adalah “ kualita” hasil yang diharapkan dari transaksi yang sangat banyak ragamnya itu. 
Menurut sasarannya ada beberapa pembagian besar yaitu yang pertama menyangkut tubuh pribadi anggauta masyarakat itu, dan yang kedua menyangkut assesories anggauta masyarakat, yang ketiga mengenai   kualitas papan  dan transportasi setiap indvidu dan keluarga.

Tukang yang menjual jasa untuk  well being dari seluruh tubuh anggauta masyarakat seperti tukang cukur rambut pria dan wanita, tukang pijat, beauticient/ahli kecantikan. 
Bukan saja kurang pekerjaan atau terlalu usil, sebenarnya “pelajaran” mengenaI cukur-mencukur ini tidak ada, apalagi yang dilembagakan, yang ada adalah kampong asal usul tukang cukur (pria) pasti dari satu kampong, entah di Jawa Barat entah di Madura, untuk new comers dibina sendiri sendiri oleh para seniornya. 

Mengenai pembinaan hygenis ya jangan harap bisa ada dari cara ini, juga common respect kepada kepala orang. Dulu di jaman penjajahaan ada Coiffeur dari orang Phillipinas yang melayani tuan-tuan orang Europa, yang karena lebih wah saja tapi toh kiatnya si Coiffeur kita tidak tahu.
Kursus Salon kecantian mengajari seluk-beluk keindahah rambut dan memotongnya juga, jadi bisa diharapkan kualitas dari kerjanya.

Tukang Pijat, ini sudah mulai harus waspada menghadapi mereka.
Petunjuk nomer satu sepengalaman saya setua ini (umur 75 tahun), sederhana saja, jangan membiasakan diri untuk memakai jasa pijat apapun, hanya untuk menuruti badan. Badan yang terpelihara menurut azas kesehatan ilmu kedokteran secara konsekuen tidak membutuhkan pijat tapi istirahat.

Kalaupun sudah kadung demen pijat, ya jangan suka mendengarkan recomendasi orang lain, sebab selera orang sangat berbeda beda. Hanya durasi “pengerjaan” setiap langganan antara sengah jam sampai satu jam ini rupanya sudah standard.
Konon untuk kebutuhan olah ragawan ada pelajaran untuk jadi Masseur mereka yang pelajarannya.
Diberi dasar ilmu kedokteran¸ tiap cabang olah raga butuh treatment pijat pada otot tertentu saja.
Jadi di jalur ini pijat sudah mempunyai standart kualitas.
   
Beautician/ Ahli Kecantian, bidang ini variasi  bisa digambarkan sebagai sky is the limit. Apa saja dikerjakan oleh siapa saja. Yang semua ngakunya akhli. Standard kualitas ada ya Doter Ahli Kecantikan, ya Dokter Bedah Kecantikan, konon jasanya harus dibayar selangit, makanya banyak fihak yang nebeng popularitasnya dan memberikan tarif yang miring, toh mereka bukan dokter yang sekolahnya konon baru masuk saja harus bayar 250 juta rupiah. Dasar Kapitalistik.
   Mengenai Kesehatan Badan, Bidang ini malah sudah ada Kementerian yang khusus mengurusi perkara ini. Monopoli dari Ilmu kedokteran yang sudah sangat standard, bahkan sudah ada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mengatur keamanan transaksi jasa kedokteran dan kualitasnya. Ada hukum yang menyangkut kualitas perlakuan terhadap keluhan. Alam Kapitalisme yang kita  terjuni sekarang, dengan cepat telah merambah sektor kehidupan yang ini.
Semua sektor penjualan berusaha menjual dagangannya dengan premium price. Apapun ditawarkan untuk menggaet uang anda, tidak ada pertimbangan yang lebih penting dari ini. Bahkan ada istri Dokter yang menawarkan products dari food additives yang harganya termasuk tinggi, dari Perusahaan “level markettnig”kepada pasien sang suami, ikut nebeng resep sang suami barangkali. Sampai segitunya watak kapitalistik  masuk dalam bidang kesehatan.
Sebaiknya sebagai “pembeli jasa” menghadapi alam kapitalistik seperti ini tidak lagi perlu sungkan-sungkan, ketahui yang jelas tentang jasa apa yang anda butuhkan, informasi di internet banyak, dan beayanya berapa. Cari pendapat lain/ second opinion dari Dokter lain dari  rumah sakit  lain, jangan takut mati, karena hal ini bidangnya Allah, yang kepada kita masih maha Pemurah dan maha Pengasih, resakan derita sakit anda dengan gagah berani, jangan cengeng.   
Dan pilih treatment apa  dengan tegas menurut kemampuan anda, semoga Allah menyertai anda. 
Seandainya anda uisa sudah 75 tahun, rekaman jantung anda di ECG ada tidak begitu normal, anda berkonsultasi kepada Dokter ahli jantung dirumah sakit yang baru gres, dokternya sangat muda dan
cantik,anda dianjurkan merekam jantung anda dengan alat lain yang onkosnya 800 ribu rupiah, pertanyaannya rekaman dengan alat lain dengan ongkos segitu itu untuk kepeluan apa ?

Bisa merubah pemakaian obat jantung khusus bagi anda ? Ketidak normalan rekaman jantung anda ini
apa mengancam hidup anda yang tidak ada artinya ? Anda masih hidup berterima kasihlah pada Allah Subhana Hu Wa Ta'Alaa.
Sebab menurut azas kapitalisme alat yang dibeli oleh rumah sakit gres dengan harga yang aduhai
Itu harus digunakan supaya beaya pembeliannya cepat kembali.

Sekarang kita hidup menyelami alam alam kapitalisme, rumah anda sudah banyak bocor, pintu kamar
mandi engselnya jebol, waktunya memakai jasa tukang bangunan. Dulu sewaktu muda no problem,
badan masih kuat, uang ada, rumah BTN masih agak baru tidak banyak keluhan semua bisa diatasi.
Tarif minimum untuk tukang batu Rp 75 ribu hingga Rp 85 ribu per hari dan harus ada pembantu tukang
aduk semen Rp 35 ribu hingga Rp 45 ribu per hari. Persoalannya kualitas kerja apa yang anda dapat ?
Belum penguluran waktu kerja yang kadang sangat menyolok apalagi bila mereka mengerjakan atap
rumah atau plavon rumah. Siapakah yang berhak menyandang kualifikasi “tukang” batu, tukang kayu,
tukang atap dan plavon ? Dan mendapat tariff kerja RPp 75 ribu hingga Rp 85 ribu per hari ?   Kita mempunyai Departemen Pekerjaan Umum, mempunyai Direktorat Pajak, mempunyai Kementrian Perburuhan, lantas yang menyeimbangkan transaksi jasa tukang bangunan mengenai kualitas “jasa” nya dengan kualitas hasik kerjanya yang tak karuan asal pengetahuannya itu siapa  ?
Saya cenderung sangat menghormati pembangunan masjid-masjid yang danananya menjaring di sepanjang jalan umum, karena bangunan masjid merupakan sarana praktek para calon tukang bangunan paling tidak mencoba-coba kekuatan cor beton betulang, sebab bila gagal dan runtuh toh dana masih tetap bisa dijaring tidak ada yang menderita kerugian. Saya menyumbang dengan ikhlas, dengan pengertian disamping amal jariyah, hitung-hitung menyediakan sarana praktek tukang batu dan cor beton, untuk praktek menambah pengetahuannya, meski bayarannya Lillahi Ta’Alaa, hasilnya akan nampak masjid-masjid makin indah saja dan cor-corannya makin rapi dan tipis nyaris menggantung di udara. Selain itu Tidak ada satu lembagapun yang ngurusi perkara jasa tukang bangunan itu, boro-boro kekuatannya misalnya menghadapi gempa.
Saya perhatikan pembangunan di Kota Kecamagtan Serririt sebelah timur Singaraja, Bali, yang t  puluhan tahun yang lalu menderita akibat gempa hebat, satu kota kecamatan itu nyaris rata dengan tanah, karena tempat itu tepat diatas sesar derakan lapisan dalam tanah, kok sekarang dibangun bangunan bertingkat oleh  tukang- tukang ini. Saya perhatikan di pasaran bahan bangunan, sekarang ini hampir semua toko bangunan menyediakan besi beton yang kurang dari standard baik dari bahannya maupun ukurannya.
Lantas mulai ada pertanyaan, kita ini hidup dimana ?  Lembaga Pendidikan Teknik sipil banyak, mengadakan progam D2 , D3, D4, S1, S2, S3, Profesornya banyak ada professor local, ada professor tanpa akreditasi, ada professor pengangkatan Presiden, ada Professor Rudi Arbihandini, lho kok mendidik tukang, artinya memberi tahu common sense dari bangunan hunian untuk beberapa minggu saja kok nggak mampu, jangankan mengkursus tukang bangunan, berfikir kesana saja tidak.(*)

 

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More