Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

13. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 12)

 ARIA WIRARAJA DARI PAMEKASAN

Aria tua ini sangat bijaksana,  setelah sekian lama, hampir tiga tahun kurang tiga bulan sang Jayakatwang dengan segenap pasukan telik sandi yang hebat tidak bisa diragukan kerjanya, gagal menemukan Pembongan kecil Pelarian dari Singhasari. Malah dia sanggup menampung mereka, dia mempertaruhkan namanya dan nyawanya tanpa diminta oleh Bupati Tuban,  bahkan diyakininya Bupati Tuban tidak tahu bahwa sekarang Pelarian pelarian yang sangat dicari cari oleh sang Jayakartwang itu  sudah ada di hadapannya.
Bupati Tuban hanya mengenal kekuatan telik sandi  sang Jayakatwang  sedangkan Arya  Wiraraja dapat memeprhitungkan betapa jaringan yang membela Raden Wijaya  berbulan dalam pengejaran dan penyisiran pasukan berkuda yang berubah jadi pasukan penarik  pajak paksa  dari rakyat itu. Tentu mereka dibantu secara sepenuhnya oleh kelompok yang hebat, dapat mengejek dan mengelabuhi telik sandi orang yang secerdik dan sekaya Prabhu Jayakatwang kini.
 Aria tua ini sangat kepingin tahu pejuang yang gigih  demi mempertahankan  nyawa ini,  orang yang dapat mengalahkan Prabhu Kartanegara di papan catur adalah orang yang istimewa. Tambah dengan kecerdasan orang yang telah mengelabuli sekian banyak telik  sandi, yang mencari kabar kebeeradaan putra putri Prabhu Kertanegara, yang mudah ditandai , karena wajahnya gaya omongnya pasti lain dari rakyat biasa,  hadiah bagi mereka yang dapat menunjukkan  dimana mereka bersembunyi selama ini, sudah cukup jaminan bahwa kepergiannya ke Pamekasan pasti juga tidak ada yang tahu. Pagi pagi dia menerima rombongan di wantilan dalam istana Pamekasan, Raden Wijaya dan para pengikutnya, putra  putri Kerajaan Singhasari. Beliau merasa heran bahwa putra putri raja ini ternyata nampak segar dan sehat, malah agak kecoklatan kena sinar matahari yang  banyak. Dia juga kagum bagaimana bisa mareka diantar oleh perahu Nyi Sekar Dhadu saudagar putri setengah baya,  kaya raya dan   angker,  tidak sembarangan, semua prilakunya itu telah diperhitungkan  dengan cermat dan diperhatikan..  Aria tua ini kenal baik dengan Ki Bhismasadhana,  demi kepercayaan dirinya  akan kcerdasannya   dan membantu sahabatnya itu dia sanggup menampung rombongan Pelarian ini. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Juragan perahu yang mengantarkan rombongan sampai di Pamekasan, dia segera menyilahkan rombongan menempati kamar kamar dibelakang Kadipaten, yang merupakan keputren dan kasatrian.  Hanya Raden Wijaya dan istrinya diberi tempat di pavilion disebelah kanan delem  kadipaten. Setelah berbenah diri menanti siang diundang makan di dalem ageng oleh sang Wiraraja. Mereka berterima kasih, menyembah dan segera mudur dari penghadapan yang  singkat ini. Siang hari mereka sudah bersalin dengan pakaian cara Kadipaten Madura,  untuk putri nampak tidak ada bedanya, hanya dandanan gelung rambut agak lain, untuk para ksatria berdandan cara ksatria Madura, banyak bedanya, selain memakai rompi pendek tidak berkancing,  mereka memakai kampuh dan lancingan selutut berwarna hitam, dan memakai destar cara Madura.
Raden Wijaya beserta istrinya  satu tempat menghadap meja rendah ditemani Aria tua denga kedua istrinya, mereka saling menyilahkan dengan sopan, dan baru sekali ini selama  pelarian berbulan bulan mereka diperlakukan sebagai putri raja. Raden Wijaya menyertai setiap gelas la’ang tua dengan sang Aria penggemar la’ang tua yang diramunya sendiri, terkanal diseluruh Janggala Kadiri dan Singhasari.  Raden Wijaya terus terang menyatakan kekagumannya kepada Jayakatwang, kerena malam penyerbuan tiba tiba di Singhasari,  yang tidak diketahui seorangpun,  rombongan pelarian malah  melewati rintisan ditengah hutan itu, yang memudahkan pelariannya sampai pagi ke Gunung Baung, tidak bertemu seorangpun.  Raden Wijaya mengagumi persiapan yang sangat terahasia disertai dengan dongeng dan cerita penyesatan yang dapat diterima orang banyak,  dia menceritakan bahwa tidak hanya satu rintisan tapi beberapa rintisan. Raden Wijaya bisa menggambarkan betapa sulit merahasiakan pembuatan  rintisan dihutan disela sela hunian orang dan perjalanan pssukan berkuda diam diam selama itu. Semua  yang diceritakan dan komentar yan diberikan oleh Raden Wijaya sebagai murid sang Bhismasadhana , didengarkan dengan cermat, disertai dengan pertanyaan tiba tiba dari sang Aria, menunjukkan pengetahuan yang luas sebagai ahli siasat tentara dan peprangan.  Raden Wijaya, tanpa sedikitpun rasa kebencian, malah memuji sang jayakatwang yang mengejar ngejar dia setara dengan Sun Tse seorang pengarang strategi China.  Semua dengan cermat didengarkan oleh sang Wiraraja. 
Secara diam diam Arya tua ini bekorespondensi dengan Sang Mahapraghu Jayakatwang, dia memang sorang diplomat kawakan yang ahli nerangkai kalimat. Dia scara halus sekali mengagumi semua tindak tanduk sang penakluk, yang sangat cermat dan teliti.  Menyinggung sedikit mengenai bakat pribadi dan bukan yang diperoleh dari leluhur sang Jayakatwang yang titisan Bhatara Shiwa.

Tentu saja surat  ini  sangat dihargai oleh sang  Penakluk yang lagi kesusahan karena pasukan kuda yang jadi andalannya musnah oleh penyakit, yang akan makan waktu sangat lama untuk memulihkannya.  Dan dalam surat balasannya, sang Jayakatwang mengeluh mengenai pemyakit kuda kudanya yang  sangat mengkhwatirkan beliau. Beliau sang Raja, malah kepingin sekali minm arak bersama dengan sang Wiraraja.

Pucuk dicinta ulam tiba, kebetulan di bhumi Tarik ditepian Sungai Brantas,  sang Aria punya Istana atau rumah peristirahatan kecil yang terpelihara baik karena beliau adalah pengunjung tetap Istana Istana di Jawa,  bahwa rumah di tepian sungai Brantas ini sering jadi  tempat menginap kaum bangsawan yang sering bersama sama berburu rusa. Karena ada hutan hutan yang banyak buruannya di  sana. Hal ini diceriterakan pada salah satu surat kepada Mahapranhu Jayakatwang.  Jawab sang Mahabprabhu malah memutuskan   bahwa beliau berkenan untuk melemaskan otot dan tulang tulang dengan berburu rusa bersama Aria Wiraraja di bumi Tarik,  awal musim  hujan tahun depan.  Selama akhir msim hujan tahun ini Raden Wijaya sangat sibuk belajar membuat  dan meneliti perahu Madura, malah Raden tukang kayu ini menemukan bahwa kelebihan perahu gaya  Madura adalah mudah dikemudikan, artinya mudah berubah haluan, dengan  lingkaran putaran yang  kecil saja,  karena lunasnya dibuat melengkung seperti sabut kelapa. Lantas lengkungan itu dia ukur dengan perbandingan panjang perahu dan berat muatannya.  Dengan sungguh sungguh beliau bicarakan dengan para pandega pembuat perahu di pantai  Pamekasan, sambil beliau bekerja menjadi tukang kayu bersama sama mereka. Dalam setengah tahun dia tidak merasa sama sekali bahwa dia itu orang pelarian, pekerjaannya seharian sampai sandyakala hanya menukang kayu membuat perahu, dan membaca gambar rancangan perahu yang digambar diatas kulit kambing, ditentukan berat perahu, besarnya lengkung lnnas, sambungan sambungan-nya, gading dan papan, letak tiang pendek,  cerocok  tambahan untuk layar depan, menjahit layar dan memilih bahan untuk layar, membuat tali temali, semua dia pelajari dan dia gambar di kulit kambing, dan model kecil, semuala dari tanah liat, kemdian dari kayu. Semua perubahan lunas maupun badan perahu dia rundingkan dengan para pandega yang sudah jadi seperti saudaranya, karena dengan cepat  dia pandai berbahasa Madura, halus maupun kasar. Dalam  setengah tahun sampai akhir musim hujan dan separo musim panas Raden Wijaya telah diakui oleh para pendega dapat depercaya memimpim membuat perahu Madura. Selama satu tahun Raden Wijaya dengan tekun  belajar membuat perahu  Madura.  Telapak tangannya jadi berkulit keras,  badannya jadi berkulit gelap kecoklatan, baliau memelihara kumis tebal, dan selalu mengenakan destar cara Madura. Raden wijaya menjadi psndega pembangunan perahu tidak tanggung tanggung,.  Beliau meneliti pembuatan kain layar.  Kapas dari sekitar  Tuban, sekitar Trung di Tandes, masih kurang baik untuk dijadikan benang yang kuat karena seratnya kurang panjang.  Dia membadingkan layar dari China yang sangat mahal terbuat dari sutera, bertulang bambo seratnya dari pantat  ulat sutera jang tipis ulet dan panjang, makanya dapat ditenun jadi kain yang tipis yang sangat kuat. Pengeran ahli mambuat perahu ini mengerti bahwa perahu bercadik dari atas Angin besar besar bisa muat beras ratusan koyan dan bergeladak lapis tiga, panyangnya hampi tigapuluh  depa bisa berlayar jauh dan berbulan bulan karena didorong oleh layar yang ringan kuat dan awet, disamping karena dibuat dari serat kapas India yang panjang,dan ulet maka luas layar bisa dibuat luas sesuai dengan bobot kapal, kecuali itu benang kecil kenaf yang tumbuh dari rawa rawa reluk Benggala ( Sekarang Bnglasesh), juga psnjang dan sangat kuat bisa ditenun disela sela benagn kapas serat panjang ini. Begitu pula tidak ada keterbatasan dari jung jung dari China, karena layarnya dibuat dari kain sutra yang meskipun luas dan tinggi tapi sangat kuat dan tipis seingga ringan untuk derentangkan bersusun susun ditiang agung, dan sama sekali tidak mengganggu keseimbangan perahu . Kapas dari Atas Angin jang benang lawenya sering diperdagangkan sampai di sini,  panjangnya seratnya mencapai  empat jari, dapat dijadikan  lawe tipis yang sangat ulet maka layar dari Atas Angin sangat kuat dan ringan. Seandainya dia bukan pangeran Pelarian, dia pasti  di sudah mengarang alat tenun bukan mesin, membuat layar yang besar. Dia mengingat ingat sewaktu di Japan,  pelabuhan besar, dia mengerti serat kenaf dari Pamotan (sekarang Lamongan yang masih selata muara Bengawan solo, selalu  dibawa ke Tanah Barat di tanah Pamalayu serat ulet  dan panjang, sayangnya  kasar dan bila  kering,  jadi  getas atau mudah patah. Orang bilang di Madura serat itu juga ditenun untuk layar tapi dicelup dulu dengan minyak kelapa yaaaaang dicapur cuka, agar tidak kekeringan. Sebaiknya malah dengan santan kelapa. Akan tetapi sera kenaf ini pun berat, meskipun sebagai campuran tenun layar perahu dari Benggala makanya perahu best dari benggala harus diberi cadik untuk membantu keseimbangan, dan juga tidak bisa terlalu lebar karena bila kehujanan jadi terlalu berat, makanya perahu model ini kerkenal lamban.
Aria Wiraraja menimbang bahwa waktunya telah tiba, untuk memberi tahu Raden Wijaya, supaya bekerja di Bumi Tarik istananya yang ditinggal selama ini, untuk jadi lurahnya para pemburu, karena musim pemburuan rusa akan tiba. Raden Wijaya akan didamaikan dengan Sang Jayakatwang. Pertimbangan beliau, Jayakatwang butuh sekali diakui kejeniusannya, sebagai pribadi, bukan bisikan dari Dewa karangan para Brahmana yang dapat persembahan besar seperti silsilahnya yang dikarang bagi beliau, nyaris ditulis dicandi khusus buat ini.
Lalu dia membeberkan rencananya agar Raden Wijaya  bekerja di Bhumi Tarik, untuk menjadi Pemimpm Perburuan, Kala itu jabatan ini disebut Lurah Pengalasan sambil menanti kedatangan sang Jayakatwang,  dipermulaan musim hujan, disana dia ada kesempatan mengambil hatinya Seribaginda, dengan menceriterakan penemuan rintisan dihutan selama jadi ketua pemburu rusa, mengetahui seluk beluk panah istimewa yang ditembakkan dari kuda berlari. Yang terpenting dia punya  ramuan untuk membuat kuda lebih tahan terhadap penyakit bolor, yaitu menurut sang Aria adalah bubukan daun kelor (Moringia sp ) yang dikeringkan beberapa genggam satu hari dicampukan dalam comborannya. 
Tarnyata bubuk daun kelor manjur untuk daya tahan kuda kuda. Raden Wijaya setuju, segera di memberitahu istrinya, dan demi Timbul kembalinya wangsa Girindra yang ada di perutnya, dengan berat sang putri menyetujuinya  Menjelang akhir musin kemarau, angin masih dari timur, Paden Wijaya berlayar dengan beberapa abdi orang Pamekasan ke bhumi Tarik, penjadi lurah para pemburu.  Terus terang dia menyenagi pekerjaan itu.  Dia mengembara dalam hutan napak tilas semua jalan yang ditempuh pasukan berkuda, dari Kadiri sampai di Jurang air terjun Gunng Baung,  dia memang sangat kagum, berapa orang yang dsikerahkan untuk itu, bukan saja jalan pasukan berkuda tapi jalan ditengah  hutan yang tak pernah ketahuan ataupu dicurigai oleh orang kegunaannya sebelum Singhasari  jatuh. Berapa banyak orang dikerahkah diam diam, bagaimana menghilangkan kecurigaan orang, dengan menakut nakuti orang berapa beaya yang dekeluarkan untuk itu.  Malah dia jakin tidak ada Pemimpin sebelumnya yang menandingi Jayakatwang.
Waktunya tiba, rombongan dari Sumenep sudah datang dua minggu lebih dulu, menyiapkan segala keperluan rombngan yang dihormati Mahaprabhu Jayakatwang lewat sungai  Brantas dengan perahu karajaan.
Bangunan, peraduan  dan perabotan, gamelan dan penabuh serta penarinya,  makanan dan minuman,  segala macam binatang yang akan dilepas,  bahkan sampai burung burung yang suaranya merdu, kuda kuda pilihan dan perangkatnya.  

Rombongan perahu kerajaan dari Kadiri  merapat di geladak yang sudah dibuat khusus untuk itu, segera Rombonga turun, karena Raja jayakatwang masih muda, lebih tua sedikit dari Raden Wijaya sendiri, beliau turun terlebih dahulu desrtai dengan gamelan kebo giro yang meriah, langsung melambaikan tangannya kearah penjemput sang Aria Wiraraja, sudah dengan gaya pemburu, bukan gaya Raja Penakluk. Sang Aria tua tanggap dengan sitasi yang berubah secepat ini, dengan cepat acara diubah, diambilah dengan tergopoh gopoh gelas dan minuman ramuan khusus sang Aria Wiiraraja. Sang aria sendiri menuang minuman sambil berdiri, menuang untuk dirinya sendiri, dan mereka bersulang cara pemburu dengan gembira. Para penyambut tanggap,  semua tamu rombongan disuguhi minuman laang tua dan disambut dengan sorak sorai gembira layaknya para pemburu yang semua lelaki perkasa. Aria Tua sangat puas,  satu permulaan yang sangat baik. Kebetulan ayam jago bekisar yang dibawa dari Madura saling berkokok,besahut sahutan nenambahi meriahnya suasana perburuan.
Tanpa minta izin siapapun dan tanpa diperintah oleh pemilik Pesanggerahan, Raden Wiyaya memberi aba aba agar semua kuda kuda diajukan dengan tengara terompet kulit kerang.  Segera  Kuda dilepas, dengan talikendali disimpulkan  diatas gumba. Tanpa pengawal berbaris satu satu. Kuda paling depan berwarna hitam mulus, muda dan sangat gagah, mirip dengan Gagak Rimang  kuda peliharaan kesayangan Jayakatwang yang sudah mati kena bolor (sampai sekarang merupakan penyakit kuda yang menular sekali dan sangat mematikan menyerang dengan cepat saluran pernafasan kuda, bahkan dijaman belum ada kereta api Pemerintahan Penjajahan Belanda memerintahkan menembak mati ditempat kuda kuda yang menunjukkna gejala sakit Malleus /sakit Bolor ini)
Mulai  keluar dari samping pesanggrahan sambil berlari kecil semua kuda satu persatu berbaris,  lewat tamu tamu yang baru selesai minum la’ang tua,  dengan gapah  Jayakatwang meloncat keatas punggung si Gagak rimang  kedua, meskipun tiruan tapi lebih gagah, dan lebih muda, anehnya segala perlengkapan kuda itu memang asli dari istal istana Kadiri milik  Gagak rimang yang sudah mati. Mahaprabu jayakatwang tahu itu dari baretan dan bekas bercak darah yang mongering,  kendali dan lis yang sudah kena tangan lama.

 Sekilas  dia melihat gamel lamanya sudah ada di Pesanggrahan karena dia dan raden Wijaya  telah mempersiapkan lama kejutan itu. 
Dan sampai di pesanggrahan Tarik sudah  bermingu minggu yang lalu atas prakarsa Raden Wijaya yang sekarang di bhumi Tarik namanya Lurah Jambul, mereka sudah disiapkan  adegan ini beberapa waktu sebelum perahu kerajaan berangkat dari Kadiri. Lapangan tegar sudah siap dilapisi dengan pasir sungai Brantas, tebal dan tidak terlalu lnnak.
Puluhan penunggang kuda dari Kadiri berakrobat dari atas kuda kuda yang berlari sepuasnya, mengobati rasa bosan selama seharian naik perahu.
Sang Jayakatwang dengan puas mengambil tempat duduk di pasanggrahan, disertai oleh Aria Wiraraja yang sekarang bergaya pemburu, menghilangkan segala etiket kerajaan. Hanya Lurah jambul melihat dari kejauhan.
Sesudah makan malam gaya pemburu  yang gaduh selesai, Arya Wiraraja mngajak tamunya bila berkenan, duduk di gazebo terbuka agak terpencil diluar dihalaman pesangrahan.  Disambut dengan hangat ajakan itu.
Mereka berdua hanya  diiringi satu pengiring yang selalu agak menjauh, tapi mendengar bila dipanggil.  Bumbung dan gelas sudah tersedia disana, 
Sang Jayakawang dengan gembira menceritekan suasana selama perjalanan  dengan perahu dari Kadiri,  semua pengikut sudah bosan setengah mati naik perahu jang lambat ini. Gamelan dan waranggono tidak didengar lagi,  ada yang berenang mencebur sungai,  megadakan lomba renang, dan minum tuak.
  
Lantas memdadak disambung pertanyaan dari Prabhu Jayakatwang, omong omong siapa lurah Tuaburu ( Lurah pangalasan) yang sudah menyiapkan sambutan semeriah ini, dan kuda hitam yang serupa gagak Rimang kuda kesayangannya itu, terus gamel kuda kesayangannya kok ya ada dipesanggrahan.
Diajawab oleh Aria Wiraraja, Paduka Prabhu akan terkejut bila ketemu dengan lurah Pangalasan di dari Pasanggrahan Tarik ini.
 Sang Jayakatwang berkenan  untuk tahu siapa dia, untuk seorang Jayakatwang tidak ada orang terlalu rendah tidak ada orang terlalu tinggi bila mempunyai pengetahuan mengenai kuda. Dia mengaku ketika menunggang kuda itu, dia merasa utuh sebagai Jayakatwang kembali, segera pasukan  berkudanya pulih jumlahnya untuk dibawanya ke ujung dunia, kali ini dia jujur dan sangat bersemangat.

Segera  Aria Wiraraja  menepukkan tangannya, dan pelayan yang menunggu dari kejauhan mendekat, dan mendapat perintah untuk memanggil ki Jambul.
Segera Raden Wijaya muncul  dari kejauhan sudah menguncupkan sembah, mendekat sambil duduk dibawah bersila,  menyembah sambil bertanya ada dawuh apa.  Sang Mahaprabu sedang sangat bersemangat,   meberikan rasa terima kasih atas ditemukannya kuda hitam yang telah dicoba, baik kekuatan nafasnya maupn kekuatan otot dan keberaniannya,  semua baik, hanya masih agak kasar,  suka kaget mendapatkan perintah mendadak.


  Ki Jambul mohon maaf atas kekurangannya, dia mengaku bahwa dia mendidiknya baru satu bulan, kemudian minta bantuan gamel dari Kadiri.  Raden berterus terang mengenai kakagumannya kepada sang jayakatwang mengerti dan menguasai kuda. Prabhu Jayakatwang  menjawab bahwa para Dewa membuat dirinya dari bahan yang sama dngan kuda kuda barangkali, sambil tertawa terkekeh kekeh. Sebaliknya Raden Wijaya mengaku sejujurnya bahwa sebagai lurah tuaburu dia menjelajahi hutan hutan dan menemukan jalan rintisan ditengah hutan, bukan hanya satu, tapi beberapa dari pingiran sungai brantas lingga ke air terjun di gunung Baung,  sungguh bukan pekerjaan mudah, perlu ribuan orang menurut perkiraannya, ki Jambul Juga brbicara tentu bukan sembarang orang yang mengunakan anak panah berat dengan ujung runcing dari besi tuang  berbentuk kuncup bunga kantil dan digosok dengan minyak jarak dengan mudah menembus prisai kulit kerbau yang paling tebal.  Mahaprabu Jayakatwang sampai kaget dan sangat senang, sambil berdiri dia mengusap pundak ki Jambul, bahwa berlaksa picis emas dan perak dia tebar untuk kerahasiaan rintisan rintisan ditengah hutan itu,  untuk tidak membangunkan kecurigaan orang Singhasari,  pasukan dimuat perahu dari Kadiri, memang pendadakan adalah unsur yang sangat penting memenangkan peertempuran.     
Dengan mengerahkan kekuatan catur sanak, Raden Wijaya, mengaku setulusnya bahwa tidak ada orang maupun Raja yang telah lalu mengimbangi siasat dilandasi ketelitian dan ketekunan sang Jayakatwang, sayang kini kuda kuda lagi kena wabah penyakit yang sangat menular,  yang dia mempunyai ramuan untuk memperkuat daya tahan tubuh kuda kuda berlipat kali. Sang Prabu sampai menarik kursinya mendekat ki Jambul,  memegang kedua lengannya sambil  dicara keras seperti orang kampung dialah orang yang dia cari selama ini,  sampai pendeta dari Atas Angin, tabib dari China, semua gagal, ayolah dicoba ramuanmu hai lurah para pemburu, saya merasa dilahirkan kembali, apapun yang kau minta aku turuti. 
Waktunya sang Aria tua berrperan, dia berdiri dengan gopoh, menahan sang Prabhu Nata. Sambil berkata lirih dengan tenaga dalam, memang dialah orang yang paduka cari selama bertahun tahun, dialah Raden Wijaya, murid sang Bhismasadana, orang satu satunya yang mengerti kejemiusan paduka Baginda !
Saking terkejutnya Baginda terduduk, sambil memelototkan mata, apa katamu, dia Raden WIjaya,  saya sungguh terkejut,  apakah kau menyerahkan dirimu wahai bayanganku  yang hilang?  Baginda setengah mrangkul ki Jambul, berucap tanpa kata, karena diapun orang yang berilmu tinggi.
Raden Wijaya mengerahkan tenaga catur sanak, sambil bersabda : Iya, akulah yang menghormatimu sebagai orang yang menemukan dan melakukan yang tidak pernah dilakukan sebelummu dan sesudahmu. Ini dikemukakan oleh Raden Wijaya sebagai kata yang tidak terucap tapi dimengerti  dengan sebenarnya oleh Mahaprabu Jayakatwang.  
Keheningan buyar dengan  isyarat sang Aria Tua,  semua pulih pada tempatnya. 
Sang Prabu dengan ringan menerima Raden Wijaya dan adik adiknya, memberikan ampunan dan restu . raden Wijaya menyembah kaki sang Prabu, baru berhenti sesudah diangkat oleh Baginda.
Saat itu juga dia dhadiahi bhumi Tarik, boleh tinggal dasini selama dia suka dan keluarganya,  Dia diangkat olehh Mahaprabhu Jayakatwang sebagai Tumengung Pengalasan, dan pemelihara kuda kuda Kadiri, langsung bertanggung jawab kepada Sribaginda.
Malam itu juga semua orang dipangggil dihalaman gazebo, mendapat dawuh dari Sang Mahaprabhu Jayakatwang bahwa dia sudah menemukan orang yang selama ini dia cari dengan mengaduk seluruh Janggala Trung Tuban, Raden Wijaya, dan dia menghadiahi sang Raden dengan Bhumi Tarik sebagai tameng Kadiri dari sungai Brantas, Mengepalai pemeliharaan kuda kuda Pasukan Kadiri,  dalam keadaan darurat melawan penyakit bolor, agar semua perintahnya dilaksanakan.
Para hadirin sangat kaget dan heran,  kaget ternyata si Pelarian malah dapat ganjaran, heran ternyata Raaden Wijaya, menantu Raja Singhasari, perkerja keras dengan perawakan yang tidak menampakkan otot tapi gempal, berwarna gelap dan berdandan cara Pandega perahu Madura.  Mereka malah terdiam, hanya bersorak gembira sampai melonjak lonjak  atas penyadaran sang Aria Tua. Segera minuman ber guci guci dituangkan untuk bersulang cara pemburu. 
Aria Wiraraja memegang pundak sang Raden, menandakan sangat lega dan bersjukur,  pelarian yang begitu lama menghadapi maut, berakhir dengan mudah dan menyenangkan.
Gamelan terus ditabuh dengan irama gembira, para waranggono menyanyi dan menari bersama sama hadirin, gempar dan ramai.
Raja masih berkenan tetap duduk di gazebo, bercerita mengenai bagaimana dia membujuk para  pendekar  harimau gadungan dari Lodaya, rajabya pangleyakan dari Bali, untuk menjaga rintisan ditengah hutan sepaya dijauhi penduduk  yang tinggal di tepi hutan, bagaimana dia sendiri merencanakan  lintasan  yang  melewati sumber sumber air.
Sebaliknya raden Wijaya mengatakan secara terus terang, bahwa rakyat kecil mengarang cerita mengenai ronmbongan Pelarian itu bukan atas prekarsanya seperti bakul  pecel si Nem yang konon dikabarkan adalah putri raja yang menyamar, Wiyaya terus terang istrinya malah tidak secantik  si Nem sambil tertawa ngakak. Entah kenapa rakyat jadi tergelitik memanfaatkan kesibukan Penjabat kerajaan Kadiri mencari pelarian itu, menggelitik mereka,  pertunjukan  tobong sandiwara jadi laris bukan atas upayanya, Mahaprtabhu Jayakatwang mendengarkan ucapan Raden Wijaya yang sepenggal ini dengan sangat lega, karena siasat murah yang satu ini tetap jadi rahasia selamanya,  bahkan si Wijaya ini tunas unggulan dari  ilmu siasat, samasekali tidak curiga terhadap tahtanya diatas alang  alang kumitir, yang memang hanya sulapan murah.   
Sampai larut malam mereka saling bercerita. Sang Prabhu Jayakatwang memang bersemangat sekali  menjadi muda kembali, seperti telah menemukan jati dirinya. *)



0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More