Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

16. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 15)

WILWATIKTAPURA BERTAHAN SELAMA LIMA TAHUN SEBAGAI KOTA MERDEKA

Sungguh merepotkan tetangga Kabupaten dan Kabupaten yang lain menyaksikan betapa mewah dan nyaman rencana kota Wilwatiktapura, tanpa dilindungi oleh satu kekuatan besar di kawasan bekas kekuasaan Kadiri ini. Sebenarnya Kerajaan Kadiri lumpuh karena Ibu Kotanya terutama Kedathon Kadiri dihancurkan oleh jung jung perang dari pasukan Mongol. Habis Ibu Kota Kadiri, kedhatonnya dijarah olen pasukan Mongol, ganti jung jung peyerang itu diserang panah gajah oleh rakyat pinggiran sungai Brantas hingga kocar kacir, akibat akalnya putri Gayatri, yang semula buat pertahanan Kadiri demi kepercayaan Sang Mahaprabhu Jayakatwang, ternyata sebagai pisau bermata dua, bisa menyerang berangkatnya bisa menyerang pulangnya satu armada yang berani melayari sungai  Brantas. Kali ini serangan dengan panah gajah pada saat pulangnya armada jung perang,  Laksamananya bunuh diri dan raja yang ditawan dipenggal lehernya sebelum sang laksamana bunuh diri. Raden Wijaya memang tidak mempunyai pasukan apapun. Sedang Bhumi Wilwatiktapura memang ada di kawasan Kadiri, dimana Keturunan Kartanegara dan Raden Wijaya membeayai pembangunan kota dengan semua kenyamanan jaman itu. Enam bulan sesudah rencana kota itu dIlaksanakan untuk dibangun, sudah selesai seperlimanya, antara lain jalan jalan dan gorong gorong air pematusan seluruh kota, Jalan ke Pura Pemujaan para Pitri, jalan yang dilapisi pasir tebal, dan untuk pejalan kaki dilapisi lantai dari gerabah bersegi enam sejengkal lebih tinggi dari jalan, dengan perempatan menuju ke Wantilan Agung yang baru nampak pondasi dan umpak umpaknya, Rumah dalam siti hinggil yang sudah jadi bagian dapur dan perangkat rumah belakang. Sejalur dengan sungai buatan yang sudah di tembok dengan dadu batu kapur besar besar tapi belum diisi air. 
 Gudang gudang sudah dipakai disebelah wantilan Agung, dan sudah berfungsi.  Diwaktu itu sosok yang paling menonjol adalah Bupati Tuban, Yang dipertuan Bupati Ranggalawe, yang membesar besarkan pertolongannya pada Raden Wijaya waktu dikejar kejar pasukan berkuda Mahaprabhu Jayakatwang. Memberikan nasihat supaya minta perlindungan kepada Aria Wiraraja. Dan Aria Wiraraja sendiri, yang oleh Raden Wijaya sudah dikirimi sejumlah bagian dari harta rampasan balatentara Mongol, sebagai balas budhi perlindungungannya kepada dia bersaudara,  rekayasanya untuk mempertemukannya  dengan Mahaprabhu Jayakatwang, itupun sudah diterima dengan bersyukur. Sebagi tanda hubungan  baiknya dengan Raden Wijaya dia menawarkan pulau Gili Raja untuk basis latihan latihan perwira, tamtama dan pajurit dari Wilwatiktapura, secara rahasia. Tempat yang sangat terpencil, tidak mudah diketahui orang.
Kali ini Ranggalawe, Bupati Tuban, menuntut bagian harta rampasan dari  pasukan Mongol, atau menjadikannya sebagai wali dari Kota yang baru dibangun bila kota ini jadi Kota merdeka, karana Ranggalawe juga termasuk dalam wangsa Girindra dan dekat dengan sang Kartanegara  saudara sepupunya. Ini dikemukakan sebagai dalih karena Kota baru ini harus dilindungi oleh pasukannya dari caplokan fihak lain, mengerti bahwa Wilwatiktapura tidak punya pelindung tentara yang kuat. Atau minta diangkat sebagai Mahamantri Hino di Wiwatiktapura bila menjadi kerajaan yang menggantikan ibu kota kerajaan Kadiri.
Tentara Tuban  dibawa ke Desa Dadu  atau Kudadu memang besar jumlahnya, dengan persenjataan lengkap. Raden Wijaya mimenemuinya di Kudadu pada hari ketiga sesudah permintaan paksa ini dikemukakan oleh fihak Tuban, sebenarnya hanya menunggu sampainya Gajah Mada di Tuban. Hari ketiga, ada  kabar berita dari merpati pos bahwa pasukan kecilnya sudah sampai di Tuban, dan Tumenggung penjaga Praja di Tuban sudah bekirim berita bahwa Gajah Mada sudah meduduki kota di Tuban, menuntut penyerahan Kota untuk untuk dilindungi dari penjarahan dan dibakar, Sang Tumenggung tidak bisa berbuat banyak, karena saat itu Gajah Mada sudah diperkuat dengan lebih dari seribu  orang dari  sekitar Penyaradan kayu jati dari Mada, bersenjatakan tombak panjang berkait sebagai tambahan dari pasukan berkudanya yang kecil jumlanya. Sang Tumenggung Penjaga Kota tidak berani gegabah melawan, sebab Tuban memang kosong. Berita ini tiba dibawa gandek, berkuda siang malam.  Adipati Ranggalawe sangat terkejut, dia mengaku kalah, minta Tuban Jangan dirampok, sebagai gantinya Adipati Ranggalawe mundur segera dengan pasukannya yang besar.
Tidak hanya itu, pasukan Kadiri dari Brangkal telah datang ke tempat penyeberangan sungai dimana raden Wijaya berperahu menyeberang sungai Brantas dari Utara sungai, sedang dari seberang selatan sungai terdengar sorak sorai sangat ramai ribuan mulut pasukan Kadiri beserta panah gajah ditembakkan kearah buritan perahu penyeberangan Raden Wijaya. Bala tentara Kadiri ini pada berdiri ditepi sungai Brantas dengan senjata pasukan Mongol, tombak berkait. Para balatentara Tuban merasa sangat lega dan bersyukur karena tidak diperintahkan menyeberang meskipun perahu perahu rampasan dari kiri kanan sungai sudah dipersiapkan, karena bila nekat menyeberang tentu terjadi korban yang sangat banyak mati konyol karena terbakar oleh panah gajah yang berapi dari nafta, sedang pasukan Kadiri dari Brangkal ternyata telah menunggu secara sembunyi. Bupati Ranggalawe menghentak hentakkan kakinya ke tanah dengan geram, meniggalkan pinggiran sungai Brantas sebelah utara.
Gerombolan penyarat dari Mada sangat senang karena perjalanan mereka tidak sia sia, mereka mendapatkan ujung tombak  pasukan  Mongol dari besi tuang, dan uang dari Mpu Mada, cukup buat sangu pulang, atau memborong tuak dari Tuban yang terkenal itu.
Pemuda Gajah Mada ternyata bukan saja lurah Bayangkari yang handal, tapi juga pemimpin pasukan yang bisa diandalkan, telah membuat malu Bupati Tuban Ranggalawe. Enam bulan lebih keadaan Wlwatiktapura telah menjadi perhatian seluruh bhumi yang ditandai Mpu Sindok, akan jadi Negara besar. 
Menjelang pitra yadnya, semua libur, pekerjaan dihentinan tiga hari tiga malam. Malam menjelang libur panjang ini Gajah Mada, Raden Wijaya isteri dan ipar iparnya pada kumpul di wantilan kecil, lebih mirip gazebo dari wantilan. Meski mereka putra putri Raja, Pangeran dan Brahmana, tapi umur mereka masih muda, dan matang ditempa keadaan. Mareka duduk dengan santai sebab kecuali istri Raden Wijaya semua berpakaian komprang cara pandega dari Madura. Membicarakan kejadian yang baru saja terjadi dengan Tuban,  mereka cekikikan menggunjingkan Bupati dari Tuban, Rakryan Ranggalawe yang marah besar karena siasatnya kandas menghetak hentakkan kakinya.  Untung saja ada kali Brantas yang menghentikan pasukannya.
Raden Wijaya membuka suatu pembicaraan, bagaimana secara murah dapat mempertahankan Wilwatiktapura dari orang orang semacam Ranggalawe, yang tidak diragukan dapat mengerahkan pasukan besar dengan iming iming mengenai pembagian harta rampasan nanti. Yang Dipertuan Rangalawe dapat mengumpulkan begitu banyak serdadu darat, sebagian besar mereka adalah nelayan miskin, karena sekarang lagi musim angin yang ganas, rakyatnya gampang dikumpulkan dan diajak berperang, memang lagi laip, selanjutnya mereka adalah nelayan. Tuban hidupnya dari tanaman kacang tanah yang selalu dicari oleh para pedagang dari China, baik kacang lepas kulit maupun minyak kacang dan bungkilnya. Kacang tanah ditanam di tegalan dataran diantara dua barisan gunung kapur Kendeng, tepian utara Bengawan Solo, memanjang dari barat ke timur sekarang para petani kacang lagi sibuk memelihara tanaman kacangnya, juga dari Kayu Jati yang tumbuhnya dekat pantai, mudah disarat ke laut. Jadi seperti di Kabupaten lain mereka tidak membayari tentaranya sepanjang tahun, mereka abdi untuk mengerjakan tanah yang  diberi pengairan oleh Yang Dipertuan Bupati, setiap kali selesai pekerjaan sawah bagi kaum pria, mereka diwajibkan ikut perang oleh Rajanya. Gajipun sering tidak diberikan, apalagi bila perangnya kalah, akan tetapi pangan mesti disediakan.
Raden Wijaya membuka persoalan kepada Lurah Bhayangkari dan putra putri Kartanegara  itu. Adu kecerdasan memang dalam banyak hal putri Gayatri sering berpendapat lebih  unggul. Kali ini dia hanya menggumam pada dirinya sendiri, sementara ada uang, mengapa penyarat glondong jati sepanjang pantai itu tidak diberi beban pekerjaan supaya enggan diajak perang oleh Bupati yang dipertuan Ranggalawe ?  Sementara umpama membuat perahu, dengan meminjam tangan para pandega dari Madura ? Memang untuk satu perahu dibutuhkan banyak orang untuk bekerja, misalnya memilih dan menebang kayu dari hutan, kemudian menyeretnya ke galangan perahu dipinggir pantai, mengolahnya untuk jadi papan lambung, gading perahu, lunas perahu, lantas membuat dempul pendeknya untuk satu perahu dengan ukuran lima ribu kati bisa membuat banyak orang terlibat untuk menerima upah. Empat puluh perahu cukup banyak untuk seluruh masyaraka nelayan ada kesibukan selama musim angin barat yang ganas.
        Putri Tribhuaneswari angkat bicara, bawha Wilwatiktapura sebaiknya jadi kota merdeka, sipapapun boleh ikut membangun dan diberi hak untuk menyewa lahan yang mereka bangun, jumlah sewanya akan ditentukan oleh sidang para pemilik  lahan sewaan, untuk gudang dan tambatan perahu, mereka berhak ikut menentukan bersama harga sewanya. Uang sewa bisa untuk membayar pesukan Bhayangkari yang menjaga kota sekaligus mempetahankan kota dari serangan. Beaya untuk telik sandi dan pekerjaannya dipegang oleh pemilik kota Merdeka ini Raden Wijaya. Sehingga kelanjutan pembangunan kota, anggarannya bisa dialihkan ke pembuatan perahu perahu untuk pengamanan lalulinatas laut Jawa dan Maluku. Untuk bangunan Pasar dan gudang ada pajak yang harus dibayar kepada memilik kota. Pembuatan bangunan lain dan gudang gudang mutu bangunaannya harus dirundingkan dengan putri Gayatri. Setelah keputusan ini ditanda tangani oleh Raden Wijaya, di umumkan keseluruh perwakilan Kabupaten Kabupaten dan dikirim keleseluruh Perdikan atau sima yang kaya, sebulan berikutnya Kabupaten Wiarasabha mengambil pekerjaan membangun Pasar, djalan dan hunian disekitarnya, Perdikan Mada pilih ngerjakan jalan dan pergudangan yang menuju kesana, jalan jalan ke permukiman, dengan harapan bisa menjual kayu jati olahan untuk bangunan dan perabotan. Kabupaten Kling membuat jalan pendek ke candi pemujaan bhatara Wishnu dengan bangun candinya untuk menempatkan Brahmana waisanawa sebagai Kepala Pemujaan disitu, dan masih banyak lagi, sehingga beban pengeluaran pembangunan kota menjadi berkuarang , dan bisa untuk pesan perahu perahu kepada para pendega di Madura yang pembuatannya di pantai utara Tuban. Hanya pasukan Bhayangkari yang pekerjaannya tambah berat demi menjaga persaingan dantara mereka tidak meruncing, supaya merasa ikut mempunyai kota baru ini.
Benar juga perhitungan putri putri Kartanegara ini, maklum mereka sudah digembleng dalam perjuangan mati hidup selam berbula bulan dikejar kejar oleh pasukan telik sandi Jayakatwang, tetap tidak melupakan siapa sebenarnya yang membantu Raden kita ini. Ketika menghadap kepadanya beberapa tokoh dari Ampel Denta dan Sidayu untuk meramaikan kota baru ini, mohon agar bisa mendirikan perguruan ilmu dan Agama Islam di  Wilwatiktapura, Raden Wijaya tidak keberatan, mengingat jasa Ampel Denta waktu  dikejar kejar sang Jayakatwang, mereka diajak melihat peta kota, dan memilih tempat dan luas tanah yang diperlukan, yang memang disediakan untuk asyram dan pendidikan, tanah diberikan gratis, disebelah barat kota, penggir kali Brantas, Gajah Mada mngetahui akan hal ini segera menyanggupi menyumbang kayu bangunan dan tenaga. Disertai sembah dan salam cara islam mereka pamit dan sangat puas, dengan Penguasa Kota Baru ini. Semua penghuni Wilwtiktapura yang ikut membangun keperluan umum kota tidak ditarik pajak apapun selama lima tahun.                                    
 Gudang gudang kelas satu pembangunannya dawasi sendiri oleh putri  Gayatri, dia tahu bahwa gudang yang baik harus kering, ada pertukaran hawa yang bagus, dan harus bisa menyimpan dengan ringkas namun yang pertama datang harus dimungkinkan untuk dikeluarkan dulu. Jadi pembuatan gudang dekat terusan kali Brantas ini letaknya tinggi, diatas rata rata banjir tertinggi satu depa,  cukup dari tanah galian terusan yang dipadadatkan, seluruh tanah dibawah atap sebelum diperkeras dengan teliti dibersihkan dari kayu mati dan perakaran pohon yang tertinggal supaya tidak jadi makanan dan sarang rayap, diperkeras dengan batu dan dilapisi bubuk batu kapur sejengkal baru dilapisi pasir sungai Barantas dua jengkal dipadatkan atau depasang lantai dari gerabah, supaya tidak mudah terbakar dindingnya dibuat dari batu bata, yang derekat dengan abu gunung api gamping dan pasir. Pendeknya gudang yang baik bakal menjamin mutu barang yang disimpan didalamnya, dan pembuatannya lebih menuntut pengawasan dari membuat istana Raja. Di pinggir saluran buatan untuk tambatan dan berlalu lintas perahu, sebagian besar pengeluaran hanya untuk tujuan ini. Raden Wijaya begitu menuntutnya tentang pembuatan gudang ini kepada putri Gayatri, tidak peduli berapa beayanya, karena pengalamannya di Japan, dimana kerugian besar bila gudang penyimpanan bermutu rendah atau kebanjiran. Putri Gayatri langsung mengerti prinsip ini. Raden Wijaya pun sadar bahwa Wilwatikapura hasil karyanya akan menghidupi diri sendiri dari gudang gudangnya yang semua kelas satu, berdinding tembok dan beratap genteng dengan sudut yang menjamin tuntasnya air hujan, tahan lama meski kena hujan angin karena  ketebalannya, semua kayu bagian atas adalah jati, yang tidak dimakan rayap. Raden Wijaya tahu betul bahwa saat angin timur, saat datangnya perahu perahu pinisi dan lombo dari pulau pulau ditimur dan Luwu membawa rempah rempah dan pada saat angin barat saatnya perahu perahu besar dari Atas Angin,  China, dan Campa datang menukarkan dagangannya dengan rempah rempah wilayah timur. Jadi terusan dan gudang gudang ini lebih penting dari Istana sekalipun.   Putri Gayatri tahu betul dari petunjuk Raden Wijaya bahwa berat kaki tembok yang tependam dalam tanah harus lebih besar dari berat dari tembok dan atap bangunan apapun, dan dia sangat teliti dengan ketentuan ini.  Putri Gayatri punya mainan dadu besar besar semua dari bahan bahan bangunan berukuran lima jari setiap rusuk, digosok halus dan rata, untuk membuat perbandingan berat semua bahan bagunan, sehingga semua bagian bangunan baratnya bisa diperbandingkan dengan mengukur jumlah isinya. Dia mendapat pengetahuan ini dari Raden Wijaya dan Raden Wijaya mendapatkan dari Empu Bismasadhana, bagaimana menghitung isi satu benda berukuran tertentu.
Pokoknya Wilwatiktapura akan hidup dari gudang gudangnya. Kunci dari upaya ini semua adalah keamanan pelayaran ke Sokadana dan Maluku. Itulah gunanya perahu parahu yang dipesan dari para pandega dari Madura, sayangnya perahu perahu itu tidak pempunyai senjata yang mirip dengan jung perang dari Mongol, meriam meriam perunggu, karena terlalu berat. Raden Wijaya hanya bisa mengandalkan panah gajah yang harus ditembakkan dari busur yang panjang, sulit untuk digabungkan dengan keadaan diatas perahu. sampai di puncak pemikirannya hanya bisa menggambarkan kemungkinan untuk membuat kajang ( atap perahu) yang bisa diubah menjadi papan tembak panah gajah. Itupun dengan jumlah yang sangat terbatas karena panjang perahu juga terbatas. Kecuali itu penembakan panah panah gajah akan sering terganggu dengan keadaan layar, maka perlu ada latihan yang rumit untuk setiap anak buah perahu perang untuk menggunakan panah gajah dengan arah yang dikehendaki. Latihan ini di kerjakan di Gili Raja. Akan terjadi olah gerak yang rumit untuk menembakkan panah gajah kearah angin bertiup karena posisi layar akan menutupi sasaran. Jadi layar harus extra besar, atau ada satu lagi di cerocok haluan perahu, untuk mendapatkan posisis diatas angin dari lawan, baru mengadakan olah gerak perahu untuk mengarahkan panah gajah. Akan tetapi kemahiran olah gerak dan ketekunan perahu parahu Madura ini meronda perairan antara Pulau Jawa dan Sokadana pada waktu musim timur sudah mengurangi banyak ulah para bajak laut dari Sampang dan dari Pulau Laut, membuat gudang gudang di Wilwatiktapura berisi, barang dagangan yang dihasilkan dari hutan hutan di Sokadana, misalnya getah jelutung, getah damar, kayu garu, bekasam ikan, dendeng ikan gabus kering dsb yang disimpan di gudang gudang ini dengan baik untuk menunggu angin barat, kapan prahu perahu dari Atas Angin menukar dagangannya.
Raden Wijaya masih ingat seorang pangeran dari Blega, yang keahliannya memelihara merpati pos.dan kuda, untuk di undang ke Wilwatiktapura, sosok pangeran Madura ini diberi perkerjaan penting membantu Lurah Bhayangkari menyelengarakan kandang kandang merpati di Wilwatiktapura, Kadiri, Gili Raja dan Sumenep. Diperkenalkan dengan para Pengajar dari Ampel Denta, yang sudah memlihara merpati merpati ini di Wlwatiktapura, udangan ini disambut dengan gembira oleh sang Pangeran yang kegemarannya direndahkan oleh sidang pagelaran kepandaian di Singhasari, pada Pemerintahan Mahaprabhu Kartanegara, kini dia mendapat kedudukan disamping Lurah Bhayangkari., Berhubung Wilwatiktapura bukan kerajaan, tapi dia mendadapat gaji yang sangat bagus dengan uang mas, disamping mempunyai tetangga yang sama kesenangannya memelihara merpati pos, para Kiai dari agama Islam Ampel Denta, yang juga membangun asyram di Wilwatiktapura.
Raden Wijaya terpaksa menyewakan sebagian dari gudangnya ke pedangang Bugis dari Sulawasi, dengan harga separoh, karena hanya pedagang Bugis dengan perahu pinisinya yang mampu berlayar di laut timur yang penuh dengan pembajak dan perompak sehingga sangat menggangu pengadaan barang yang sangat menguntungkan, rempah rempah dari timur yang sangat dinantikan oleh pedagang dari Atas Angin dan dari China. Bagusnya gudang gudang Reden Wijaya dilengkapi dengan halaman berlantai gerabah segi enam yan miring ke terusan, baik sekali untuk menjemur pala dan fuli yang dari sananya masih setengah basah, belum mencapai kekeringan yang sulit menghisap air kembali, jadi sesempai di Wilwatiktapura harus dijemur beberapa lama, hingga kering betul  tidak mudah jadi lembab dan berjamur. 
Setelah lima tahun Raden Wijaya sekeluarga beserta lurah Bhayangkarinya, mengelola kota merdeka Wilwatiktapura, bukan sebagai apa apa melainkan pemilik Kota Bandar, Raden Wijaya mendapat kesimpulan bahwa perahu rondanya harus mampu mengangkut meriam china dari perunggu yang sangat berat, konstruksi perahu perang Madura tidak mampu untuk itu, kasulitan ini juga dialami oleh semua Laksamana dari seluruh sudut tempat bangsa bangsa yang melayarkan perahu. Palayaran untuk berdagang menjadi mahal oleh beaya upaya pengamanan dari perompak  laut. Dan kota merdeka Wilwatiktapura pemasukan dari gudang dan perdagangan sendiri, pajak perdagangan yang dibayar oleh pedagang, hanya pas pasan dengan upaya kota untuk mempertahankan keamanannya. 
 Para Bupati disekitar Wilwatiktapura sudah bosan dengan upaya mencaplok kota ini karena dengan  adanya sosok yang menguasai kota ini sebagai pelindung pedagangan, barang dagangan makin meluas dan lancar, seperti kerajinan emas dari Bangil, karajinan kuningan dari Wirasabha, tikar lampit dari Trung, tenun dari Tuban hasil kerajinan kulit dari Kling dapat dipertukarkan dengan mudah dan adil disana.  
Tahun ketujuh semenjak Kota Tiban Wilwatiktapura berdiri, para Bupati Seluruh bhumi Mpu Sindok, sepakat untuk menjadikan Raden Wijaya menjadi Raja perserikatan Bupati Bupati, yang berkedudukan Di Wilwatiktapura, oleh mereka disebut Kerajaan Majapahit, dan kerajaan Majapahit ini tidak pernah menuntut apa apa dari mereka, masuk dalam perserikatan itu termasuk Kabupaten Tuban.
Tuntutan Arya Ranggalawe untuk menjadi Rakryan I Hino, tepap ditolak dengan kasar oleh Kebo Anabrang, Bupati Tumapel, akhirnya mereka perang tanding di Tambak Beras dan Ranggalawe terbunuh disitu. Anehnya Kerajaan Baru ini tidak punya Rakryan Mapatih, dan Gajah Mada tetap jadi Lurah Bhayakngkari dari Pabhu Kertarajasa Jayawardhana.
Raden Wijaya tetap berkutat untuk memperbaiki keunggulan olah gerak perahu Madura dengan Lurah Bhayangkari Gajah Mada, akan tetapi tidak ada jalan keluar yang baik untuk menggabungkan nya dengan panah maskipun sudah dipasang dihaluan didepan tiang layar,  atau mariam perunggu. Ketiga putri Mahaprabhu Kartanegara akhirnya diperistri oleh Prabhunata Kartarajasa Jayanegara.*)



0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More