LURAH BHAYANGKARI WILWATIKTAPURA.
Uang yang beredar di Wilwatiktapura yang mulai dibangun
sebagian beredar diseputar lokasi pembangunan kota itu hingga limapuluh yojana,
meliputi Kadiri, Kling (Nganjuk), Wirasaba (Mojokerta) bahkan sekitar Rajeg
Wesi ( Bojonegara). Uang ini adalah belanjaan pembelian kayu bangunan, batu
kapur gergajian dengan ukuran kubus yang sehasta rusuk rusuknya, Batu batu
umpak tiang tiang bangunan dan candi candi. Sebagian untuk keperluan makan,
yaitu sembilan bahan pokok, yang bisa disediakan di tempat adalah kayu bakar untuk
masak, yang lain terpaksa didatangkan dari tempat tempat hunian sekitan
bangunan kota baru ini. Lurah Bhayangkari harus mengamankan jalur supply ini.
Ternyata banyak jalur lalu lintas baru, banyak pemberhentian
perahu baru sekitar lokasai pembangunan kota yang harus diamankan dari
kejahatan terutama dari perampokan dan pencurian. Jalan rintisan dari segala
arah menuju ke bekas hutan Maja ini, semakin ramai, warung warung, gudang tempat barang barang dagangan diturunkan dan
berganti pemikul atau berganti gerobak bila jalanan memungkinkan, Tempat tempat
pemberhentian lalu lintas pemikul atau gerobag ini rawan untuk jadi tempat
para penjahat menjadi raja kecil menarik uang keamanan, sangat menjadi
perhatian Lurah Bayangkari. Semua kedai Tuak dan warung remang remang juga
menjadi perhatian lurah Bhayangkari kota yang baru dibangun ini. Setelah
Ranggalawe terbunuh karena perkelahian dengan Kebo Anabrang, Lurah Bhayangkari
sadar bahwa ada yang mengincar Pimpinan dan Gudang Uang picis emas perak , untuk
membangun kota ini.
Dalam hal ini Gajah Gombak dari Mada mengadakan perundingan
dengan Raden Wijaya maka mereka mohon kepada sang Guru Bagawan Bismasadana dan
Rsi Curadharmayogi untuk menghubungi Ketua semua Perguruan Silat aliran lurus,
sampai wilayah Pengging dan Kedhu, untuk membantu dengan mengirimkan muridnya
yang terbaik ke Wilwatiktapura untuk menjadi Pengaman luar dan dalam. Malah
perguruan silat khusus pendekar wanita dari Gunung Jati, Jawa Barat , “ Sekar
rinonce” juga diundang. “Sardula Liwung” dari Gunung Ijen, “Trimurti” dari
Lembah Rengganis, “Trisula” dari lereng Gunung Wilis, perguruan “Gunung Pandan”
dari Rajeg wesi, dan masih lima enam lagi perguruan silat tingkat tinggi yang
diundang. Yang aneh lagi munculnya perguruan silat yang sangat tersembunyi
tidak pernah muncul ke permukaan adalah “Sarapwaja” dari Sidayu, muara Bengawan
Solo, yang senjatanya berupa talempak atau tombak pendek bermata lebar serupa
dayung, nama setempatnya sarap, mereka ini sangat dibenci oleh sakte nyleneh
agama Hindu aliran Bhairawa, karena disamping mengaharamkan semua prilaku
anggauta aliran ini, kecuali tidak mengharamkan makan ikan, juga
mempunyai kemampuan melawan kekuatan hitam yang sangat handal yang dimiliki oleh golongan Bhairawa ini. Menurut
pandangan kaum Sarapwaja, memuaskan diri dengan “Ma” lima yaitu “Matsya” (makan
ikan), “Ma’argya” (mabok minuman keras), “Mamsya” (makan daging segala binatang ), “Maudra” (menari nari
sampai trance), dan “Maithuna” ( berhubungan sex secara orgy liar) untuk
mencapai kesempurnaan adalah pembenaran menyesatkan dan palsu. Karena orang
mengendalikan hawa nafsu itu maksudnya supaya menggunakan energinya untuk
mengasihi sesama ciptaan Sang Maha Agung, dan pemurah kepada mereka, berupaya “mamayu
hayuning bhawan” atau membuat lingkungan hidup menjadi berharga untuk dihidupi.
Maka dengan memuaskan hawa nafsu sekehendak sendiri mengumbar hawa nafsu diri sendiri sehingga
puas dan serta merta mengalami kesadaran yang tertinggi itu bohong, karena
mengorbankan kepetingan orang lain.
Lha bila orang hanya sibuk memuaskan diri sendiri saja, kan menyusahkan orang lain juga. Mpu Lurah
Bhayangkari sengaja mengundang Kelompok silat yang tidak pernah terkenal di
dunia persilatan ini karena golongan ini selalu bisa menangkal kekuatan kaum
Bhairawa secara wadag maupun memunahkan kekuatan magis hitam nya.
Sebenarnya pandangan perguruan Gunung Pandan dari Rajeg
wesi, yang sangat dipengaruhi Pesilat kaum Bu Tong dari Negeri China, dan azas panteisme dari Parsi, bertumpu pada ajaran Budha, menentang
pengumbaran hawa nafsu bahkan makan daging dan lain barang berjiwa saja mereka hindari, pantang minum minuman keras, dan sangat
menghormati kaum Pendeta Budha nya yang harus menjalani brahmacarya atau tidak
melakukan hubungan suami istri (celibate). Anehnya di tingkat yang paling
tinggipun kaum ini masih keder menghadapi kekuatan magis kelas tinggi dari kaum
Bhairawa yang mendatangkan Bhatara Kali silih rangkap dengan Bhatara Rudra. Iya ini bisa dimengeri, sebab walau di tigkatan
yang tinggi dari aliran yang dipengaruri Budhisme ini menyandarkan kehidupan
wadagnya dari perlindungan dan pemberian Penguasa dan rakyat termasuk orang
orang kaya, jadi mengandung pamrih, atau maksud agar dijamin kepentingan
duniawi mereka Ya seperti yang sekarang sementara pendeta pendeta Budhis ngebela belain pelindungnya walau jelas lelas menyuap Penjabat Negara seperti
Hartati Murdaya Poo tanpa malu malu.
Sedangkan kehidupan wadag kelompok Sarapwaja menyandarkan pada Allah dan berupaya dengan tenaganya
sendiri bekerja mencetak sawah dirawa rawa mencetak sawah tambak dengan kekuatan sendiri walau
perkerjaan ini sangat berat. Pada lingkungan perguruan silat Sarapwaja/Aswaja
yang berdasarkan agama Islam, meskipun mereka kawin secara wajar dan tidak
pernah celibate, mereka makan daging yang disembelih dengan azas “Atas Nama
Allah yang Maha Pemurah dan maha Pengasih”. Dan azas itulah yang melandasi
setiap perbuatannya. Maka wadag mereka seperti dilindungi oleh tenaga yang
tidak nampak dan mampu membakar balik kekuatan magis hitam andalan kaum
Bhairawa apapun berikut pelakunya.
Konon menurut
Waliullah, Pemimpin mereka, Allah Sang Hyang
Widiwasa berkenan mengganti segala petunjukNya yang dibawa
oleh Utusan Utusannya yang terdahulu dengan Petunjuk dan
Perintah yang dibawa oleh UtusanNya yang terakhir Muhammad
Rasulullah. Azas hidup yang paling alami bagi Manusia dan pasti
bisa dilakukan, melandasi semua perbuatannya dengan mengatas
namakan Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, Bahkan
Allah memberikan sandi asma (pass word) Malaikat untuk mereka
datangkan melawan apapun wujud magic dari Kaum Bhairawa
yang sekuat Bhatara Rudra sekalipun akan terbakar bersama
pelakunya. Orang Hindu menyebut keistimewaan ini sebagai“ajian
Cunda Bhairawa”, mirip cermin ga’ib yang memantulkan dengan
kekuatan berlipat lipat energy black magic yang dicurahkan oleh
pengirimnya, kebanyakan kaum Bhairawa, yang merasa terganggu
aktivitasnya. Di Pedalangan wayang kulit ajian ini milik sang
Puntadewa anak sulung sang Pandhu dengan ibu Dewi Kunthi,
kakak dari semua Pandawa. Sedang ajian Cunda Bhairawa itu
sebetulnya hanya sebutan pass word saja, oleh orang yang
beragama Hindu, dikira satu ajian untuk menghadirkan Malaikat
guna menjaga diri dengan mengembalikan segala energi kembali
menghunjamkannya dengan kekuatan berlipat lipat, nama yang
seharusnya adalah “cermin ga’ib”. Sedangkan pimpinan kaum
Bhairawa saja, Guruji Rsi Dutanggira yang datang dari Atas
Angin
dan yang berumur tak terhitung panjangnya, juga Guru Sang
Prabhu Kertanegara yang sudah makayangan, dia ini segan
menghadapi kaum santri dari daerah Sidayu dan Garowisi.
Widiwasa berkenan mengganti segala petunjukNya yang dibawa
oleh Utusan Utusannya yang terdahulu dengan Petunjuk dan
Perintah yang dibawa oleh UtusanNya yang terakhir Muhammad
Rasulullah. Azas hidup yang paling alami bagi Manusia dan pasti
bisa dilakukan, melandasi semua perbuatannya dengan mengatas
namakan Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, Bahkan
Allah memberikan sandi asma (pass word) Malaikat untuk mereka
datangkan melawan apapun wujud magic dari Kaum Bhairawa
yang sekuat Bhatara Rudra sekalipun akan terbakar bersama
pelakunya. Orang Hindu menyebut keistimewaan ini sebagai“ajian
Cunda Bhairawa”, mirip cermin ga’ib yang memantulkan dengan
kekuatan berlipat lipat energy black magic yang dicurahkan oleh
pengirimnya, kebanyakan kaum Bhairawa, yang merasa terganggu
aktivitasnya. Di Pedalangan wayang kulit ajian ini milik sang
Puntadewa anak sulung sang Pandhu dengan ibu Dewi Kunthi,
kakak dari semua Pandawa. Sedang ajian Cunda Bhairawa itu
sebetulnya hanya sebutan pass word saja, oleh orang yang
beragama Hindu, dikira satu ajian untuk menghadirkan Malaikat
guna menjaga diri dengan mengembalikan segala energi kembali
menghunjamkannya dengan kekuatan berlipat lipat, nama yang
seharusnya adalah “cermin ga’ib”. Sedangkan pimpinan kaum
Bhairawa saja, Guruji Rsi Dutanggira yang datang dari Atas
Angin
dan yang berumur tak terhitung panjangnya, juga Guru Sang
Prabhu Kertanegara yang sudah makayangan, dia ini segan
menghadapi kaum santri dari daerah Sidayu dan Garowisi.
Undangan kepada
Aliran Aliran silat bersih ini untuk
bergabung
menjaga keamanan Wilwatiktapura, yang rentan terhadap
kejahatan
yang terorganisasi seperti kaum Bhairawa. Sebagai gantinya
menjanjikan kebebasan yang sama bagi semua aliran agama,
asalkan mereka saling menghargai dilingkungan Wilwatiktapura.
Ini mendapat sambutan baik dan Pimpinan, atau Waliullah mereka
sehingga datang hadir atau mewakilkan pada murid tingkat atas
mereka. Maka selama seabad kaum Bhairawa tidak menyentuh
Wilwatiktapura tapi berkumpul di Sengguruh (sekarang Malang)
dekat Singhasari, sebagai kebiasaannya secara exklusive terbatas
pada anggauta dengan sumpah berat, sambil menunggu waktu,
menebar pengaruh di Wilwatiktapura.
menjaga keamanan Wilwatiktapura, yang rentan terhadap
kejahatan
yang terorganisasi seperti kaum Bhairawa. Sebagai gantinya
menjanjikan kebebasan yang sama bagi semua aliran agama,
asalkan mereka saling menghargai dilingkungan Wilwatiktapura.
Ini mendapat sambutan baik dan Pimpinan, atau Waliullah mereka
sehingga datang hadir atau mewakilkan pada murid tingkat atas
mereka. Maka selama seabad kaum Bhairawa tidak menyentuh
Wilwatiktapura tapi berkumpul di Sengguruh (sekarang Malang)
dekat Singhasari, sebagai kebiasaannya secara exklusive terbatas
pada anggauta dengan sumpah berat, sambil menunggu waktu,
menebar pengaruh di Wilwatiktapura.
Sanggar sanggar latihan didirikan di Wilwatiktapura secara
mandiri masing masing aliran, sedangkan aliran Sarapwaja bergabung dengan asyram perguruan Agama Islam, dan sama sekali idak mengadakan gladi fisik di Wilwatiktapura. Ini disebabkan karena gladi fisiknya ada di rawa rawa luas di muara bengawan Solo, membuat saluran saluran, pintu pintu air, agar hanya air tawar saja yang bisa masuk ke sawah mereka yang juga panen dua kali setahun. Kecuali musim banjir, ditanami padi rawa yang malainya bisa terapung kepermukaan air banjir dari kedalaman sampai sedepa, juga ditebari ganggang yang menjadi pupuk bila air surut nanti. Pekerjaan yang sangat berat. Mereka menggali lumpur rawa dengan sarap, linggis yang lebar semacam dayung perahu, berbobot berat supaya bisa masuk kedalam lumpur dengan mudah, inilah cara mereka untuk melatih tenaga dalam, melatih tenaga dalam pernapasan dan pemusatan tenaga dalam mereka di pusar, disertai pemusatan dzikirullah.
Disinilah teruji kecakapan Mpu Mada, semua unsur unsur
baik dalam masyarakat Wilwatiktapura ikut menjaga keamanan dan ketertiban
diwilayah ini. Malah murid murid senior dari perguruan Sarapwaja secara
bergilir bertugas di Wilwatiktapura secara diam diam, membantu Mpu Mada, secara
sukarela, yang jumlahnya sampai ratusan orang, mereka berkepandaian tinggi.
Dengan mudah mereka menyisipkan dirinya di masyarakat Hindu kebanyakan dari
wangsa waysia dan sudra sebagai
Pedagang, sebagai pemilik komplek persinggahan para pemikul barang semacam “karavan
saray”(istilah Turki) nun di jalan sutra ditengah gurun dan padang rumput Asia Tengah. Warung warung kebutuhan pokok dan
obat obatan, dan bergerak mengajari anak anak kaum waysia dan sudra membaca dan
menulis huruf Arab dan huruf Palawa, terutama etika Islam dan memberantas
kejahatan, dan hidup bersih, dengan secara
diam diam bekerja sama dengan Bhayangkari Praja seluruh Negara, menjadi telik sandi sukarela, melaporkan berita dengan merpati pos. Maka selama seabad Wilwatiktapura menjadi
pelabuhan singgah dan arena jual beli antara dagangan dari pulau pula di Timur
dan barang barang dari China dan Atas Angin, India dan Parsi.
Suasana inilah yang mengilhami para Dhalang wayang kulit,
ratusan tahun kemudian bila menggambarkan satu Negara yang kaya raya cukup
segalanya, aman dan makmur, digambarkan bahwa kerbau sapi di lapagan
penggembalaan sore hari akan pulang sendiri sendiri, tanpa digiring oleh
penggembalanya, tidak ada pencurian ternak atau pencurian apapun.
Pertemuan Guruji Sang Dutanggira dengan Syekh Jumadil Kubro terjadi, karena kebetulan Guruji Rsi Dutanggira berkenan mengunjungi pertemuan besar kaum Bhairawa dari sekitar Wiwatiktapura di tepi Sungai Brantas yang berpasir dan sepi, yaitu di pertemuan dua sungai, Kali Brantas dan Kali Konto, dan ini adalah tempat yang dekat dengan Wilwatikapura, jadi tempat berkumpulnya kaum Bhairawa warga dari Wilwatikapura, dan tepian yang luas berpasir berbentuk cangkang penyu. Tempat ini tepat untuk pertemuan kaun Bhairawa karena pada zaman itu sepi sekali, juga gersang melulu berpasir yang dibawa oleh aliran sungai Konto, sisi barat gunung Anjasmoro.
Semingu sebelumnya dilaporkan di wilayah itu ada
perampasan dan pencurian ternak, penculikan gadis gadis desa yang muslimah dilakukan
secara misterius, yang meresahkan peduduk desa desa sekitarnya. Merpati pos
dilayangkan segera dari telik sandi diwilayah Kertosono, diterima langsung oleh
Lurah Bhayangkari Mpu Mada. biasanya kejahatan terhadap masyarakat semacam itu
dilakukan oleh golongan yang mau menang sendiri mengandalkan kekuatannya. Mpu Mada menghubungi Asyram Islam di
Wilwatiktapura, dan kebetulan ada Pembiming yang sangat dihormati bertamu
disana, Waliullah Syekh Jumadil Kubro, Syekh ini sudah lama bermukim di Sedayu,
di asram mbah Pancir, kelana dari Lembah Pansyir dekat Pakistan sekarang.(makanya sekarang nama tempat itu adalah Paciran. Syekh
ini linuwih, manusia luar biasa yang bisa datang dan pergi semaunya, bisa
berada dimana mana satu saat yang perlu, dan mempunyai kehidupan wadag yang
hanya melulu demi mengamalkan rakhman dan rakhim, disamping kehidupan biasa
sebagai petani. Kepadanyalah dibisikkan satu pass word mendatangkan satu Malaikat dari Allah, satu sandi asma agar
bisa menghadirkan Malaikat ini guna melindungi dirinya seketika, melindungi dari kekuatan
apapun yang bukan dari Allah.
Orang Hindu menamakan aji Cunda Bhairawa ( mungkin kata
“cunda” yang hanya ada di sastra Jawa lam jadi asal kata pe-cunda-ng yang
artinya nengalahkan atau merendahkan) , karena kaum Bhairawa sangat menghindari
barang siapa yang memiliki ajian ini. Perlindungan
yang diberikan oleh Malaikat berlaku
sebagai cermin, yang memantulkan kekuatan magi hitam apapun yang menyerang
dengan kekuatan pantulan berkali kali lipat.
Disaat rembulan mencapai
bulatnya pada tanggal limabelas bulan “pranata mangsa” (hitungan kalender
petani di Jawa) mangsa kesembilan, ratusan kaum ini menari liar setengah telanjang mabuk dan memuaskan diri dengan makan daging
binatang liar dan ternak curian, hanya dibakar sekenanya saja, diselingi pesta
minuma keras, sungguh meriah dan menjijikkan disekeliling api unggun yang besar
pemuda pemudi gila, oran tua, orang setengah baya melakukan orgy sex terbuka berserakan dimana
mana, ditengah bunyi tetabuhan gendang dan bedug menderu deru. Sang
Bhismasadana menyertai Shekh Jumadil Kubro yang berpostur tubuh seperti tokoh
Semar dari pewajangan Jawa, mendadak sudah ada di tengah kalangan dekat unggun
api yang besar.
Tetabuhan yang berdentang menderu deru
mendadak berhenti. Api unggun mendadak mengecil hampir padam. Sang Rsi
Dutanggira sangat murka, badannya yang hitam itu mendadak nengkilat, rambutnya
yang hitam gimbal itu berdiri berkibar kibar. Dengan suara yang melengking
diakhiri dengan bentakan sebagai geledek membuat api unggun berkobar kembali
dengan api kebiru biruan. “Makhuk apa kalian berani mengharu biru upacara kaum
Bhairawa yang lagi dipimpin oleh Datuknya ? “ Segera cemeti menyala nyala
menyambar nyambar kearah Syekh Jumadil Kubro dan sang Bismasadana. Suara
menggelegar membalikan arah sambaran cemeti disertai kobaran api menyambar Rsi
Dutanggira, mebelitnya tanpa ampun. Kobaran api cemeti melilit siapa saja yang
hadir sehingga mereka sadar dan kalang kabut mencebur sungai sambil menjerit
dan melolong. Sebentar saja tubuh Rsi Dutanggira yang hitam legam menjadi
memerah manpak meronta ronta, masih
dililit oleh api biru dari unggun yang menyala kembali, akhirnya tubuh Rsi yang
tak terhitung umurnya ini meneteskan
lelehan yang berapi api, akhirnya mengecil dan habis.
Sunyi senyap dipinggiran Sungai, ratusan anak buah kaum Bhairawa tenggelam di sungai,
atau terbakar menjadi abu. Rsi Dutanggira habis menjadi tetesan api yang
menyala nyala sampai habis semua.
Saat itu Syekh Jumadi Kubro bersabda kepada Rsi
Bismasadana, bahwa setiap tetesan api wadag Dutanggira ini akan masuk menetes
kedalam wadag para Nara Praja Wlwatiktapura pada ratusan tahun kedua
Wilwatiktapura, yang mereka berdua tidak akan menyaksikan. Kini Wilwatiktapura
aman tenteram tanpa gangguan kaum Bhairawa. Mereka yang bersekutu ketahuan,
mereka yang berencana membalas dendam tersapu bersih.
Sedang makin sedikit murid dari perguruan Sarapwaja yang
telah terpilih telah mewarisi pass word menghadirkan Malaikat untuk melindungi
diri dikalangan mereka, dengan
sendirinya makin sangat selektip mewariskan pengetahuannya. Pengetehuan pass
word ini akhirnya akan menjadi malapetaka dikemudain hari, ‘pass word’ ini
dinamakan ‘pangilon jiwa’, yang arti harfiahnya “kaca cermin jiwa”. Salah salah
bisa menyebabkan sikap angkuh yang tak
wajar dikalangan santri, oleh karena salah mengerti. Sampai kini hanya satu dua
orang saja yang menyadari adanya pass word ini.
Selanjutnya abad abad kekuasaan Wilwatiktapura memasukkan
dalam Undang Undangnya bahwa menggunakan magic untuk mencelakai orang lain
dianggap kejahatan yang bisa dihukum berat, dengan barang bukti berupa boneka
yang ditulisi nama orang, rerejahan yang menyebut nama orang. Akan tetapi ilmu
magic hitam tetap sulit dibuktikan.*)
0 comments:
Posting Komentar