Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

5. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 4)

5. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA

Pisowanan  sinoman Kerabat Raja Singhasari

Sinom bahasa Jawa artinya semula daun muda, kemudian  sekarang berarti daun pupus pohon asam (Tamarindus indicus L ) atau daun muda pohon asam yang diperas ainya untuk jamu.
Pada tanggal limabelas bulan lima  tahun Saka, bukan tahun candra, sang raja berkenan supaya para muda  dari  wangsa Girindra ( keturunan Ken Arok dan keturunan ken Dedes menghadap Raja untuk diperkenalkan, karena dikalangan bangsawan jaman itu mereka saling dijodohkan,  jadi keturunan sezaman dengan raden  Wijaya baik dari sisi Ibu maupun dari sisi bapak  akhirnya di puncak pasti merunut ke Ken Dedes atau ken Arok atau keduanya, walaupun  itu dari Anusapati maupun dari Tohjaya.  Ini terjadi tujuh tahun setelah pemuda tanggung Raden Wijaya berguru dan tinggal di Perdikan desa Sendang,  wilayah Watu Kosek, dekat sungai Porong menjadi murid sang Bismasadana.  Ada puluhan pemuda pemudi yang umurnya dibawah  duapulu tahunan, dan ada perjaka tua diatas duapuluh lima tahun bebarapa orang, para putri , yang sudah kawin tidak diundang.
Peristiwa istimewa ini melanjutkan tradisi Sang Ranggawuni dan sang Mahisa Wongateleng yang bisa saling  rukun sesudah generasi sebelumnya saling membunuh akibat kutukan Mpu Gandring.
Sabda resmi baginda Raja Kertanegara, adalah demi kejayaan Singhasari, dharma para putri dan ksatria yang diundang   mengabdi kepada Negara, demi memulyakan para Pitri (leluhur ).
Setelah dengan khidmat mendengarkan sabda sang Kertanegara, Mahapatih Aragani menjelaskan dalam beberapa hari sesudah acara andrawina dan perkenalan dengan Keluaraga Kerajaan, para hadirin undangan diminta untuk membuat karangan singkat mengenai cita citanya untuk kerajaan Singhasari,  kebisaan dan kegemaran masing masing, untuk dipersembahkan kepada Raja,  Kebanyakan undangan disertai oleh pemuda, sahabat dan Orang Bijak,baik dari wangsa Ksatrya maupun dari  Brahmana yang menguasai sastra yang dituakan oleh keluarga masing masing, untuk menjadi Paranpara.
Pada hari yang ditetapkan masing masing undangan secara bergilir dipersilahkan menggelar karyanya di Wantilan Dalam dengan dihadiri oleh Sang Raja, sang Mapatih keluarga dekat Kerajaan dan para nindya mantri.
Dalam menggelar karya tulis ini boleh dalam betuk prosa  dibaca sebagai janturan dalam pedalangan  maupun  puisi  yang diikat dengan tembang, disediakan dua perngkat gamelan dan penabuh istana untuk mengiringi tari sembah, maupun silat sembah,  gending baris, dimana banyak gendang ditabuh  bila dibutuhkan. Ksatrya muda dan Putri mempunyai hak dan kuwajiban sama kepad Rajanya dan Negaranya, oleh karena itu gending yang dipilih juga tidak dibedakan.
Giliran pertama jatuh pada Putra Pangeraan Rakryan Singanabda, salah satu Panglima pasuka Singhasari. Ksatrya berotot dengan tinggi badan limajari lebih diatas rata rata prajurit pilihan, mengenakan lancingan ringkas berwarna gelap dengan penggiran perada sulaman perak sedikit dibawah lutut dengan belahan disamping tigajari bermotif nagapasa. Dodot ( penutup pinggang sampai paha) kain halus batik bermotif gajah oling ringkas manun banyak wiru/lipatan untuk keleluasaan gerak dililit sabuk kulit lembu disamak hitam dengan timang garuda mas. Bertelanjang dada, nampak berkulit cerah dengan wajah cerah dengan celak mata garis tebal hitam dilukis memanjang satu jari di pelipis, berambut tebal di ikat diantas kepala sebagai gelung padat diikat ringkas dengan tali sutra hijau setebal jari. Sangat mengesankan. Degung baris ditabuh dengan gemuruh, Ksatrya Gajah Wiromba masuk kalangan berlari menuju singgasana dengan lutut tertekuk tajam, telapak kaki tidak terangkat  layaknya  meluncur cepat  limabelas depa  mengikuti irama degung yang cepat, telapak dedua tangan didada bersikap mudra, tepat tabuh berhenti Ksatrya jatuh berlutut trus mneyembah,  tanpa bunyi seolah olah lutut yang menumpu berat seluruh tubuhnya ikut jatuh diatas bantal yang tebal menandakan dia akhli tenaga  keras  sekaligus tenaga lunak dan kuda kudanya sangat kokoh. Sang  Kertanegara tersenym dan memberi tanda uutuk mulai. Karya tulis perupa prosa, dibaca dari segulung kulit anak kambing, diiringi gending girisa yang dibawakan dengan lirih.
Dinyatakan bahwa dia pemuda yang belum pernah mempersembahkan jasa apa apa kepada  Baginda dan Singhasari. Tetapi yakin bahwa ketekunan Bapa Ibu dan gurunya melatih ilmu jaya kawijayan ilmu mengerahkan tenaganya  akan mampu menahan   serudukan gajah mengamuk, apalagi hanya serangan pasukan berkuda,  dia dan prajurit Singhasari membuat benteng pasukan yang kokoh bersenjatakan tombak panjang dari kayu  walikukun dan galih kayu gelam dari Sokadana, yang keras dan liat untuk merobek perut kuda kuda gila, tenaga yang tersimpan pada sikap kuda kuda silatnya bagai dinding batu karang yang siap melindngi Singhasari.    
Semua hadirin puas dan mengumandangkan sesanti jaya jaya Singhasari, Ksatrya muda Gajah Wiromba bersembah kililing dan undur diri.

Peserta undangan dari wangsa Girindra yang mendapat giliran menggelar karya tulisnya adalah seorang Putri remaja, dengan perawakan tinggi badan sedang, bekulit seperti warna temugiring, putih dengan semu yang kuning pucat matanya cemerlang seperti mata burung merak bulat dengan pulupuk mata tipis dan ekor mata yang memanjang, alis tipis melengkung dan bulu mata tidak menjolok namun ditebalkan dengan celak yang serasi hidung dan bibir serasi dan tidak besar, mengenakan pakaian para putri dari Campa. 
Sang putri remaja laksana putri bangsawan dari Campa, masuk di kalangan dengan tubuh dan  leher tegak berjalan dengan diiringi ending kinanti, tangan kiri dengan anggun dan lemas memegang tepi selendang dan tangan kanan menganbil posisi laksana pendeta budha, dihadapan  baginda raja  sang putri membungkukkan badan kemudian menyembah. Setelah baginda memberi isyarat, sang putri mengambil kertas sempit dan agak panjang, menempatkan kertas catatan  debagai  dengan posisi solah olah mnimang bayi.
Rebab ( biola hindu ) memberi nada dasar gending macapat dan sang putri mulai menembangkan ikatan syair yang menceriterakan bahwa dirinya adalah warga Singhasari wangsa Grindra dari ayahanda sedang  bundanya adalah putri dari Campa.  Dia mahir bahasa dan tulisan Campa, adat dan kebudayaanya, mulai umur lima tahun diajar oleh Sastrawan bangsa Han bahasa Cina dengan tulisannya sekalian seni sastra Cina dan adat serta bahasa Istana Cina, dia juga mahir bahasa Tartar yang lebih sederhana, bahasa Tartar dia pelajari dalam pelayaran ke Negara Ibundanya  menumpang jung cina beberapa awak jung yang ditumpanginya adalah orang Tartar, dia sanggup menyumbangkan dirinya dengan kebisaannya kepada Negara Singhasari  dengan mengabdikan diri  kepada baginda raja, disamping dia pernah belajar ilmu kalawisa kepada Ni Kalaniti yang tersohor di gunung Lengis, Tuban.   Sang Raja sangat terharu berkenan  bangkit dari dampar mendekati sang putri remaja dan meletakkan tapak tangannya ke pudak sang putri dan membimbingnya mundur. Sunyi senyap di Wantilan dalam, di sesusul dengan suara helaan nafas banyak hadirin.  Bahkan ada seorang nindya mantri tua yang begitu terharu hingga menitikkan air mata.
Pada hari kedua hari ketiga dan keempat banyak digelar ilmu silat dan ilmu kekebalan tubuh, Seorang Ksatrya muda akhli melatih kuda dan melatih burung merpati pembawa berita,    putra wangsa Girindra dari Balega pulau Madura mengutarakan dengan tembang gambuh bahwa kekuatan pasukan berkuda adalah serangan mendadak, akan tetapi bukan untuk menduduki suatu wilayah. Maka itu diperlukan pengiriman berita ke arah Sasaran yang di ketahui jauh lebih cepat daai larinya kuda.
Putra Ksatrya dari Balega Madura ini selesai dan menyembah sang Prabu Kertanergara, beliau hanya mengerutkan kening sesaat, hanya mahapatih Aragani yang meberikan pendapatnya bahwa Singhasari  cukup besar untuk melayani musuh dari sisi manapun perbatasan Negara  untuk sampai ke ibukota tanpa diketahui tdaklah mungkin. 
Sedangkan burung burung merpati yang ternyata bisa menyeberangi laut Jawa kurang berarti untuk mengabarkan berita penyerangan
persembahannya dicatat tapi kurang mendapat sambutan dari bangsawan narapraja yang hadir karena  pikir para bangsawan Narapraja ini keahliaan melatih merpati dan kuda  hanya pantas untuk kaum waisya dan sudra saja, bukan pekerjaan Ksatrya.
Alangkah menyesalnya para Narapraja termasuk mahapatih Aragani bila masih mengingat  persembahan Ksatrya muda dari Balega ini, karena beberapa tahun kemudian dihari yang nahas Ibukota Singhasari ditembus dari utara secara mendadak hanya oleh beberapa ratus pasuka berkuda pilihan oleh raja Jayakatwang dari Kediri, kuda kuda ini diangkut oleh perahu perahu yang dihubungkan dengan geladak menghilir Sungai Brantas diturunkan  di hutan Tarik menyusuri lereng gunung Pananggungan yang banyak asram dan candi candi kaum waisnawa dalam dua malam sudah brkumpul di jurang Baung  pakuwon Plawangan, Dari jurang Baung di Plawangan (sekarang kota Lawang) 15 yojana dari Singhasari  menjelang tengah malan dari Plawangan kuda dipacu kencang lurus keselatan melewati jalan jalan di persawahan yang lagi bero (kering)  upet  baru terbakar tiga jari pasukan berkuda sudah  masuk gerbang kota raja  langsung berpencar  pada tujuan masing masing yaitu Istana dan dalem Narapraja    setelah kedaton porak peranda, istana para Narapraja dikota raja disatroni tanpa sempat mengadakan perlawanan, bahkan tidak sempat bersembunyi atau menakluk, semua dibantai ternasuk mahapatih Aragani dan paduka raja Kertanegara. pasukan berkuda menghilang, Istana terbakar hebat, dalem narapraja rata dengan tanah karena terbakar lebih cepat  tanpa dipadamkam, banyak prajurit jaga yang tembus oleh panah panah yang ditembakkan dari kuda yang berlari kencang,  sedangkan perwira perwira pendekar yang lebih sebat menilai situasi, mendadak saja diikuti oleh “pengawal yang memegang obor ganda  mereka adalah pasukan baris pendem yang sudah ada di Ibu kota sepekan sebelumnya untuk menandai keberdaan pendekar pendekar yang perlu penangan khusus dari penyerbu yang sepadan kepandaiannya.   
Disini di potong ke bab berikutnya.
Pengendara kuda berkepandaian tinggi langsung 
menyerang  sambil meloncat turun dari kuda yang berlari kencang  sebagian lain memanah sambil mengikuti kuda yang kabur ditingalkan oleh penunggangnnya, walau berkepandaian silat yang tinggi, diserang secara demikian  jatuh juga  pendekar Singhasari atau tertembus panah atau kena sabetan kelewang   rakyat digiring oleh pasukan baris pendem  untuk menjaga rumah masing masing sambil memukul kentongan  jangan sampai meninggalkan balai kampung.  
Menjelang fajar semua sunyi, rakyat gemetar melihat istana yang megah dilalap api yang masih menyala dan dan para narapraja rata jadi abu, disana sini isak tangis rakryan ibu para  emban dan selir, putra putri kipeluk oleh para emban. Hilang semua kemegahan narapraja Singhasari yang disaksikan oleh rakyat yang masih gemetar, fajar menyingsing dikota  raja yang dinodai dan dikalahkan.
 Balatentara Singhasari aeperti ular tanpa kepala.  Telik sandi Prabhu Jayakatwang mengetahui presis siapa yang dicari  dan siapa yang sudah dibantai pada hari pertama serangan mendadak. Selain itu bisa diurus kemudian. 
Akhirnya malah sisa sisa Pemimpin Masyarakat Singhasari mengirim utusan ke Kadiri, menyerahka kekuasaan Singhasari kepada sang Jayakatwang tanpa perang.
Singhasari dijadika Pakuwon lagi, Akuwunya diangkat dari  Pejabat Akuwu aebelumnya.
Ini benar terjadi setelah beberapa tahun kemudian setelah pisowanan sinoman kerabat Singhasari, yang bila dinilai dari  bobotnya sangat tidak berarti dibanding dengan kegiatan sehari hari para Narapraja Ibukota Kerajaan*)









0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More