Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

24. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 23)

KEMUNDURAN MAJAPAHIT SESUDAH SERATUS TAHUN MENANJAK

Benar sekali pemikiran Raden Wijaya dikala dia mendirikan Wilwatiktapura dari semak dan hutan dikawasan kaki Gunung Anjasmoro, agak masuk hutan dari aliran sungai Brantas. 
Wilwatiktapura memberi kesempatan yang sebaik baiknya untuk para pelayar dari Atas Angin, dari China, dari Campa untuk mendapat dagangan dari wilayah timur kepulauan ini yang hanya bisa dikunjungi oleh kapal layar setahun sekali dikala angin passat tropis dan disambung dengan angin musson barat (bulan Oktober – April ) kurang lebih selama empat bulan, sebab dua bulan adalah musim pancaroba. 
Sedangkan dagangan dari Timur kepulauan Nusantara juga hanya bisa dikapalkan  dalam waktu yang sebaliknya (bulan April – Oktober) dikurangi masa pancaroba. 
Yang  diperlukan pada era zaman itu  adalah rempah rempah kering dari Timur. Perahu layar hanya selama empat bulan bisa mengikuti angin musson timur dari Australia ke Asia Tengah (bulan April –Oktober),  dipenggalan tahun Masehi yang yang kedua. 
Sedangkan Wilwatiktapura kurang lebih ditengah tengah kedua jurusan kapal layar ini, disamping pelayaran ketimur selalu berisiko besar, oleh perompak sepanjang pelayaran di selat Malaka dan selat  Karimata, menuju ke laut Jawa, sampai ke laut Banda dan laut Arafura, yang kala itu agak liar. 
Berkat gudang gudang kelas satu dan penjemuran ulang yang dimungkinkan di Wilwatiktapura kala itu, para pelayar dari timur sangat menyukai pelabuhan dalam Wilwatiktapura. 
Ini semua berkat ketekunan patroli perahu parahu perang Majapahit yang sangat aktip baik di Sokadana sampai hulu sungai yang besar besar, Laut Jawa, Selat Makasar  sampai ke Sangir Talaut dan Laut Banda, Arafura, bahkan sampai ke Madagaskar pulau pulau kecil dan selat selat di Nusa Tenggara, Bali dan Lombok, tidak satupun Penguasa setempat yang tidak memperhitungkan kekuatan perahu perang Majapahit dalam menjaga keadilan. 
Berkat kalantaka yang dipasang dihaluan perahu model Madura yang sangat mudah berputar haluan, 
Dikatakan bahwa andaikata Bhatara Kala perlu mencongkel selilit diantara giginya, maka dia hanya berenang mendekati perahu perang Majapahit sambil menganga, maka selilit itu pasti bisa dicongkel oleh kalantaka yang dipasang dianjungan perahu model Madura ini. 
Selama seratus tahun keamanan ini terjaga baik dan seratus tahun berikutnya, tapi keadaan perdagangan sudah berubah. Kebutuhan akan rempah rempah dan hasil hutan yang langka dari Sokadana ( Kalimantan) berubah jadi kebutuhan akan beras, yang sangat dimaui pasar karena di anak benua China, di anak benua India,  sering ada peperangan antar Negara disana hingga kehidupan pertanian jadi kacau dan sering terjadi kelaparan merajalela. 
Disamping itu pada seratus tahun kedua berikutnya matahari Majapahit, rakyat di pedesaan makin menggemari kain tenunan benang kapas hasil usaha pertenunan di China dari tempat tempat antara Canton dan Sianghai, perahu perahu jung China pun semakin besar muat hingga  dua puluh ribu, lima puluh ribu kati. 
Sedangkan tembikar porselin dan seladon, kebutuhan kalangan atas makin diproduksi secara masal di China dan makin banyak diperdagangkan sebagai barang kebutuhan sehari hari. 
Akibatnya permintaan beras di wilayah Majapahit sangat melonjak, karena transportasi semakin ketinggalan oleh tidak adanya jalan dan Jembatan yang memadai, maka beras tidak bisa diadakan dengan cepat, dan semakin ketinggalan dalam peyediaan  dari kebutuhan komoditas beras ini.
Selanjutnya di abad kedua keberadaan Wilwatiktapura, ada sentra sentra produksi beras baru yang dapat menghasilkan komodity beras setara dengan daya angkut  jung raksasa ini tanpa menunggu waktu pengumpulan yang lama, dari sawah sawah yang dicetak dirawa rawa dimuara Bengawan Solo, tepatnya di Pmotan Utara, Bungah, Sidayu, dan di Manyar. 
Upaya semacam ini  tidak pernah  dikerjakan sebelumnya, yaitu mencetak sawah dirawa rawa pasang surut. 
Ini merupakan hasil pengetrapan teknologi dari Mesopotamia, yang telah lama menggunakan rawa rawa dilembah sungai Euphrat dan Tigris, semenjak zaman Babylonia. 
Rawa ini dikurangi ketinggian airnya sedikit demi sedikit untuk memenuhi kebutuhan tanaman, sistim pembuatan saluran saluran ini dicangkok dari sana oleh ulama ulama Islam yang datang dari Parsi zaman itu. 
Penyebaran Islam dari Parsi lebih mungkin terjadi lewat Asia Tengah terus menghilir Sungai Yangtsekiang lewat wilayah Yunan,  dari sanalah Ulama Islam yang pertama menyebarkan Agama Islam di Nusantara, 
Bagusnya saluran saluran itu juga dapat digunakan mengirim hasil panen dengan perahu perahu berlunas datar dan berlambung lebar sehingga bagian yang  tenggelam sedikit saja, sangat mengurangi kesulitan transportasi darat tanpa jalan yang diperkeras dan jembatan jembatan yang menjadi kendala pulau pulau tropis yang subur di zaman itu. 
Meskipun harus lewat saluran yang dangkal dan berpintu air gandapun mudah saja. Perahu perahu ini dibuat dengan sederhana dari anyaman bambu (sekarang masih ada di wilayah Lamongan dan Demak.  Dibuat kedap air dengan lilin lebah dan batu aspal dari pulau Buton. Dapat muat beras atau gabah sampai tiga  koyan (kira kira 2 ton), Sampai ke penyosohan gabah, dan kemudian diangkut ke jung jung yang tidak harus menunggu lama di pelabuhan jung jung yang semakin besar, sejumlah ratusan koyan beras dalam keadaan kering, siap kirim, tanpa kuwatir akan penurunan kualitas selama dalam palka jug jung raksasa itu. Disebabkan padi yang ditanam tidak rontog, sudah di angin anginkan selama dalam penyimpanan sesudah panen. padi jenis wulu dan jenis cempo.
Muatan barang dari China bisa dipilih jenis jenis yang untuk pasar kelas menengah bawah di jung besar besar jaitu seladone, gerabah perselin kasar, kain tenunan kapas kasar, sampai sekarang disebut cita sinbun, kain makao ( sekarang dari Amerika, untuk bungkus tepung gandum), paling halus cita kembang, dan besi yang dirupakan batangan dan diperlakukan sebagai uang.
 Besi ini dapat ditempa sebagai perkakas karena tidak mengandung banyak carbon dan lain kotoran dan sudah dibakar dengan bijih Mangan sehingga tidak getas/ pecah.
 Maka dari itu bila disimak, ajaran Islam yang ada waktu itu bernuansa aliran Di Mesopotamia yaitu aliran Syi’ah.
 Aliaran khilafah ini di Nusantara kurang tajam dalam pertentangannya dengan kaum Suni. Hanya kaum ini sangat menyesalkan  kena apa keturunsn Nabi dihabisi demi  kekuasaan, sedang Daulah Islamiah dipimpin oleh aliran Suni, dari bani Mu.awiyah yang agrasive sebagaimana bangsa Padang Pasir, menaklukkan Negera Negara  kebarat sampai Granada dan ketimur sampai Bagdad, bahkan menyeberangi Sungai Indus. 
Dalam expedisi penaklukkannya, aliran Suni ini pada kurun zaman itu belum  sampai di Nusantara.Selanjtnua pada zaman berikutnya ganti wangsa  Abbasiah yang dari Parsi mendominasi daulah islamiah  berbarengan dengan kedatangan para ulama dari Parsi dan Yunan dan bermukim di Garowisi? sekarang Gresik.
Mereka sangan peawai mengembangkan ilmu tasawuf Islam karena sisa kebudayaan yang sudah tinggi dari wilayah asalnya. Penyiar islam yang ini jauh lebih mudah berinteraksi dengan kaum brahmana Hindu. Sehingga tidak ada perselisihan dikalangan bawah karena dikalangan atas bisa saling mengerti. 
Hanya, islam lebih egaliter dalam pendekatannya terbukti pada semangat mengajar ilmu pada kaum bawah yang berdagang jaitu ilmu berhitung pembukuan dalam huruf arab. Sedangkan Hindu tidak pernah mengizinkan wangsa bawah kaum Waysia belajar membaca apalagi berhitung. Karena agama Hindu melarang kaum bawah membaca Wedda.
Sedangkan dagangan yang harganya mahal lebih disukai di pasar pasar ujung barat jalan Sutera, nun disana di wilayah orang Arab dan Punisia (sekarang mungkin Lebanon), tempat orang kaya baru berbelanja  sutra sutra halus dan perselin halus, karena tidak ada saingannya. Kain muslin dari kapas India, kain dari kapas  Mesir, telah ditenun di Balkan ( sampai sekarang namanya tenun Damask) dan Perancis selatan.  Maka di abad kedua Majapahit, Wilwatiktapura menjadi semakin tersaing dengan singgahnya jung jung raksasa  untuk mendapat barang kebutuhannya (beras )  lebih murah dan lebih banyak  dari Trung dan Ampel Denta, bekas wilayah Jenggala. Lagipula harga beras yang ditawarkan dengan tukaran barang barang keperluan rakyat menengah ini lebih miring, dan barang dagangan beras dalam jumlah besar bisa didapat sepanjang tahun, berkat pengairan rawa. Bagaimana tidak lebih murah dari yang berasal dari Wilwatiktapura, wong ngangkutnya dari sawah dengan perahu yang lunasnya datar, jadi lewat saluran pengairan sawah-rawa secara estafet pun jadi. Sedangkan di Wilwatiktapura diangkut dari Majalegi (Sekarang Pare), dan Jombang, wilayah pengairan bendung Harinjing dengan kuda lebih dari lima puluh yojana sampai ke jung jung ini berlabuh, tanpa jalan dan jembatan yang memadai.
Memang beras bukan dagangan utama Wilwatiktapura sejak semula. Lagi pula untuk bekal perahu model Madura dan Pinisi patroli Majapahitpun, beras bkal arfmadanya beli di Ampel Denta dan Garowisi.
Permulaan abad ketiga Majapahit telah dijangkiti Pejabat tukang peras, penarik pajak  anggauta sekte nyleneh Bhairawa,  suka menang sendiri. Bayangkan kota perdagangan yang diperebutkan banyak kaum Ksatria berdarah biru untuk menjadi Penguasanya, dengan segala cara, maka pemerintahannya sangat lemah. Para Nayaka Praja kepentingannya terbelah belah, mendukung Pangeran Pangeran yang mereka jagokan. Kekuatan jahat para Bhairawa yang mengumbar hawa nafsu, yang telah mengendap didasar pergaulan masyarakat Wiwatikapura selama ini, mulai muncul dan mendominasi situasi dikalangan para Narapraja, tidak aneh karena kenikmatan Ma lima ada didepan mata. 
Penyangga ekonomi Kerajaan Hindu sejak semula sudah tidak mampu melayani kebutuhan pasar, surut oleh zaman yang berubah, pengelola Praja yang korup dan penggemar Ma lima, anggauta kehormatan kaum Bhairawa, di abad abad kedua dan ketiga Majapahit adalah tanda suramnya matahari senja di Wilwatiktapura.*)    




   

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More