Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

20. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 19)

TERNYATA LURAH BHAYANGKARI WILWATIKTAPURA ADALAH PENDEKAR BERILMU TINGGI ALIRAN BUTONG (Wu-Dang)

Sisi yang tak pernah dicurigai oleh ahli sejarah sekarang adalah kapasitas Lurah Bhayangkari Wilwatiktapura, Mpu Gajah Mada adalah pendekar silat klas tinggi dari aliran Butong.
Meskipun perawakannya gempal, Mpu Mada bisa bergerak sangat gesit, badannya bisa lunak seperti kapas dan bisa kaku seperti besi lonjoran. Kepandaiannya meloncat dengan enteng sulit mendapat tandingan di jamannya. 
Kepandaian beliau ini dapat ujian dikala menelanjangi komplotan yang  membalas dendam dari sahabat Prabhunata Dewarajasasinghanambi, Raja Mjapahit bang Wetan dengan Kota Raja Sadeng sekitat Lumajang sekarang. 
Mpu Mada ingat Kakek Bangkong Gurunya pernah berkata, bahwa jalan raya terbentang panjang dan lebar di nusa Jawa ini bagi orang berkenpandaian tinggi, yaitu lewat pokok pokok kelapa dari pelepah ke pelepah tanpa patah, ternjata pelepah pelepah nyiur ini cukup kuat, tanpa kuwatir jatuh, bila di negeri China rumpun bamboo di Jawa berupa pokok kelapa, maka pemuda Gajah Gombak mulai berlatih meloncat dari pokok kelapa satu ke pokok ke pokok yang lain zigzag dengan berbagai posisisi, 
Pemuda tanggung Gajah Gombak melihat kelakuan daun daun kelapa saat ada angin besar, jarang yang patah, melainkan meliuk liuk, jadi dengan ilmunya meringankan tubuh meggunakan tenaga dalam, pelepah pelepah kelapa ini layaknya dipemainkan angin prahara  saja. 
Latihan ini dipertegas oleh sang Guru, karena seorang Pendekar harus bisa bergerak cepat tanpa diketahui orang. 
Akkhirnya pemuda Gajah Gombak mengetahui sifat pokok dan dauh kelapa bila kena angin basar tidak pernah patah dan dia meloncat dari pucuk ke pucuk pohon kelapa tidan pernah mematahkan tangkai daunnya.
Pada suatu malam yang sangat gerah, Mpu Lurah Bhayangkari ini tidak bisa tidur, dan ingat latihannya waktu masih muda, dia mencoba melompat bertengger pada pelepah daun kelapa, ya, karena selama dua belas tahun pemerintahan Raden Wijaya ditambah dengan dua tahun tahta Majapahit diduduki pewarisnya Kalagemet , pohon kelapa disana rata rata umurnya kurang dari dua belas tahun, banyak yang sudah berbuah berjenis kelapa puyuh dan yang berjenis kelapa dalan belum berbuah, 
Disekitar huniannya, dekat dengan wantilan Agung,  pohon kelapa puyuh ditanam sepanjang pagar, ternyata benar, pokok kelapa merupakan jalan raya daun daun  kelapa berada sambung menyambung tanpa mengenal batas rumah maupun kampong, bisa dilompati dengan mudah, seolah olah jadi jalan pribadi untuk mereka yang berkepandaian. 
Mpu Lurah Bhayangkari mendapat laporan bahwa ditimur kota, berdampingan dengan kampong yang dihuni  mereka yang datang dari wilayah Sengguruh ( sekarang Malang) sering didatangi tamu misterius yang datang pada pagi dan siang hari, sesudah itu tidak pernah kelihatan keluar lagi. 
Kebetulan di muara jalan kampong yang bersih tetapi tidak lebar ini ada serang berjualan ronde (minuman hangat dengan jahe dan santan) pada sore dan malam hari, bila siang mulai pagi pagi warung kecil ini berjualan bubur Madura, Suami istri yang berjualan ini adalah pembantu telik sandi yang memang ditempatkan disana oleh bawahan Mpu Mada. 
Karena Sengguruh menjadi pusatnya kaum Bhairawa dan Mpu Mada ingin tahu seberapa besar bahaya pengaruh kegiatan mereka ini terhadap keamanan dan ketenteraman Wilwatiktapura. 
Ternyata barisan pohon kelapa bisa menghubungkan tempat dia berdiri tenang diatas pelepah kelapa dengan garis lurus menuju ke kampong orang Sengguruh. 
Sekali enjot pelepah kelapa yang menjadi tumpuan dia berdiri dia melompat ke pokok kelapa lain di arah tenggara kira kira sepuluh depa, terus ke pelepah pokok kelapa berikutnya sambung menyambung, ternyata dia belum lupa bagaimana melompat lompat diantara dedaunan dan pelepah kelapa, kadang perlu menjusup rendah kadang harus dihinggapi dari atas sambil berjumpalian, menambah kegenbiraan sang Mpu Bhayangkari. Ternyata kampung orang Sengguruh tidak besar, sepetak yang dikelilingi jalan raya masih bercampur dengan orang Banyuwangi, sebagian jadi tegalan karena masih kosong. Di halaman kosong ini warung minuman hangat ronde berada. 
Karena sudah lewat tengah malam, warung ronde ini sudah tutup, dan berada dibawah pokok kelapa dimana Luran Bayangkari berada dua kakinya memijak pelepah yang masih muda masih tumbuh menuju ke atas layaknya berdiri diantara mata gunting. 
Sambil memnfaatkan dedaunan untuk menyamarkannya dari  mata orang, karena pokok kelapa disitu tidak tinggi hanya lebih kurang empat lima depa, tetapi berdaun lebat. 
Mendadak ada dua sosok berpakaian ringkas, memakai ikat kepala kain hitam, meloncat dari rumah Kelabang Kuti ke dahan atas pohon kenanga besar, rupanya pohon peninggalan hutan yang sengaja tidak ditebang, trus melesat ke barat lewat atas pepohonan, tiga depa diatas sang Mpu bertengger diatas dededaunan kelapa yang tegak keatas.
Mpu Bhayangkari segera menjejakkan salah satu kakinya ke pelepah kelapa yang diinjaknya, sementara pelepah itu mengayun kembali ke asalnya sang Mpu Bhayangkari sudah lenyap kebarat mengejar dua orang berilmu tinggi yang mencurigakan itu. Dari Ranting pepohonan yang masih bergerak aneh Mpu Bhayangkari tahu persis jejak para pejalan malam yang mencurigakan ini. Ternyata dua pejalan malam itu lenyap di rumpun bambo kuning yang tumbuh di dalam halaman rumah Ra Tanca, tabib kepercayaan sang Kalagemet yang kini adalah Mahaprabhu Jayanegara. 
Kejadian itu tepat tiga hari sesudah Lumajang jatuh dan raja Prabhunata Dewarajasasinghanambi gugur dalam peperangan dalam upaya menembus kepungan pasukan dari Kadiri, yang dipimpin langsung oleh Sang Mahaprabu Jayanegara. Merpati pos belum datang dari pasukan penyerbu ini ke Majapahit, jadi seluruh Wilwatiktapura belum mengerti akan kemenangan Rajanya, termasuk Mpu Mada. 
Mpu Lurah Bhayangkari merenung di kesunyian dedaunan pokok kelapa, ada hubungan apa gerangan antara Kelabang Kuti dan Ra Tanca, sehingga Kelabang Kuti sampai mengutus dua orang berilmu tinggi ini mengunjungi secara rahasia di kegelapan malam ? 
Orang yang terkemuka dikalangan  pergaulan Petinggi Narapraja Majapahit, tabib pribadi Mahaprabhu Jayanrgara, yang bisa keluar masuk peradauan Mahaprabhu yang masih bujangan ini Sang Mpu Bhayangkari memutuskan untuk balik pulang ke Istananya, dekat Wantilan Agung secepat angin puyuh hanya menyisakan dedaunan kelapa yang dilewatinya kembali ke bentuk semula. 
Setelah membersihkan diri dengan air hangat yang berasal dari tempayan besar yang diletakkan diatas api tumang  untuk memanaskannya siang malam, supaya sang Mahapatih pergunakan setiap waktu dengan mengalirkannya ke kulah pemandian yang terbuat dari batu pualam hadiah Kaisar Tiongkok, sebagai balasan dari kiriman hadiah kayu cendana kayu gaharu yang di China sangat dihargai tinggi. Mpu Mada mengeringkan dirinya mengeringkan rambutnyayang sudah mulai beruban, mengenakan jubah kebrahmanan dan langsung masuk Sanggar Pemujaan, 
Sebagaimana kebiasaan kaum Brahmana. Dalam benaknya masih terlekat pikiran ada hubungan apa antara tokoh yang meragukan seperti Kalabang Kuti dengan Ra Tanca, seorang Tabib terhormat di Wilwatiktapura, berkat kedekatannya dengan Sribaginda Jayawardhana, sebagai tabib pribadi Raja.
Dalam Samadhi sayup sayub Nampak peta pulau Madura, segera sang empu menyudahi samadhinya, memuja para Pitri, dan berangkat ke peraduannya sudah hampir pagi.
Kebetulan hari itu hari Anggoro Kliwon, hari penghadapan tebatas, Mahaprabhu Jayawardhana dengan Penasihatnya Ibu Suri  Tribhuaneswari, putri Narendraduhita, Jayendra, Gayatri, dan Lurah Bhayangkari mpu Mada. Senyampang tidak dihadiri oleh Sang Mahabrabhu Jayanegara karena masih memimpin penyerbuan ke Lamajang. Sayangnya tidak dihadiri oleh dua adik lelaki empat bersaudari ini, seolah olah olah mereka lagi bercengkerma perkumpul para pendiri Majapahit, yang  sudah berkurang satu Raden Wijaya. 
Di pertemuan istimewa itu Mpu Mada sebagai   Lurah Bhayangkari Kerajaan menceriterakan sambil merenung, ada hubungangan apa antara tokoh hitam Kelabang Kuti dengan Ra Tanca, orang dekat putra mereka sang Kalagemet. Mendadak Putri Gayatri seperti biasanya menghubungkan naman Ra Tanca dengan Lora Tanca, artinya panggilan Ra adalah singkatan dari Lora, panggilan kehormatan orang Madura pada Pemimpinnya, Apa Ra Tanca orang Madura ?. Selanjutnya sang Putri Gayatri mengingatkan saudari saudarinya bahwa sewaktu lari dari Pakuwon Puwosari, ada dua emban yang ikut, salah satunya diperisteri oleh Prajurit penamping Raja yang sudah meninggal. Dia sering mendengarkan gossip dari para emban dan wanita Kedhaton Sumenep, barangkali ada hubungan dengan Lora Tanca, maka perlu untuk Mpu Mada mampir ke Kaputren menemui emban itu, menanyakan hal ihwal mengenai Ra Tanca, secara smbil lalu diatara canda, agar tidak mencurigakan.
Betapa terkejutnya Lurah Bhayangkari dan putri Gayatri, Si Emban yang setia ini langsung saja menceriterakan bahwa menurut gunjingan rahasia para wanita istana Sumenep, Rahadyan Wraha Nambi adalah putra Ra Tanca, yang diambil oleh Permaisuri Aria Wiraraja semenjak bayi kerena sang putri tidak punya anak laki laki,  sedangkan Lora Tanca adalah sepupu dari ibu lain dari istri  Aria Wiraraja yang pertama. 
Mendengar uraian yang didengar oleh  Putri Gayatri dan Lurah Bhayangkari, menutupi pengetahuan mengejutkan ini dengan canda seadanya kepada si Emban Tua ini, dan mereka berdua segera meniggalkan emperan dapur istana. Lurah Bhayangkari merasa menelan duri di tenggorokannya dan putri Gayatri tidak bisa berucap sampai beberapa saat. Aka  kesulitan besar menjaga keselamatan Prabhunata Jayawardhana untuk memisahkan baliau dari tabib pribadinya. 
Hal ini perlu segera dilakukan sebelum Sang Mahaprabhu pulang dari pernyerbuan ke Lamajang dengan berhasil atau tidak, kok sampai terlanjur memerangi putra Ra Tanca. Mahaprabhu Jayanegara ada dalam bahaya besar, tanpa putri Gayatri mampu memberi tahu kakaknya Ibu Kandung dari Kalagemet. 
Keadaan saling hubungan dianatara Pelindung Kerajaan Lingkaran dalam Kedaton Majapahit , sangat tegang, dalam usahanya menjauhkan Mahaprabhu Jayanegara dari tabib Pribadinya, Ra Tanca. Atas perintah Tetua Kerajaan, Ibu Suri, dan tiga saudarinya, Ra Tanca diutus mengobati Ibu Bupati Wrasaba yang mendadak tidak bisa bicara dan tangan kakinya  lumpuh, beliau sahabat kental mereka. Tidak perlu tergesa gesa pulang ke Wilwatiktapura sebelum si sakit menunjukkan kemajuan. 
Tiga hari setelah Ra Tanca berangkat ke Wirasabha, baru ada kabar dari merpati pos yang dibawa pasukan Kadiri Bang Kulon ada empat puluh ekor dikirim ke Kadiri, dari Kadiri segera lain kelompok burung merpati pos dikirim ke Wilwatiktapura yang bisa mencapaWilwatiktapura hanya lima, satu diantarnya luka parah akibat serangan burung pemangsa, dapat diduga sepanjang jalan dari Lamajang ke Kadiri disambung dengan lain sarang merpati pos ke Wilwatiktapura lewat pegunungan dan hutan rimba yang penuh dengan burung pemangsa, jadi sudah untung bahwa lima burung dengan pesan yang sama  bisa kembali, bahwa Lamajang jatuh dan Rajanya gugur dalam pertempuran. 
Belum sampai ada upaya yang tepat untuk memisahkan Baginda dari Ra Tanca, sang Tabib pulang ke Wilwatiktapura dengan diam diam. Hari itu juga melakukan pembunuhan terhadap Mahaprabhu Jayanegara. Ra Tanca menyerahkan diri kepada Bhayangkari yang menjaga Raja, kabar Raja dibunuh segera dilaporkan kepada Ibu Suri, oleh Lurah Bhayangkari, dalam detik itu seluruh Kerajaan telah tau bahwa Mahaprbhu Jayanegara telah dibunuh oleh Ra Tanca tabib pribadhi belau. Ibu Suri Tribuaniswari, jatuh sakit berat disertai pingsan selam dua hari. Putri Gayatri masuk ke Biara jadi Bhiksuni. Tahta diberikan kepada Putri sulung  Gayatri yang bergelar Prabhustri Teribhuanatunggadewi. 
Dialah yang mengangkat Mpu Gajah Mada menjadi Mahamantri, Cajah  mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal “Sumpah Palapa” untuk mengobati luka bathin yang dalam, dan menyalahkan diri sendiri, bahwa seorang yang berjiwa Brahmana seperti dia, sebenarnya  tidak cocok untuk jadi lurah Bhayangkari. Karena berdasarkan keterangan yang belum dicocokan dengan pemeriksaan terhadap si tersangka sendiri, orang tidak bisa dihukum berdasarkan keterangan orang lain, tanpa pengakuan sendiri dari si tersangka dari hasil pemeriksaan. Mpu Mada sangat menyesal kanapa tidak segera mengambil tindakan yang keras misalnya penahanan, atau membunuh diam diam  Lora Tanca, berdasarkan keterangang Emban Tua dari Purwosari itu, bahwa dia adalah Bapak yang sebenarnya dari Wraha Nambi, bukan Sang Aria Wiraraja. 
Ini demi keamanan Sang Raja. Nasi sudah menjadi bubur, Keluarga Wijaya menderita dukacita hebat, tapi Wilwatiktapura sudah menjadi Negara besar, menjamin ketertiban dan nafkah seluruh wilayahnya yang sangat besar dan berpenduduk sangat banyak, Wangsa Kartarajasa harus mempertahankan tahta agar Negara tidak mengalami kekacauan. 
Mpu Mada merasa harusmenjalankan kewajibannya untuk mempertahankan Negara ini, maka “Sumpah Palapa” diucapkan: Isun  hamukti palapa….. amun huwus kalah ring Nusantara………….*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More