Sayang Sama Cucu

Sayang Sama Cucu
Saya sama Cucu-cucu: Ian dan Kaila

Rabu, 21 Agustus 2013

SURABAYA YANG AKU KENAL TELAH HILANG.

Tahun lima puluhan hingga tahun tujuhpuluh, kebudayaan Surabaya masih ada, sesudah itu hingga sekarang berangsur-angsur lenyap ditelan perubahan kearah yang aku tidak tahu. Sebagaimana diketahui bahwa Surabaya Ibu Kota Jawa Timur, sejak dulu merupakan kota pelabuhan yang sangat ramai, dulu zaman maraknya industri gula, Pelabuhan Surabaya nyaris mengungguli pelabuhan Tanjung Priok. 

Sejak zaman sebelum Penjajahan, kota Surabaya sudah menjadi kota pelabuhan dan kota perdagangan yang ramai. Termasuk kegiatan pelayanan terhadap kebutuhan perahu-perahu dagang, sehingga setiap kampung adalah penyedia kebutuhan itu.

Seperti kampung Plampitan, adalah kampung yang menyediakan lampit, semacam tikar dari kulit luar rumput raksasa semacam gelagah Yang agak bergabus trus dirangkai dengan benang selang dua jengkal, untuk alas tidur atapun duduk. Kampung Kawatan, di mana diproduksi kawat, kampung Cantikan, kampung yang penduduknya membuat peralatan perahu, Kampung Sayangan, kampungnya perajin tembaga dan kuningan, kampung Pandegiling, tempat orang membuat roda pedati dan dokar/delman atau jenis kereta kuda. 

Kenapa saya sampai ke nama kampung-kampung yang banyak bersangkutan dengan pertukangan ? Ya karena watak orang Surabaya selalu terus terang dan apa adanya sampai sekarang, sering dirasa kasar, ini disebabkan oleh kebiasaan para perajin yang tidak bisa bicara lain kecuali membiarkan kualitas produknya bicara. Tidak ada rayuan maupun bunga-bunga percakapan yang sifatnya hiperbolik memuji atau membuat senang hatinya orang. Sampai kurun waktu tahun enampuluh lima orang masih banyak yang minum tuak bila malam minggu tiba ditempat berhelatan perkawinan atau khitanan.
Tahun enampuluh lima terjadi keguncangan masyarakat yang hebat, sehingga orang sangat takut dicap non muslim atau dicap muslim abangan, karena pada geger tahun 1960-an orang yang terlihat minum-minum tuak sering dicap sebagai orang-orang komunis dan tak menghormati agama. Pada tahun-tahun itu pembaca,  saking takutnya orang akan razia oleh kelompok-kelompok massa, maka para peminum tuak, pemadat, penjudi jadi berhenti. Hingga sekarang dikampung-kampung, umumnya kebiasaan minum tuak sudah berkurang. 

Di kampung-kampung -terutama akibat geger 1960-an-, maka selanjutnya marak pengajian-pengajian dan ritual Islam lainnya. Dan, tentu saja merambat ke kebiasaan makan, yang dulunya penduduk Surabaya penggemar rujak cingur komplit dengan didih ayam (darah ayam yang direbus supaya membeku) mulai saat itu tidak ditambahkan kedalam rujak cingur.  Juga kemudian,penjual rujak cingur jadi sembarang orang yang berasal dari mana saja. 

Yang namanya rujak cingur jadi berubah hingga sekarang. Boleh dibilang sembilan puluh sembilan persen penjual rujak cingur melayani rakyat golongan bawah sehingga tidak menuntut apa-apa, asal ada lontong, tahu  yang sudah digoreng lama dari pasar berhari hari dan tempe pasti bukan dari kedele asli. Praktek yang ini merambah ke penjual rujak yang melayani kaum menengah dengan harga per porsi mencapai lima belas ribu rupiah yang mestinya tidak cekak modal buat belanja. 

Akibatnya semua ingredient cingur jadi makanan yang alot dan keras tidak bisa dimakan, semua kangkung rebus yang diikutkan dalam rujak direbus sampai ke bagian bawah gagangnya dari pasar tanpa dipilih dan tanpa dibelah, akibatnya jadi sajian yang alot dan tidak bisa dikunyah, asal pedas. Campuran yang seharusnya ada seperti kedondong, bengkuang, belimbing, krai rebus ( bendoyo) tidak nampak lagi, apalagi yang menjadi ciri khas rujak cingur yaitu jambu mete/jambu monyet ( buka metenya tapi gagang buah yang membesar dan berwarna merah kekuningan) rasanya manis agak merangsang  tenggorokan, ini juga lenyap dari bahan Rujak Cingur.  Pencampuran sambal petis yang  harusnya memakai pisang klutuk muda diserut sering ditiadakan dan cenderung tidak proporsional dengan ingredient yang disajikan. Rujak Cingur jadi bukan ala Suroboyoan lagi. Meski begitu, saya setuju jika darah (didih) itu hilang, karena didih adalah haram.
Meskipun di kampung Plampitan ada rujak cingur yang harganya per porsi bertahan sampai empat puluh ribu rupiah, tidak menjamin mempertahankan ingredient asli rujak cingur yang biasa dimakan.
Makanan lain yang khas Surabaya adalah “Semanggi” yang ini lebih aneh lagi, dulunya semanggi adalah gulma disawah sawah (Marsilea crenata L). Sekarang dseputar Surabaya sudah tidak ada lahan sawah. Jadi penjual semanggi (cara masak semanggi konon di taruh diatas kuali kering yang dipanaskan hingga layu sebagian hangus),  memakai sambal yang dibuat dari campuran ubi kayu rebus yang dihancurkan bersama kacang sedikit dengan bumbu-bumbu. 

Pokoknya makanan orang kecil yang pembuatannya sangat murah, disajikan bersama krupuk nasi yang super tipis tapi super lebar.  Anehnya sekarang diganti dengan sayur bayam  yang mudah didapat dipasar kadang dicampur dengan daun batatas yang direbus atau dipanggang. Padahal di Indramayu gulma ini malah diusahakan dibudidayakan, maka waktu mendatang saya kira kudapan sayur semanggi di Surabaya juga akan punah.(*)

0 comments:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More