Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 07 Agustus 2013

17. MATAHARI TERBIT DI WILWATIKTAPURA (SERI 16)

JATUHNYA JAYAKATWANG DARI SINGGASANA KADIRI DAN KEKOSONGAN KEKUASAAN DI BHUMI MPU SINDOK


Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, bawa Kerajaan Mataram Hindu, yang terletak dikaki gunung-gemunung  yang subur dan indah, diantara lembah dan gunung Merapi Merbabu dan  pegunungan Dieng., Akhirnya ada bencana besar dari ledakan gunung Merapi yang memuntahkan lava dan “wedus gembel” yaitu awan sangat panas dan meluncur sangat cepat sepanjang lereng berpenduduk petani dengan sistim pengairan sawah berundak  yang mrnjadi bagian besar dari pedukung ekonomi Kerajaan Mataram  Hindu. 
Anehnya juga, kali ini ledakan besar itu menyamping, meledak kesisi lerengnya, tidak seperti biasanya kearah mulut kepundan dipuncak, jadi kurang lebih meledak kearah atas, kali ini  banyak menyaping ke timur. Sidang darurat segera diadakan setelah Mahapralaya , kiamat kecil ini, ternyata sebagian besar penduduk persawahan yang subur telah tersapu “wedus gembel” awan yang sangat panas campur debu vulkanic, persawahan dan desa desa akan sangat sulit dipulihkan. 
Sesudahah bdeberapa tahun lewat, bencana besar yang menyebabkan mahapralaya ini, Kepala Keluarga besar Kerajaan Hindu yang ada di Jawa Tengah Empu Sindok, memutuskan memindah kerajaan mereka ke Timur. 
Sesudah penelitian para Brahmana dan Ksatria, mereka sependapat di dataran antara Gunung Bromo dan kumpulan gunung Arjuno Anjasmoro dan Welirang, dilereng Tenggara Gunung Pananggungan. Mpu Sindok membentuk wangsa Isyana dengan sederetan penerusnya antaranya Raja yang terkenal Sang Airlangga, kemdian kerajaan dibagi dua Janggala dan Kadiri.
Dalam perjalanan waktu, timbul pusat kekuasaan baru, di Tumapel, dengan Ken Arok sebagai pendiri wangsa Girindra, wangsa ini ditabalkan jauh sesudah pendirinya sendiri meniggal, antara lain   oleh kekuasaan Kerajaan baru. Pendukung berdirinya wangsa ini adalah Mahaprabhu Kartanegara yang telah menaklukkan Bali dan Kerajaan di Sumatra.
Setelah Sang Jayakatwang, jadi penguasa Kerajaan Singhasari, dengan sendirinya jadi yang dipertuan dari Negara Singhasari dan Kadiri. Singhasari jatuh  oleh serbuan kilat pasukan berkuda dari Kadiri. Maka di Bhumi jang diberi arti oleh Mpu Sindok menjadi tanpa penguasa yang pasti.
 Raden Wijaya, sebagai sang menantu dari Mahaprabhu Kartanegara, yang mati mengenaskan oleh serbuan kilat pasukan berkuda sang Jayakatwang, penguasa Kadiri, kemudian Raden Wijaya diampuni menjadi bawahan sang Mahaprabu yan baru setelah berkutat dalam pelaraian yang panjang. Faktanya dialah sosok yang ada di pusat pusaran peristiwa peristiwa penting yang sangat mendadak, tanpa kemuauannya sendiri. 
Tanpa pengumuman kemenangan, tanpa tiupan terompet dan tambur, Raden Wijaya membuka hutan dekat Wirasabha. Tepatnya antara Wirasabha dan Tambelang, yang merupakan tanah datar karena sedikit sekali kaki gunung Anjasmoro itu disini menonjol. Di pinggir selatan Sungai Brantas yang mepet dengan hutan perbukitan kaki Gunung Anjasmoro, dikiri kanan bukan persawahan yang mempunyai pengairan yang baik, melainkan kebun dan tegalan. Juga hutan hutan. Di barat daya agak jauh, melewati punggung rendah perbukitan kaki gunung Anjasmoro, ada persawahan yang luas, wilayah persawahan ini dialiri oleh  saluran   pengairan dari bendung Harinjing diseputar Kecamatan Kandangan sekarang, bendung terbesar pada zaman itu. Sistim pengairan itu sekarang jadi wilayah Pare atau Majalegi utara  berbatasan dengan Jombang selatan.
Memang wilayah hutan yang dijadikan kota itu banyak pohon maja yang rasanya pahit. Sepotong wilayah itu ditemuka oleh Mpu  Bismasadhana, melihat keletakannya yang membelakangi hutan dan bukit agak terjal rupanya perbukitan kapur sangat tua lebih tua dari pegunungan Kendeng, tanpa sungai yang besar, mehadap ke sungai Brantas, bila orang menghadap ke Utara, disisi barat daya agak jauh ada persawahan luas yang tidak terlalu berundak, berkat pengiran dari bendung harinjing, dikanan kebun kebun dan tegalan, di tenggara hutan yang besar kaki gunung Anjasmoro. Topografi wilayah ini bila diperhatikan sangat teliti akan berupa cangkangnya penju, pipih dan menonjol ditengah.
Empu Bhismasadhana menyuruh Raden Wijaya membuat permukiman disitu, dengan emas dan perak rampasan tentara Mongol yang jatuh ke tangannya tanpa dia sengaja.  Membuka hutan  memerlukan beaya banyak ini mencengangkan para Bhupati wilayah yang bertetetangga, yang menurut aturan silsilah Girindralah yang lebih berhak mengganti posisi Raja Kadiri yang kosong, karena Wangsa Girindra telah dicederai Prabu Jayakatwang. Maka dari Wangsa Girindralah yang menggantikan sang Jayakatwang. Merasa sangat kepingin untuk segera mencaplok kesempatan ini menggantikan sang Kartanegara yang telah dikalahkan oleh sang Jayakatwang, Rangga Lawe sebagai paman dari putra putri Kartnegara harus berbagi, paling tidak berbagi kekuasaan dengannya.   
Sekali lagi kecerdasan  Raden Wijaya dan Putri Tribhuaneswari, yang memutuskan memberi upah tinggi pada para pekerja dan petani maupun undagi segala bidang, untuk bekerja membuka hutan disitu dan mendirikan Kota yang sudah direncanakan Rsi Bismasadhana, menggali saluran perahu dari kali Brantas, lebar panjang dan lurus, menggali dan menimbun lahan untuk tanah hunian, lahan dengan saluran pematusan, dan saluran air bersih dengan gorong gorong gerabah, membangun tembok tembok hunian raden Wujaya, membagun sabha besar/wantilan Agung, dan istal kuda, candi bentar dan candi pemujaan para pitri. Picis emas dan perak dari jung lasykar Mongol lebih dari cukup untuk itu, sambil mengamati para tenaga kerja. Kesanggupan memimpin, bersemangat, dan memiliki kecerdasan, akan terpilih jadi perwira. Dari para pandega ini akan dipilih  oleh Raden Wijaya sendiri dan sang putri. Banyak sahabat Pangeran Wijaya dari Madura menjadi pandega perahu Majapahit, dan pembuat perahu Madura di pantai Tuban.
Juga pembentukan pasukan bela diri yang bebas dari intrik kekuasaan, karena beaya yang dikeluarkan untuk membangun kota ini memang extra tinggi, lebih dari biasa. 
Tepat seperti yang derencanakan, para undagi, pandega, ahli segala bidang. Dari tempat tempat jauh sekitar bhumi bekas hutan maja yang rasanya pahit ini,  berbondong bondong datang dengan rombongannya, seperti laron tertarik pada api obor. 
Semua mereka merasa puas dengan upah yang diterima setiap lima hari, setiap hari pasaran Kliwon, bagi pekerja. 
Pembayaran beaya untuk para Pandega segala bidang dibayar tepat pada hari Soma manis, meliputi pelaksanaan  suatu rencana yang disepakati bersama dengan teliti (  sekarang namanya “bestek”). Uang emas dan perak, dibayarkan dibawah pengawasan sang putri  Narendraduhita, putri Jayendradewi dan putri yang paling cerdas berurusan dengan pembangunan Wantilan Agung, dan hunian, putri Gayatri.  Bisa ditebak, Raden Wijaya hanya tertarik kepada penggalian saluran dari sungai Brantas yang digali ditampung ke kolam pengendapan pasir dan lumpur kemudian baru dialirkan ke penambataan perahu perahu tepat dimuka gudang gudang  khusus. Atas prakarsa Raden Wijaya diadakan telaga besar dan dalam, untuk menampung pasir sungai Barantas. Air sungai jadi bersih dari pasir dan lumpur sebelum air dimasukkan ke saluran tambatan perahu besar, saluran ini sampi selebar tigapuluh depa. Kolam kolam pasir ini dibangun serupa kantung saluran dengan sudut masuk yang kecil dari kali Brantas, dari sana,  telaga pengendapan pasir itu, baru air dialirkan ke saluran yang dibangun dengan sudut kecil juga  untuk keluar ke kali Brantas lagi. Keletakan pinggir sungai di sini mengizinkan untuk membuat saluran ini. Emas perak dua gerobak sapi baru enam bulan sudah ludes. Ribuan pekerja yang dibawa oleh pandeganya masing masing lebih suka tinggal di Kota tiban (jatuh dari langit) ini, masing masing membawa keluarganya. Disinilah saluran  jalannya perahu itu di kerjakan dengan sunguh sunguh tepinya di tembok dengan batu kapur yang digergaji besar besar, sampai sehasta setiap rusuk batu batu kapur ini merupakan dadu raksasa,  diangkut dengan perahu dan disarat dari gunung Kendeng ke kali Brantas. Selain itu semua bangunan dibuat dari batu bata yang dicetak  dan dibakar dari timur kota, yang kebetulan ada sungai  kecil dan tanah liat berpasir sedikit yang sangat baik untuk mencetak batu bata. Salah satu adik laki laki sang putri mengawasi pencetakan dan pembakaran batu bata ini. Pamgsngkutan kayu bakar batu bata ini mendatangkan sapi dari Perdikan Mada, sapi benggala yang kuat berponok.
Semacam semen dari timbunan abu vulcanik yang merupakan debu,  tertimbun di punggung rendah suatu bukit dikaki gunung Anjasmoro, karena tertimbun ribuan tahun yang lalu, dan tanahnya naik, maka timbunan abu ini tetap kering dibawah, seperti kita menuang air di setumpuk tepung, tanpa mengaduk aduk tepung yang dibawah masih kering. Pengqambilan semen abu vulkanik ini sampai sekarang masih berupa trowongan orang sekarang menamakan sumur gumuling ( sumur yang rebah). Debu ini sangat baik untuk dicampur pasir dan batu kapur tohor (sesudahnya dibakar disiram air), menjadi bubur kapur. Ketiga komponen ini dengan perbandingan tertentu, bisa kering menjadi sangat keras, untuk melekatkan batu bata satu sama lain, bahkan untuk membuat pintu pintu yang bagian atasnya lengkung. Samai zaman berikutnya bahkan sampai sekarang diganti dengan bubukan batu bata,ayau semen merah.  
Jalan jalan di Kota baru ini dibuat lurus dengan banyak perempatan dan semua pinggir jalan untuk pejalan kaki, dihamparkan lantai batu bata bagi pejalan kaki, bersegi enam. Semua atap wantilan atau rumah dari genteng, tidak bisa sembarangan dibangun, diawasi sudut luncur air hujan oleh sang putri Gayatri sendiri, apalagi untuk atap gudang gudang, dasar banguna harus dalam dengan dasar atau pondasi yang kuat.  Tidak ada yang terlalu kecil sudutnya dan tidak juga terlalu besar sehingga nampak tidak seimbang. Semua umpak saka guru dan umpak umpak lain didatangkan dari Wirasabha dan Watu kosek diangkut dengan perahu dari Japan dan Kadiri.
Setelah dua belas bulan bekerja tanpa berhenti  dengan menghabiskan dua gerobak picis emas dan perak baru Kabupaten kabupaten seperti Kling, Wirasabha, bahkan Madyun dan Wengker mengirimkan bantuan berupa kayu jati gelondong, dari Kling mengirimkan sapi dan kerbau seratus ekor, dari Wengker mengirim kambing dan babi yang digiring sepanjang jalan sambil digembala, setelah dua bulan baru sampai,  beras dari Maja Legi (sekarang Pare),  dan pemberian para Bupatti yang bersimpati kepada para putra putri Kartanegara. Ada yang datang dari Mada, rombongan penyarat dan pengolah kayu jati, dijadikan papan tebal kayu tiang dan usuk berbagai ukuran, dikirim lewat Bengawan Solo dan berlayar mudik kali Brantas, hadiah dari Rsi Pandega sang Curadharmayogi, yang dipimpin oleh pemuda gagah, Bernama Gajah Gombak dari  Mada.
Pemuda ini kaget sekali ketika bertemu dengan orang Marga Yap yang jauh juah dari Kadiri mampir di Kota yang baru dibangun, menemui Raden Wijaya di tembok batu  yang besar besar dari batu kapur yang digergaji, diatas dinding bantaran saluran ditutup dengan dengan batu gunung yang keras sebagai bagian atas. Tiga orang bertemu diatas tembok bantaran terusan  sungai Brantas, terusan untuk perahu pengangkut ke gudang gudang yang baru dipasang pondasinya.
Kedua tamu yang ketemu di bantaran kali buatan ini, Raden Wijaya masih memakai baju dan lancingan komprang a’la pandega Madura, Gajah Gombak dari Mada mengenakan salwar dari tenun gedog Tuban  menyelempang tali kabrahman, dibimbing oleh orang marga Yap yang sahabat lamanya menuju Raden Wijaya yang lagi berdiri dengan satu kaki dan kaki yang lain menginjak  tiang batu pendek yang berbentuk palu untuk tambatan perahu. Melihat kedua orang itu dia menguncupkan tangan didepan dada dan memangil mendekati temannya itu. Raden Wijaya tahu pemuda Gajah Gombak putra Brahmana gryasta Rsi Curadharmayogi, ini dari kemarin waktu menyerahkan hadiah kayu jati olahan dari Rsi gryasta dari Desa Mada. Raden yang lagi mengukur kedalaman terusan atau pelabuhan buatan ini heran dan menanyakan bagaimana mereka sudah bisa saling kenal.     
Raden Wijaya mengajak pulang  bersama, mengambil kudanya yang di tambat di halaman gudang, sambil menyuruh mandor dari para pekerja untuk meminjam kuda dua ekor lagi dari Pandega pembangunan terusan. Sang mandor, mengerti dan  tergopoh gopoh melapor Pandeganya, Sebentar dua kuda lagi diberikan pinjam oleh pandega pembangunan terusan. Raden Wijaya ganti menerangkan pembuatan jalan jalan, yang dilaluinya, dengan lantai gerabah untuk pejalan kaki, rencananya lantai pejalan kaki itu dipasang di jalan jalan penting Kota Baru ini yang Sang Raden menyebutnya sebagai kota Wilwatiktapura.
Sesampai di “rumah” yang mestinya bagian dapur dari istana yang belum  jadi, mereka ditemui oleh sang putri Tribuaneswari, sekarang mereka berempat, Saudagar Yap menceriterkan kapan dan dimana dia bertemu dengan putra Brahmana gryasta ini, dia diberi keterangan dan petunjuk dan dibantu mencari alur urat tambang batu kawi, dagangan saudagar Yap, bahwa profesinya adalah pelebur dan pencetak segala barang dari kuningan, berhubung kuningan banyak kelemahannya antar lain berat dan mahal, dua berusaha melebur besi.  
 Undagi Yap memulai ceritanya waktu baru datang dari China bagian selatan, kota kecil, tidak berarti, tapi pamannya mengusahakan pengecoran kuningan dengan dia sebagai pembambantu.  Sekarang mengirim batu kawi berkadar tinggi dari Kadiri Selatan. Waktu senggang dia mengerjakan peleburan kuningan dan besi dan batu kapur ditambah batu kawi,  persis seperti para empu keris di Lamajang Selatan,  keris keris ini sampai sekarang dnamai keris Majapahit, ciri khasnya berpamor hitam batu kawi.  Pemuda Gajah dari desa Mada, menyatakan bahwa dia ingin sekali membuat laras meriam dari besi tuang, dia kagum sekali pada meriam meriam tentara laut dari China, yang konon dapat memporak perandakan Kedhaton Kadiri. Raden Wijaya terus terang bahwa dia bukan menggantikan jayakatwang, karena sebenarnya Kerajaan Kadiri bukan dia yang menaklukkan, bahkan bukan dia yang membakar perahu jung perang tentara Manchu, melainkan rakyat dari pinggir sungai yang dapat membuat panah gajah yang disulut dengan api nafta, malah faktanya putra putri Kartanegara lah yang mengajar Rakyat membidikkan panah api ke perahu perahu jung perang dari China ini, berbulan bulan demi membantunya  melaksanakan tugasnya, melindungi Ibu Kota Kadiri bila ada musuh mendekati dari sungai Brantas, maka putri ini memutuskan mengajari rakyat untuk membuat panah gajah, konon di Negara dinasti Rama dari negeri Ayuttya , ditepi sungai Mekong, mempertahankan tahtanya dan Negaranya dengan panah ini.  Untung saja sungai Brantas tidak selebar sungai Musi atau Barito, terbukti kemahiran rakyat dan niat mereka bertahan merdeka, dapat menghancurkan jung jung perang pasukan Mongol. Siapa mengira bahwa usaha ini semacam pisau bermata dua, bukan berangkat mudiknya perahu perahu jung perang ini dihujani panah gajah yang berapi, tapi justru pulangnya ! 
Bila terjadi di Sungai Musi atau Barito tentu saja setiap jung bisa berlayar ketengah tidak bisa dicapai oleh panah gajah sekalipun. 
Sang pemuda Mada ini mohon untuk diberi pekerjaan di kota yang baru ini,  bagi Raden Wijaya untuk Wilwatikapura yang baru ini agak sulit, Raden Wijaya tidak bisa menawarkan jabatan apa apa, dia bukan Raja, seandainya diangkat jadi Raja oleh para Bupati yang berdarah biru, pasti mereka minta upah kedudukan yang pantas yang mereka incar, kabupaten yang kaya, atau penarik pajak dari wilayah yang ditinggalkan Jayakatwang. nanti mereka akan saling bersaing. Yang dia bisa tawarkan hanya menjadi pembantu pribadinya, katakan Bhayangkarinya, menyelamatkan dia dan adik adiknya dari usaha mereka yang serakah. Kota ini lebih  baik dari Kadiri maupun Janggala, apalagi Singhasari, tidak dimaksudkan untuk jadi sasaran empuk mereka  yang mengincar secara sembunyi sembunyi, maupun terang terangan. 
Raden Wijaya meneruskan bahwa dia memang sedang memilih perwira dan tamtama prajurit secara diam diam dari mereka yang ikut bekerja membangun kota ini. Tapi tidak seorangpun yang sekira bisa diserahi pekerjaan jadi pelindung Keluarga Wijaya dan Wilwatiktapura. Jabatan ini diterima dengan senang hati oleh Gajah Gombak dari Mada ini.   Untuk jadi prajurit ,tamtama dan perwira, mereka yang terpilih ada duratus lima puluh orang. Semua dikirim ke pulau Gili Raja, diselatan Sumenep, dengan rahasia untuk dilatih keprajuritan dan berenang dilaut, mendayung, mengendalika perahu layar. Raden Wijaya tidak mau Kabupaten Kabupaten tetangga berfikir bahwa dia sedang menyiapkan pasukan. Karena pasukan tentara pada waktu itu adalah petani, yang mendapat ganjaran lahan dari Raja sebagai gaji, Raden Wijaya  tidak membangun tanah berpengairan disekitar kota Wilwatiktapura, Jadi pendiri Kerajaan Besar Majapahit ini membayar tukang tukang untuk bekerja membangun kota, sambil memilih diantara mereka untuk nanti dijadikan pasukan inti. Sementara Wiwatiktapura belum jadi seluruhnya, mereka dilatih ditempat yang terpencil Gili Raja disatu pulau kecil di selatan kota Pamekasan, enam bulan, kemudian dipulangkan dan kembali sebagai buruh bangunan yang sewaktu waktu disiap siagakan, jadi tidak menggaji orang menganggur. Sungguh cerdas. 
Sebaliknya secara menyolok Gajah Mada di beri wewenang untuk membentuk pasukan dari orang orang yang terpilih untuk menjadi Bhayangkari Kota Baru yang sangat ramai itu. Hampir enambelas  ribu keluarga sudah bermukin disekitar Kota, lokasi yang sudah dipetak petak dengan jalan lalan yang lurus dan bersih, tinggal mendirikan rumah, dan kampong kampong. Bhayangkari ini hanya bersenjatakan tongkat, selalu berkeliling mengawasi keramaian. Mereka berpakaian biasa hanya berkampuh poleng hitam putih, seperti para pacalang di Bali sekarang yang menjaga keamanan pada hari Raya Nyepi. Hanya mereka yang telah mengenyam khidupan di dunia persilatan dapat menandai mereka yang berilmu tinggi dan berniat membuat keonaran. Pemuda Gajah Gombak dari Mada sebagai yang ditandai Raden Wijaya mampu mengendalikan hal hal semacam ini. Warung tuak, tempat perjudian, dan tempat keramaian dimana banyak kerkelahian, semua diatasi oleh Bhayangkari yang dipimpin oleh Gajah Mada ini. Di suasana inilah Gajah mada mengenal organisasi rahasia dari kaum Bhairawa yang ikut nimbrung mencari pengaruh di Wilwatiktapura. Untuk sementara dia amati gerak geriknya.
Sebaliknya, Raden Wijaya mengirm Ki Wiradenta ke Kadiri bersama dengan Adik iparnya untuk mempersiapkan pasukan serbaguna, dan sesudah genap enam bulan dikirim ke Wilwatiktapura, sebagai Pasukan dari Kadiri, yang berkedudukan di Brangkal,  mengimbangi permohonan Bupati Wirasabha menempatan Perwakilannya, yang tentu saja dengan balatentaranya di Kota baru Wilwatiktapura ini. Bupati Kling tidak mau kalah menempatkan perwakilannya  di Wilwatiktapura, seorang Pengeran, dan menempatkan pasukan khususnya di Perak. Tidak ketinggalan Bupati Rajegwesi mengirimkan perwakilannya ke Wiwartiktapura seorang pangeran juga, dan pasukannya ditempatkan di Ploso. Para  bupati ini khawatir Kota tiban yang kaya ini jatuh ke Bupati tetangganya yang mempunyai Pasukan dan perwakilan di Majapahit, baik secara kasar maupun secara halus. Mesti saja dengan mengambil hati  untuk memperistrikan salah satu dari putri mahaprabhu Kartanegara, atau putri Narendraduhita, atau putri Jayendradewi atau putri Gayatri. Sedangkan kota Wilwatiktapura masih dibangun belum selesai baru  seperlima  bagian saja dari seharusnya  yang seperti dalam gambar. Keserhanaan dsn kesibukan putri putri Kartanegara tidak punya waktu buat melayani para Perwakilan itu di perjamuan perjamuan Kerajaan wong perjamuan perjamuan ini tidak pernah ada, wong Raden Wijaya memang bukan Raja apapun, maka Raden Wijaya dan saudari saudari iparnya sedang sangat sibuk bekerja dan menerima perkerjaan yang harus dibayar. Persaingan antara Perwakilan Kabupaten tetangga ini sering merepotkan sang Gajah Mada.  Waktu itu baru mendirikan jaringan telik sandi dan pasukan Bayangkari, yang mengatur kota baru yang ramai itu.   Ada aturan baru yang diundangkan oleh Lurah Bayangkari Wilwatiktapura: Selain Raden Wijaya, para adiknya  dia sendiri dan para pandega pekerjaan penting yang diberi tanda, baik siang atau malam, dilarang mengendai kuda di jalan jalan yang ada dikota Wilwatiktapura. 
Sang pemuda Gajah Gombak merasa risih dalam waktu yang sibuk ini para putri dan putra Raja, Raden Wjaya dan dia sendiri sangat sibuk berlalu lalang dijalan yang sudah selesai dibangun maupun dijalan yang belum jadi, para putri dengan mudah melompati selokan dan gorong gorong  sedepa lebarnya dengan kudanya tanpa berniat untuk pemer, terpaksa terganggu oleh ulah para utusan dari Kabupaten tetangga berkuda memperagakan kekayaan dan kebangsawanannya dengan nenggunakan jalan, sehigga sangat mengganggu keperluan yang mendesak dalam mengawasi pembangunan kota oleh putra dan putri raja dan raden Wijaya sendiri, yang selalu bekuda dengan maksud yang penting.
Apalagi menjelang hari Soma manis. Kapan para putri harus menghadapi para pandega untuk mohon bayaran dari pekerjaan yang sudah selesai, harus diteliti sendiri oleh para penanggung jawab ini. Sering terlihat putri Gayatri mengenakan pakaian lelaki, memacu kudanya ke tempat bangunan diseluruh kota sambil menggamblok di punggungnya gulungan kulit kambing, ddikuti oleh pembantunya berkuda dengan bawaan yang sama,  tongkat ukuran, gambar detail dari bangunaan yang diperiksa, semua putri maupun putra dan Raden Wijaya sendiri saban hari sangat sibuk menggunakan jalan jalan ini. Dengan sangat menyesal para perwakilan hanya dibolehkan naik tandu, di jalan jalan yang sudah dihampari lantai untuk pejalan kaki maupun yang belum. Repot juga bagi para perwakilan ini bersikap, karena Raden Wijaya dan adik adik iparnya bukan raja dari kota ini, apalagi lurah Bayangkari, tapi merekalah yang memang merencanakan dan membayar upahnya dari pembangunan kota baru ini, jadi apa boleh buat, mereka ganti profesi dari pesolek menjadi penerima pekerjaan…  Setiap kali ditawarkan oleh Keluarga Wijaya pekerjaan, dengan ukuran dan gambarnya. Apa boleh buat, ini bukan pekerjaan para ksatria yang seperti ini, mereka rata rata hanya bisa mengerti untuk menerima pekerjaan menguruk dan menggali apa saja, sedang untuk membangun tembokpun mereka tidak sanggup untuk menterjemahkan gambar dan kenyataan apalagi mengatur upah dan beayanya.  Mereka barsaing datang di Wiwatiktapura untuk mendapat perharatian dari putri putri raja yang sayangnya lagi sibuk bekerja. 
Ada kejadian yang sangat merepotkan Raden Wijaya, ketika putra Bupati Wengker yang dikirim sebagai utusan, menerima pekerjaan menggali saluran yang panjangya  dua setengah  ribu langkah, sedalam  tiga setengan depa, harus selesai dalan 35 hari. Upah sudah disetujui 100 keping picis emas dan lima ratus perak, teryata sudah dua puluh lima hari pekerjaan belum sampai separoh,  bayaran buruhnya yang kebanyakan kiriman dari Wengker kurang  dibandingkan dengan buruh orang setempat yang mendapat upah dari keluarga Wijaya, mereka mogok pada tidak mau bekerja. Pekerjaan di saluran bayarannya hampir dua kali lipat. Keadaan ini sampai ditelinga Raden Wilaya, langsung diambil alih pengerjaannya oleh mandor dari orang setempat dan besok paginya semua orang berkerja sampai malam. Pangeran dari Wengker ini murka besar, tapi tanpa banyak cing cong pekerjaan yang belum selesai dibayar penuh oleh Raden Wijaya, sedang sepuluh hari berikutnya pemakai tenaga kerja diambil alih oleh  Mandor orang setempat sedangkan upah tetap dibayar apa mestinya oleh raden Wijaya. Ternyata sang Pangeran dari Wengker salah perhitungan, dikira dengan wibawa, cambuk dan ancaman, pekerjaan bisa selesai dengan sendirinya. Tenyata bukan saja upahnya yang murah tapi memang jumlah tenaga pekerjanya yang didatangkan dari  Wengker memang kurang, jadi bagaimanapun pekerjaan  akan selesai pada waktunya. Karena sumpah serapah dan ancaman sang Pangeran, semua buruh ini mohon untuk diterima jadi warga Kota Wilwatiktapura, kepada lurah Bayangkari sang Gajah Mada, dan tanpa banyak tanya mereka langsung diterima dan diberi tanah sebelah timur kota setengah bahu tegalan setiap orang, karena malu sang pangeran pulang ke Wengker, tanpa pamit atau bicara dengan tuan Rumah raden Wijaya, apalagi berpamitan pada putra putri Kartanegara, (yang menurut pandangan pangeran Wengker ini, semua putri putri Raja Karanegara  tidak menarik, kelaki lakian)  (*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More