Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

3. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 2)

3.MQATAHRI TERBIT DI WILSWTIKTAPURA

DAPUR ISTANA DITENGAH HUTAN JATI
Hari ini rombongan penebang dan penyarat glondong jati, yang terdiri dari tigapupuh orang, berangkat dari pakuwon Mada agak siang, karena letak pohon yang dituju hanya dua belas yojana. Dalam rombongan termasuk tiga pasang sapi zebu dan peralatannya, dan lima ekor anjing pemburu, Kliwon Cenik dan  Pon Burik  ada diantara rombongan. dua orang ini tidak diingat namanya bila tidak mempunyai kepandaian istimewa, yaitu mencari bahan makanan ditangah hutan yang gersang, tapi kebetulan saat itu permulaan musim penghujan. Tiga puluh orang ini berangkat dengan membawa segala peralatan menyarat gelondong jati yang beratnya puluhan ribu kati, juga belanga dan piranti masak dari tembaga yang mahal harganya, cukup untuk menyediakan makan buat tiga puluh orang dan lima anjing dibagi dalam tiga kelompok. Nampaknya tidak ada yang ngaggur bahu dan tangan mereka, bila tidak punggungnya mengusung sesuatu alat , pundak mereka memikul sesuatu beban yang tidak kurang dari tigapuluh kati, kecuali anjing anjing pemburu, yang mengikut tanpa tali dan bebas beban apapun.
Rombongan ini jadi istimewa karena dipimpin sendiri oleh Gajah Gombak, putra Mpu Curadarmayogi. Makanya si Pon Burik dan Klion Cenik ikut dalam rombongan, Yang satu ahli menangkap segala sato wana, walang atogo, yang satu lagi ahli mencari tumbuh tumbuhan yang bisa dimakan dan enak. Pon Burik memikul jala dan tali temali, Klion Cenik memikul belanga tembaga besar  kecil, persis seperti orang mau jual dawet.
Segala keperluan yang lain telah disediakan oleh hutan rimba, kecuali garam, tuak dan soma, yang sangat mahal harganya karena didatangkan dari Atas angin, makanya dibawa hanya  tiga butir masing masing sebesar kemiri termasuk bungkusnya dari lilin tawon yang tebal, dibawa oleh pemimpin rombongan dengan hati hati.
Rombongan berjalan masuk hutan sambil mencari untuk masing masing tumbuhan yang sangat pahit untuk mengusir nyamuk dak pacet, sambiloto, digosok gosokkan keseluruh tubuh mereka sambil jalan, sebentar saja mereka sudah lenyap ke barat ditelan hutan yang baru bersemi.  Waktu matahari tinggal tiga jengkal dari ufuk barat yang juga diselimuti mendung  tipis mereka sampai dipohon jati yang dituju. Aneh dimata mereka pohon itu istimewa, karena gelondongnya nyaris tidak bercabang dibawahnya, dan senjakala tertimpa matahari dari barat berwarna keputih 
putihan, terpisah dari latar belang hijau yang cenderung gelap,  kebetulan disebelah baratnya agak terbuka dari pohon besar, karena rupanya entah berapa puluh tahun yang lalu pernah dirambah orang  untuk  berhuma. Disitu ada beberapa puluh tegakan jati kira kira umur empat puluh tahun, dan rumpun pisang yang  porak peranda, karena habis deserbu babi hutan. Dipinggir  bekas hunian peladang huma ini ada pohon pucung yang buahnya masak dan bijinya berceceran di tanah, yang tidak luput dari pandangan si Klion, dan tidak aneh ditempat dia berdiri ada pokok jeruk purut selingan, si Klion memegang pokok jeruk purut ini sambil tersenyum.  Di lahan itu juga tidak sulit ditemukan segala empon empon (rimpang obat dan bumbu (familia Singiberaceae) mulai dari kunyit,  laos, jahe puyang, ditempat yang agak terlindung masih tumbuh kencur dsb, termasuk lombok rawit, yang tumbuh disisa bekas dapur yang masih ada sisa abunya.
Karena lokasi itu agak terbuka, segera semua orang meletakkan bebannya dan mulai berkerja, ada yang mendirikan pondok dengan atap dedaunan  palem hutan dan daun pisang hutan, ada jang mulai membuat api,  ada yang mencari sumber air, menurut petunjuk Gajah Gombak  sang pemimpin, agak ketimur laut  sebentar ada sendang yang jernih dan segera dua orang kesana untuk mencari air dengan membawa dua kantong kulit kambing masing masing. Sore itu mereka makan bekal dari rumah masing masing, yang terdiri dari nasi dilapisi daun pisang, ( rupanya sewaktu panas di ratakan di daun pisang setebal dua buku jari, setelah agak dingin lalu digulung erat  erat dikedua ujungnya di jepit dengan  penusuk bambu dikedua ujungnya, cara ini membuat nasi awet tidak bau dan lauk seadanya kebanyakan ikan asin dan sambal, beralaskan dedaunan, nampaknya nikmat sekali.
 Kedua kawan kita sudah pergi entah kemana, yang satu dengan anjing anjing, yang satunya lagi pergi kebawah pohon pucung, dan berjongkok agak lama satu tempat lain,  rupanya sedang mengali empon  empon, peninggalan pemukim huma itu puluhan tahun yang lalu, trus tumbuh meliar, selama hampir empat puluh tahun. Rupanya Klion Cenik lagi beruntung, hampir semua bumbu ada, termasuk  rumput sereh!
 Lain halnya si Pon, selang beberapa waktu, sekira menjelang tengah  malam dia datang dengan memikul dua ekor kijang yang terikat kaki kakinya di pikulan, sedangkan jala-nya dia tinggal tergulung ditengan hutan.  Anjing anjing ikut meramaikan suasana. Selang beberapa menit anjing anjing dapat bagiannya segala usus dan isi perut kedua kijang itu dan mereka lagi berpesta duluan.
Tulang dan daging kijang segera direbus dalam ketiga belanga tembaga,  menjelang pagi api unggun sudah mati dan daging kijang yang direbus sudah masak baru diberi bumbu oleh si Klion, rupanya bumbu rawon, yang ditumis dengan minyak kacang !                                    
Ternyata tidak rugi dia membawa satu buli buli  minyak kacang, untuk dipakai  pada kesempatan yang baik, rupanya kesempatan itu saat ini, kapan lagi dia menyertai Gajah Gombak. Minyak kacang untuk menumis bumbu rawon, siiip. 
Pagi pagi sekali seluruh hutan  mencium bau harumnya rawon si Klion. Membuat beberapa orang anggauta rombongan yang penakut  berdiri bulu kuduknya, hanya buyar rasa takut mereka, mengingat bahwa si Burik kemarin malam telah mendapatkan dua kijang,  tapi kok aneh mereka berdua bisa mengolah rawon ditengan hutan ini. Tidak menyangka bawa bumbu apa yang ditingalkan oleh penghuni huma empat puluhan tahun yang lalu, malah tumbuh menyemak, hanya orang  yang seperti Klion Ceniklan yang bisa memanfaatkan harta karun  itu.               
Semua anggauta rombongan sarapan sekenyangnya.
Bila tidak ingat akan siang kapan mereka perlu makan lagi, belum tentu seberuntung ini
Nati siang masih butuh makan lebih banyak, semua rawon maunya disikat pagi itu juga. Rombongan penyarat gelondong jati biasa mulai bekerja pagi pagi benar, tali temali direntang, tegakan jati yang sudah dikeringkan selama setengah tahun dipanjat lalu diikat bagian atasnya dengan tali lebesar lengan anak anak, menjulur kearah mana dia harus direbahkan. Sapi sapi penyarat disiapkan dengan pasangannya, jalur lintasan  yang telah direncanakan Gajah Gombak  semenjak kayu itu di kupas kulitnya untuk dekeringkan, mulai dirintis dengan bantalan kayu rimba mumbujur Jalur lintasan, sebagian orang membuat roda roda dari kayu bulat dipotong sedepa dengan garis tengah yang agak sama, sekira  tengah hari jalur sudah siap dua ribu depa. Beliung kapak dan kelewang dengan sebat bekerja, menjelang tengah hari tegakan jati yang sudah dikering setengah tahun berdebam  tumbang  kearah yang ditentukan, tinggal dipotong segala cabangnya ternjata wutuh gelondong itu lurus bisa mencapai 12 depa, panjang dan  agak melengkung dengan busur yang nyasis kentara. Bagian luar gelondong jati kira kira empat lima jari, adalah kayu luar yang berwarna cerah, tidak ada gunanya 
untuk diikutkan dalam pengolahan gelondong jati untuk jadi balok atau papan, karena kayu “putih”  masih terlalu muda,  bagian dalam berwarna tua sampai kehitaman, inilah yang menjadi dasar bahan kayu olahan.
Dibagian luar gelondong ini dibuat  banyak takik untuk tempat tambang tambang besar diikatkan dan juga lubang lubang untuk  menancapkan kayu,  mendorong dan mengarahkan gelondong disarat  sepanjang alurnya.   Gelondong selalu disarankan mrenyarat gelondong jati  dengan  bagian kayu yang terbawah di depan. Sang Pandega berdiri di bagian ini tengan berpengang pada kayu yang ditancapkan pada pangkal kayu gelondong, bila delondong agak sedikit tidak lurus tapi membentuk lengkungan sedikit, maka bagian luar lengkungan itu di arahkan dibawah bergeseran dengan tanah. Tali temali  derentangkan dengan tiga pasang sapi benggala, dengan rantai rantainya. Penyarat yang tigapuluh orang itu sudah membagi kerja dengan sendirinya, ada yang membuat  “rel” ada yang memasang gelondong kecil “roda”  tinggal mengungkit gelondong besar itu keatas roda. Setelah semua paripurna, gelondong mulai ditarik sapi sapi dan didorong oleh sebagian besar penyarat, hanya Gajah Gombak yang naik diatas gelondong berpegangan pada kayu  kemudi, kali ini dibelakang  gelondong besar. Setelah semua pada tempatnya,  gelondongong mulai ditarik, terdengan bunyi lecutan cambuk pada sapi sapi berponok dan,,,,,,,,,nampak ringan saja glondong itu bergerak maju, disertai sorak sorai ketiga puluh orang tukang sarat  dan gonggongan anjing  anjing melampiaskan kesenangan. Empat  atau enam orang memindahkan roda kayu bulat yang telah dilewati, cukup berat di angkat dua orang, diletakkan didepan gelondong yang lagi disarat, bagitu seterusnya. Rintisan rel dari kayu kayu rimba tiga ribu depa telah dilewati dengan selamat dan ringan, kerena arah  rintisan  yang agak miring kebawah, matahari sudah tiga perempat lengkung langit, mereka siap siap untuk beristirahat, makan siang dan makan malam jadi satu. Memang sejak dulu kaum petani di pedesaan makan duakali sehari, pagi pagi makan sisa kemarin malam, dan tiga perempat  hari siang  mengolah hasil pengumpulan makanan sejak pagi. Kali ini klion dan Burik tidak begitu beruntung, karena mereka hanya memperoleh ubi hutan cukup banyak, satu landak yang kesiangan  dan sebakul sarang tawon gung yang berisi larva tawon dan sedikit madu.
              Sisa bumbu yang oleh Klion kemarin terkumpul masih banyak, hanya dipilih lengkuas, kunyit, sekali lagi sisa minyak kacang dari desa. untungnya sekitar situ dihutan masih banyak popon salam dia ambil dua gengggam, masih ada kedondong hutan yang buahnya kecil kecil dan daunnya berasa asam, dia ambil daun kuncupnya artinya secukup lengannya memeluk. Ubi mereka bakar dengan dibenamkan di abu, sedang  tiga  tempayan tembaga cukup buat  mereka semua, 
Lenkuas yang dipukul pipih segenggan setiap tempayan dauh salam  segenggam setiap tempayan,  kunyit  yang sudah nyaris        hancur karena dilindas batu,  dan garam, semua dimasukkan kedalan tempayan berisi  sepertiga bakul larva tawon gung dan daging landak, kemudian daun kedondong hutan yang masih muda,  lombok rawit wutuh llima geggam setiap tempayan dan madu yang masih bercampur baur dengan sisa rumah lebah, seadanya, lalu didihkan sekali lagi, hasilnya sungguh sungguh aroma yang menggugah selera ( munkin aroma daun kedondong  Lombok rawit  daun salam dan serta aroma larva tawon).
                             Langsung masing masing orang mencari wadah, entah dari bambu, entah dari daun talas hutan dan sebangsannya untuk antri  mencedok sayur larva lebah gung dengan kuahnya,  menghantar ubi hutan ba kar, mereka sangat mengagumi kepandaian si Klion, minum kuah dari wadah  masing, dengan lidahnya berkecipak puas, meskipun makan sore hanya ubi bakar dengan seekor landak dan sayur larve lebah tawon gung  untuk tiga puluh orang, dengan kuah banyak, tapi justru rasa enak itu di bumbu dan sayurnya.
Sampai sekarang sayur asem asem daging menjadi menu unggulan di warung makan atau restoran sepanjang jalan utama di Bojonegoro, yang rasanya segar agak asam dan pedas.
Kembali ke dua ribu depa penyaratan gelondong jati sudah dkerjakan dengan rapi, matahari sudah tinggal dua jengkal dari ufuk barat, semua penyarat sudah puas makan ubi dan asem asem daging landak ditamah larva tawon, semua puas dan mulai meyiapkan tempat untuk tidur dengan menganyam daun daun palem, membuat gubug dari kayu hutan dan dedaunan agar bisa menjadi tempat berteduh bila mendadak hujan turun, sebab masa sudah memasuki musin hujan. Mereka pada minum tuak dan makan sisa ubi, hingga akhirnya semua pada mengantuk meski matahari barusan tenggelam. Ada yang gemar uro uro, artinya mendendangkan lagu kebetulan iramanya dandang gulo, disambung dengan kidung yang menjadi penjaga diwaktu malam, hanya untuk mempercepat mereka yang sudah mengantuk kepayahan dan pengaruh tuak.
Tidur datas anyaman daun palem yang digelar sembarangan diatas dedaunan yang berjatuhan di hutan yang ternyata hangat, dedaunan bagsanya sambiloto yang sangat pahit untuk mengusir nyamuk yang digosok rata dikulit, menjadikan para penyarat ini tidur pulas laksana raja raja yang tidak memikirkan apa apa, seputar api unggun.
      Besok paginya, lintasan harus disiapkan  agak menyerong ke utara, meskipun mengurangi penurunan yang landai tapi penghindari rawa rawa  yang memanjang ke timur yang tidak pernah mereka ketahui dasar dan kedalamannya.
Menjelang siang penyaratan agak terhambat dengan rintisan yang agak menanjak, tapi apa lacur,  gelondong malah  melenceng, dari rintisan yang melambung menjadi rintisan yang lurus, menuju ka rawa rawa, yang memang tidak direncanakan. Gajah Gombak tetap berdiri di buritan kelondong sambil berteriak memberi aba aba, apa boleh buat, gelondong sudah terlanjur meluncur dengan perlahan meluncur  sendirinya lurus kearah rawa rawa. Sebelum meluncur cepat Gajah Gombak neretas tali temali sapi sapi penyarat, dengan goloknya, sampil tetap berdiri diatas delondong yang mulai cepat luncurannya. 
Gajah Gombak sendirian menjaga keseinbangan badannya diatas gelondong yang meluncur makin cepat, diikuti oleh rombongan penyarat. Rombongan tertinggal dari kecepatan luncuran gelondong, hanya Gajah Gombak sang pemimpin rombongan tetap berdiri diatas gelondong dengan mempertahankan keseimbangan tubunya meloncat kedepan kebelakang dengan ringan, rupanya member arah lucuran ke tempat yang agak renggang dari pohon pohon besar, langsung meluntur tercebur ke rawa.  Karena daya luncur yang besar, delondong terdorong sampai ditengah rawa dengan Gajah Gombak tetap diatasnya. Begitu rombongan penyarat sampai ditepian rawa, Gajah Gombak berteriak, sudah turun dari gelondong berdiri ditengah rawa dengan kedalaman air sedada.
Ternyata dasar rawa ditengah berpasir dan agak keras, Cuma berlumpur senata kaki.
Rawa yang membujur ke timur itu ditengah dasarnya tidak berlumpur, dan dangkal dengan kedalaman sedada orang dewasa. Keadaan rawa seperti  ini,  tidak pernah dibayangkan oleh para penyarat.
Semula rombongan para penyarat agak takut masuk ketepian rawa, mereka membuat tongkat dan mencoba kedalaman lupur di pinggiran, ternyata lebih dari sedepa. Apa boleh buat, untuk memperoleh kembali gelondongnya mereka menebang pokok randu dan pokok dadap yang ringan untuk jembatan menuju ke tengah rawa dimana Gajah Gombak duduk digelondong yang muncul dari air sedikit saja, tanda bawa gelondong jati kering ini berat. Akhirnya dengan pertolongan pokok randu alas yang besar rombongan peyarat berhasil sampai ketengah rawa yang dasarnya ternyata keras.
Dengan sebat mereka membuat jembatan dari rakit dari pohon pisang hutan, pokok randu dan pokok dadap  untuk menyelamatkan gelondongnya kalau kalau tenggelam setelah lama tercelup diair.
Ternyata tidak, mereka mulai menarik gerondong ketepi tapi sebatas dimana mereka bisa berjalan diair tanpa terganggu  yang makin ketepi makin dalam lumpurnya, Dengan tegar sang Pandega memutuskan untuk mengikatkan gelondong randu sebagai pelampung, dan menyarat diatas air dengan rombongannya, menuju ke timur.
Rawa itu memanjang ke timur  dengan dasar yang sama ditengah agak berpasir dan keras, Gajah Gombak menuntun rombongan di depan, memilih kedalaman air se pusar dan lumpur yang di injak tidak dalam.
Akhirnya penyaratan di rawa mencapai sepuluh ribu depa ditempuh dengan sangat ringan,  hanya gangguan lintah lintah, yang dihadapi 
Anehnya, sang Pandega, Gajah Gombak tidak digigit lintah, kulitnya yang basah kecoklatan mengkilat ditimpa sinar matahari, akhirnya ternyata tepian timur rawa itu sudah dekat dengan Bengawan Solo, tinggal setengah hari penyaratan.
Menyaksikan kejadian ini diam diam rombongan penyarat ini percaya bahwa sang Pandega mempunyai ilmu yang tinggi, dengan meretas tali temali sebesar lengan secepat itu, maka sapi zebu penyarat bisa diselamatkan dan cara Gajah Gombak dengan entengnya berdiri di glondong puluhan ribu kati mengarahkan luncuran supaya tidak menabrak pohon kayu hutan langsung  meluncur ke rawa.
Untuk seterusnya rintisan lewat tengah rawa ini dipakai oleh ratusan rombongan penyarat, sehingga tegakan jati dibarat desa pakuwon Mada nyaris habis digantikan dengan huma dan tanaman muda.(*)


\




                          



                            
                                 

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More