Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

22. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 21)

 PAMALAYU KE II DARI MAJAPAHIT 

Lima puluh perahu perang jenis perahu Madura milik Wilwatiktapura telah siaga, lengkap dengan persenjataannya yang telah dicoba di Timur, melawan perahu kora kora yang menyemut, penuh dengan pasukan perang dari seluruh kepulauan Tidore. Tujuan semua perahu yang didayung oleh ratusan jagoan berkelahi dengan kelewang dan tameng kayu yang sempit namun kuat, armada perang dengan kora kora dan ratusan jagoan ini andalannya adalah menabrak armada lawan. Menabrak perahu lawan dan membanjiri dengan serbuan para jaogan berkelahi. Fomasi Jajar Pandawa yang harus mengubah dengan serentak haluan parahu Madura ini dari  mempertahankan formasi berjajar, menjadi formasi berhadab hadapapan dengan kora kora yang menjemut dengan pendayung yang tambah bersemangat, secara serempak menembakkan kalantaka, pada jarak tiga ratus depa, sementara lemparan tombak tombak belum sampai. Hasilnya luar biasa, banyak kora kora yang langsung terbalik, banyak haluan kora kora yang kena tembak dan berubah haluan saling bertabrakan 
Kali ini siasat perang laut melawan parahu perang model lancang yang bercadik, bisa berlayar melawan angin dengan sudut menyerong, dan berlayar sangat cepat. Mereka selalu menyerbu barsama sama, mencari posisi diatas angin. Persenyataan yang diandalkan adalah seligi atau tombak yang dilempar, dan periuk api, yang dilempar sambil melintas cepat dalam fomasi berjajar. Masalah besar untuk membangun perahu model madura dengan bobot mati yang besar diatas 20  ribu kati, bukan dari bahan kayu dan papan perahu, bukan dari konstruksinya tapi dari pengadaan kain layar yang harus ringan kuat dan luas, kala itu (malah sampai sekarang) kapas kita tidak bisa dipintal dai ditenun menjadi kain layar yang kuat untuk perahu layar yang seberat itu. Perahu model Pinisi dari bugis, sudah mempunyai layar dengan serat ulat sutra yang diperoleh bibit ulatnya dari China ( Bombuch madarina L) sejak dulu, dan dapan dijadikan layar yang ringan luas dan kuat, ulat sutera dipiara diberi makan daun tanaman murbei (Morus alba) di dataran tinggi diatas Sengkang di Rantepao, sedang penenun sutra ada di  diseputar danau Tempe, jadi petani pemelihara ulat sutra tidak menguasai teknologi sutra, sedang penenun sutra tidak memelihara ulat sutra ini. Akibatnya tidak ada batasan ukuran pembuatan pinisi yang besar besar. Tapi toh perahu model madura yang relatip kecil dengan bobot mati 10- 15 ribu kati sudah memadai untuk masuk kedalan sungai sungai yang relatip dangkal dengan kain layar yang sudah ada, dari benang kapas yang dicampur serar kenaf.

 Latihan berkali kali dilaksanakan dilaut dimuka pelabuhan Tuban dengan menggunakan parahu nelayan “jaten” yang disewa sebagai  lawan, sangat mirip lancang dari Malayu, memang perahu nelayan pancing model “jaten “  yang lincah dengan cadik  hanya disatu sisi lambung, mirip lancang dari Melayu. Malam menggunakan angin darat, angin dari daratan karena daratan udaranya lebih padat dimalam hari,  sedang siang  hari  udara diatas laut lebih padat jadi mengalir kedarat.  Sedangkan perahu perang Madura harus mencari formasi dimana serangan dari atas angin bisa dipatahkan dengan menghadapkan haluan perahu ke penyerang dari atas angin. Formasi ini harus menghasikan pemusatan tembakan kalantaka ke parahu lawan yang mendekat dengan angin buritan. Kemungkinan cara ini ada, dan dapat dicoba dengan Manuver jajar pandawa karen kecepatan lancang kira kira sama dengan kecepatatan kora kora yang didayung oleh ratusan jagoan perang yang lagi bersemangat. Repotnya, angin di pantai Sumatra meskipun sangat dipengaruhi oleh angin para nelayan yang rutin, tapi diakhir musim timur kadang kadang ada angin kebarat yang dominan dan kuat, Sehingga kecepatan mengisi peluru kalantaka dan ketepatan memperhitungkan jarak sasaran yang bergerak lebih cepat dari kora kora mendekati perahu yang bermanuver sangat menentukan hasil peperangan laut menang atau kalah. Maka latihan maneuver mengubah haluan menentang  angin dan menembak dengan jarak tiga ratus depa harus tepat. Dalam situasi apa saja.
Strategi yng dipilih adalah berlayar  agak menjerong atas angin perahu disejajarkan haluannya, dan mendadak diputar
Kearah angin, sambil nenjatuhkan layar, agar tembakan panah api tidak mengenai layar, sikaligus menembak sasaran yang mendekat dengan cepat.  
Armada Majapahit agak minggir ke pantai antara empat atau enam yojana, memanfaatkan angin nelayan, karena pinggir pantai dangkal maka ombak akan sangat  mempengaruhi perahu perahu kecil seperti lancang perang ini, mungkin ketepatan melempar  seligi sangat terpengaruh oleh ini. Bagusnya perahu perang model perahu Madura ini kecepatan maneuver merubah haluannya sama mudahnya dengan perahu yang lebih kecil, meskipun kalantaka yang di bawa berkaliber lebih besar.
Armada Majapahit dibawah komando Laksaman Wreha Nala, dengan lima puluh perahu model Madura, dua diantarnya berbobot lebih dari delapann ribu kati, membawa kalantaka yang lebih jauh jarak tembaknya memcapai tuju ratus depa ikut dalam armada, juga dua katamaran dengan layar  tunggal yang besar, dengan angin buritan bisa dua kali lebih cepat dari perahu Madura, 
tetapi sulit bermanuver, digunakan menolong pelaut  tercebur laut bila memungkinkan. Dan satu  perahu model Madura yang lebih kecil, bobot muatan hanya seribu kati berlayar ganda untuk kurir. Telik andi memberi peringatan bahwa lancang Melayu ada yang dilengkapi dengan panah api yang diterbangkan dengan obat mesiu dapat mencapai jarak enam ratus depa, tapi ketepatanya diragukan, jarak tembak dengan sasaran yang dikenainya dengan jarak dua ratus depa, berbahya bila dirubah jadi panah api, berguna untuk merobek layar dan membakarnya. Dengan perhitungan bahwa panah model ini tidak banyak, maka armada Majapahit  tidak ada perlengkapan khusus untuk menangkal senjata model ini. Semua perlengkapan perang di bawa oleh lima perahu pinisi, ke laut Jawa, utara Tuban, karena pada musim begini biasanya di utara Tuban, lautnya tenang. Bulan Kapitu, armada berangkat kebarat, mulai pelayaran perahu perang Pamalayu ke II, ke Jambi dan Tanjungpura.
Ternyata dugaan arah angin sesampai di muara sungai yang menuju ke Jambi berubah arah keutara, dari muara sungai keluarlah ratusan lancang perang dengan ratusan pejuang berseligi, berlayar menyerong ke tenggara untuk mendapat bantuan angin buritan pada saat mendekati armada perahu perang Madura,  Tiga  yojana, armada ratusan lancang perang ini sudah ada diatas angin armada perahau Majapahit. Armada lancang yang ratusan jumlahnya ini merasa bahwa armada Majapahit lamban malah menjerong angin menuju ke barat daya, apa tidak tahu bahwa keistimewaan lancang lancang ini bisa berlayar jauh lebih baik dalam sudut berlayar menentang angin, hanya terdorong sedikit kearah samping. Mereka pikir musuh akan bersembunyi dibalik lajar lancang lancang itu agar lemparan seligi dan periuk api terhalang oleh layar lancang, manuver yang biasanya lebih cepat, yang ini kok malah menutup layar dan neghadapkan haluan kearah angin? Armada lancang tambah bersemangat memacu perahunya dengan angin buritan, sampai haluan lancang lancang ini melonjak lonjak kena ombak kecil kecil, mengibaskan air kekanan dan kekiri, Dalan hitungan detik, terdengar bunyi terompet kerang, sebelum lancang mendekat dengan cukup sepelempar seligi, sudah terdengan salvo kalantaka, yang menerbangkan layar layar lancang, mengubah haluannya mendadak sehinga tabrakan antar penyerang tidak terhindarkan, lancang lancang  dibelakang masih bisa menghindar kekanan dan kekiri dengan lincahnya untuk melemparkan periuk api, nayris menabrak lancang yang sudah mengggumpal jadi satu, terus dengan cepat menuju ke armada Majapahit, ternyata perahu yang lebih besar delapan ribu kati dengan kalantaka lebih besar bisa menembak limaratus depa, yang ditempatkan dimuka dan dibelakang fomasi jajar pandawa masih bisa menembak lancang yang bermanuver belok kekanan dan kekiri, mengenai layarnya ada yang terbang dan ada yang terguncang miring dan tenggelam.
Waktunya dua perahu katamaran dengan lajar besar mengiris ombak dan angin, berlayar menyerong tajam menuju ke pempat bejubelnya lancang lancang, untuk memberi pertolongan pelaut yang tercebur, luka dan sudah tidak berdaya. 
Semua lancang dari Indrapura, jang rusak tanpa haluan ada duabelas, yang tanpa layar dan tiga puluh dua yang cadiknya patah dan terbalik ada limapuluh enam semua, semua lancang diperbaiki sementara dan didayung ke Indrapura oleh anak perahunya masing  masing masing,  mereka diperintahkan membuka jalan, sebab pelabuhan Indrapura dijaga dengan dua meriam basar dari perunggu yang dipasang di dekat pelabuhan. Begitu meriam penjaga pelabuhan tahu bahwa semua perahu perang lancang diperintahkan brlayar sebagai perisai  didepan, meriam meriam didarat terpaksa bungkam dan membiarkan lancang itu masuk kuala dengan diikuti oleh armada Majapahit.        
Salvo meriam kosongan menandai datangnya Armada Majapahit, diikuti dengan kegemparan kota Tanjungpura yang biasanya sunyi disiang hari seperti ini. Suara kalantaka waktu peperang laut tidak terdengar dari kota pelabuhan itu. Dengan tergopoh gopoh Syahbandar Tanjungpura menghadap Laksamana Wreha Nala. Syahbandar diperintah agar meriam penjaga pelabuhan diputar arahnya kekota. Sambil menunggu Syahbandar Tanyung pura dperintahkan memberikan surat ke Istana kerajaan Tanjungpura untuk sang Raja Marmadewa. Sore hari Hari Paduka Raja dan Laksamana Wreha Nala bertemu di wantilan pelabuhan. Melihat arah meriam pelabuhan sudah dipindah menuju kota, Raja Marmadewa mengajak sang laksamana untuk berkunjung ke Istana, dengan naik tandu yang disediakan, laksamana menolak dia memilih mengendarai kuda yang dibawa dari Majapahit.
Atas ulah para ksatria Tanjungpura yang gagah berani, armada Majapahit harus membakar sekian banyak mesiu dan peluru berapi, maka dari itu sang Prabhu harus mengendalikan para ksatrianya yang gagah berani untuk mengamankan jalan laut dari bajak bajak darimanapun asalnya.  Prabhu Marmadewa harus menanda tangani suatu pernyataan bahwa keamanan laut sebagai jalan perdagangan, Indrapura harus ikut mengamankan perahu perahu yang membawa dan mengambil dagangan  dari dan ke Wilwatiktapura. Setelah surat perjanjian ditanda tangani oleh sang Raja, laksamana Wreha Nala mohon pamit, dan meninggalkan uang emas seribu keping, untuk para ksatria laut yang menjadi korban keberaniannya. Untuk lain kali perbuatan serupa tidak akan diberi kerugian apa apa. Sekian perintah dari Maha Patih Gajah Mada. Raja dan datuk Bendahara Kerajaan sampai terlongong longong tidak tahu apa yang akan diperbuat, Hanya berjanji dengan sunguh dungguh akan memenuhi pesan rakryan Mahapatih Gajah Mada. Mereka berdua memberikan surat perjanjian yang dibawa Laksamana Wreha Nala, sambil menerima kantung seribu keping emas.
Sore itu juga Amada majapahit Keluar dari kuala dan berlayar menuju Pahang.(*)
  







  

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More